KESUKSESAN Pangkalan Udara Panasan (kini Lanud Adi Soemarmo), Solo mendapatkan bantuan pesawat dari Lanud Bugis (kini Lanud Abdulrahman Saleh) pada 5 Maret 1946 membuat beberapa teknisi Tentara Republik Indonesia Djawatan Udara (kini TNI AU) berharap hal serupa. Salah satunya Opsir Muda Udara II (OMU II, setara letnan dua) Hardjono dari Lanud Maospati (kini Lanud Iswahjudi).
“Pada 5 Maret 1946 sebuah pesawat Cukiu (pesawat latih Tachikawa Ki-55, red.) diterbangkan dari Pangkalan Udara Bugis Malang ke Panasan Solo. Adapun pesawat yang diberikan sudah diberi nomor registrasi TK-007 dalam keadaan siap terbang,” tulis Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.
Timbulnya harapan itu bukan tanpa alasan. Sebab, Lanud Bugis –saat itu masih di bawah Divisi Untung Surapati (TRI Darat)– memiliki lebih banyak pesawat bekas Jepang ketimbang beberapa lanud lain. Beberapa di antaranya mampu diperbaiki dan sudah diberi roundel Merah Putih oleh satuan teknisi pimpinan Lettu Hanandjoeddin sehingga siap terbang.
OMU II Hardjono jadi salah satu teknisi yang “berburu” pesawat bekas Jepang dan berharap mendapatkannya pula ketika ia datang ke Lanud Bugis pada 19 Maret 1946. Ia beruntung tidak pulang dengan tangan hampa walau urusan-urusan pengirimannya dari Lanud Bugis ke Maospati jadi tanggung jawabnya.
Baca juga: Pesawat Dibarter Batik Tempur
Namun, tidak ada catatan lebih detail tentang jenis pesawat yang berhasil dibawa Hardjono. Menurut Martinus Bram S. Susanto dalam Mengubah Hayabusa menjadi Garuda, pesawat yang diberikan Hanandjoeddin dkk. untuk Lanud Maospati adalah juga pesawat Ki-55 “Cukiu”.
“Pada awal perjuangan, jumlah Ki-55 yang ditemukan di lapangan terbang Bugis antara 7-25 pesawat. Dalam waktu yang tidak lama setelah pembentukan BKR Oedara di Malang (di bawah Divisi Untung Surapati) sebanyak empat pesawat Ki-55 berhasil diperbaiki,” tulis Martinus.
Terlepas dari jenis pesawatnya, pemberian dari Lanud Bugis itu tetap jadi modal berharga bagi perkembangan pengadaan alutsista udara di Lanud Maospati. Terlebih lanud tersebut pada Juli 1946 –pasca-peresmian TRI Djawatan Udara menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)– jadi markas Biro Rencana dan Konstruksi pimpinan Opsir Udara II (setara mayor) Wiweko Soepono yang dibantu OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo. Salah satu seksi bironya kemudian tercatat pernah melahirkan satu pesawat pembom hibrida Sakae-Bleinheim.
Pesawat Blasteran Inggris-Jepang
Pada awal kemerdekaan, AURI membangun kekuatan alutsistanya mayoritas dari peninggalan Jepang, baik Kaigun (Angkatan Laut/AL) maupun Rikugun (Angkatan Darat/AD). Namun di Lanud Maospati sempat ada upaya menambah alutsista dari bekas kepunyaan Inggris, yang dipadukan dengan teknologi Jepang.
Satu dari sekian alutsista Inggris yang tertinggal di Indonesia pasca-Perang Pasifik (1941-1945) adalah pesawat Bristol Bleinheim Mk IV. Pesawat pembom ringan ini juga bisa menjadi pesawat tempur malam dan pengintaian udara.
Menurut Philip J. R. Moyes dalam The Bristol Bleinheim I, pesawat ini mulanya dikembangkan insinyur aeronautika Inggris Frank Barnwell mulai 1933 usai mengunjungi beberapa pabrikan pesawat Amerika yang sudah monoplane tapi bermesin ganda. Idenya lantas diwujudkan di pabrik Bristol Aeroplane hingga sukses menjajal uji terbang perdana pada 1935.
Baca juga: Mengubah Hayabusa menjadi Garuda Tak Sekadar Meluruskan Sejarah
Dari sejumlah versi, spesifikasi Bristol Bleinheim Mk IV yang berdimensi panjang 12,98 meter dan lebar sayap 17,17 meter itu ditenagai sepasang mesin 9 silinder berpendingin air, Bristol Mercury XV. Kekuatan mesin ini membuatnya bisa melaju hingga kecematan maksimal 428 km/jam (231 knot) dan ketinggian maksimal 8.310 meter. Diawaki tiga kru, pesawatnya juga dipersenjatai lima pucuk senapan mesin Browning kaliber 7,7 mm, masing-masing satu di sisi kanan badan pesawat, serta sepasang senjata serupa di bawah hidung pesawat dan di kubah punggung pesawat. Sebagai bomber ringan, pesawatnya mampu memuat empat bom seberat 110 kg dan dua bom seberat 230 kg.
Mengutip Majalah Dharmasena No. 14 edisi Juli 1988, eksisnya Bristol Bleinheim di bawah RAF (AU Inggris) di Jawa tak lepas dari kejatuhan Singapura ke tangan Jepang pada 15 Februari 1942. RAF terpaksa memindahkan kekuatannya dari Burma (kini Myanmar) dan Singapura ke Jawa meski tak lama kemudian Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang (April 1942). Beberapa pesawat RAF pun tak keburu diungsikan ke Australia.
“Pada saat Hindia Belanda takluk, sedikitnya ada enam Bleinheim Mk IV di lapangan terbang Kalijati (kini Lanud Suryadarma) yang jatuh ke tangan Jepang. Setelah Jepang kalah perang, pesawat-pesawat ini diambil-alih BKR Oedara,” sambung Martinus.
Sayangnya semua dalam keadaan rusak, termasuk mesin pesawatnya. Menurut buku Sejarah TNI Angkatan Udara, Jilid 1 (1945-1949), rongsokan pesawat-pesawat itu kemudian dikumpulkan para montir Biro Rencana dan Konstruksi lalu diboyong ke Lanud Maospati.
“Para teknisi berencana memodifikasi pesawat pembom itu untuk dijadikan pesawat transpor dan intai dengan menggunakan material dan peralatan yang tersedia. Pengerjaan perakitan dan modifikasi ini dipimpin OMU II Sadjat,” sambung Martinus.
Wacananya mirip dengan yang dilakukan Hanandjoeddin dkk. di Lanud Bugis medio April 1946, di mana bekas pesawat pembom ringan Kawasaki Ki-48 diubah menjadi pesawat angkut yang dinamai Pangeran Diponegoro-II. Pesawat tersebut kemudian “dilarikan” dari Malang ke Yogyakarta untuk dijadikan andalan di Lanud Maguwo oleh Hanandjoeddin dan Komodor Agustunis Adisudtjipto.
Baca juga: Melarikan Pesawat dari Malang ke Yogya
Bedanya, Pangeran Diponegoro-II masih bisa diperbaiki dengan mencomoti komponen-komponen pesawat bekas Jepang lain. Sementara Sadjat cs. di Lanud Maospati mengakali ketiadaan mesin asli Bleinheim-nya dengan comotan mesin pesawat pembom berat Jepang yang punya power serupa, 950 tenaga kuda.
“Mesin yang digunakan adalah mesin Sakae buatan Nakajima. Mesin ini digunakan oleh pesawat pembom Ki-49 milik Rikugun. Karena disebutkan mesinnya adalah Sakae, maka yang paling mendekati adalah mesin Sakae 11 dan Sakae 12 berkekuatan 950 HP dengan berat 530 kg,” jelas Martinus yang juga perwira teknisi TNI AU berpangkat kolonel dan berdinas di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau) tersebut.
Maka dari berbagai proses pengerjaan modifikasi hingga perakitannya, pesawat Sakae-Bleinheim yang merupakan blasteran alias pesawat Inggris bermesin Jepang itu siap untuk uji terbang pada 13 November 1946 dari Lanud Maospati. Veteran pilot Jepang yang bergabung ke AURI, Narimasa Shinkai alias Suhanda, dipercaya menerbangkannya dengan membawa enam kru lain.
Pesawat Sakae-Bleinheim itu mampu lepas landas dari Lanud Maospati dengan mulus. Penerbangannya di langit Madiun juga berjalan lancar. Namun begitu memasuki menit ke-16, mulai dirasakan adanya problem. Ternyata bobot mesin Sakae yang terlalu berat lama-kelamaan membuat pesawat menukik dan sulit dikendalikan. Alhasil pesawatnya crash landing ketika hendak mendarat.
Sang pilot dan keenam kru masih beruntung, selamat. Namun kemudian Sakae-Bleiheim tinggal kenangan karena tak lagi bisa diperbaiki. Pesawat hibrid itu pun gagal menambah kekuatan AURI di masa perjuangan.
“Percobaan pertama ini boleh gagal, tetapi bukan berarti akhir dari perjuangan para teknisi dalam upaya membuat pesawat terbang sendiri,” tukas Martinus.
Baca juga: Flypass Nekat Montir Pesawat AURI