NYARIS seisi kota Tokyo rata dengan tanah pasca-Pemboman Tokyo pada 9 Maret 1945. Tak ayal Letda Kōichi Shikishima (diperankan Ryunosuke Kamiki), penyintas perang dan veteran pilot kamikaze Angkatan Laut Jepang, hanya bisa bertahan hidup di sebuah bedeng sepulangnya dari palagan Perang Dunia II.
Tak hanya hidupnya yang memprihatinkan, Kōichi juga masih terbelenggu beban masa lalu. Tragedi di Pulau Odo di hari terakhir perang terus menghantuinya. Tetapi bukan militer Amerika Serikat yang membantai dia dan beberapa teknisi pesawat di pangkalan Pulau Odo, melainkan sesosok kaiju alias monster raksasa, godzilla.
Kengerian di Pulau Odo itu jadi pembuka film epik Godzilla Minus One garapan sineas Takashi Yamazaki. Film yang dikemas dengan efek visual nan apik ini menghadirkan latar belakang yang khusus terkait masa-masa kelam Jepang untuk merayakan 70 tahun waralaba Godzilla.
Baca juga: House of Ninjas dan Bayang-Bayang Masa Lalu Ninja Hattori
Pasca-Perang Dunia II, peradaban Jepang ibarat mundur ke titik nol dan kehadiran kaiju itu jadi momok saat Jepang masih luluh lantak. Kondisi tersebut membuat setiap orang sebisanya saling membantu. Kōichi sendiri menampung dua penyintas Pemboman Tokyo di rumah bedengnya: seorang gadis yatim Noriko Ōishi dan Akiko, bayi perempuan yang kedua orangtuanya juga tewas dalam Pemboman Tokyo hingga akhirnya diadopsi Kōichi dan Noriko.
Karena tak bisa terus-menerus tenggelam dalam rasa bersalahnya sebagai penyintas pilot kamikaze dan demi menafkahi Noriko dan Akiko, Kōichi menerima pekerjaan dengan risiko besar: kru penyapu ranjau laut di perairan Jepang. Dengan kapal tunda Shinshei Maru, Kōichi bekerjasama dengan beberapa penyintas perang, salah satunya Kenji Noda (Hidetaka Yoshioka), insinyur dan eks-teknisi persenjataan AL Jepang.
Namun belum juga selesai untuk bangkit dari keterpurukan, penduduk sipil Jepang terancam dengan kembalinya Godzila. Sosok tersebut selama ini menghantui Kōichi comeback dengan menghancurkan Distrik Ginza hingga menewaskan dan menghilangkan ribuan orang.
Situasinya jadi lebih pelik lantaran pemerintah Jepang nyaris tak berdaya. Tank-tank ringan bekas perang dan kapal penjelajah Takao yang baru kembali dari Singapura dengan mudahnya dihancurkan Godzilla. Monster itu rupanya sudah lebih kuat dari yang dilihat Kōichi di Pulau Odo karena Godzillanya sudah bermutasi akibat uji nuklir Amerika di Bikini Atoll (1946).
Baca juga: SpongeBob dan Cerita dari Bikini Atoll
Jenderal Douglas MacArthur yang mewakili pemerintah dan militer Amerika Serikat juga tak bisa berbuat apapun karena manuver militer apapun yang dilakukan Amerika akan memicu reaksi dari Uni Soviet. Alhasil, penduduk Jepang melalui sebuah dewan pertahanan sipil Tokyo mesti menghadapi Godzilla sendirian.
Dari hasil rapat darurat dewan itu, Noda sang eks-insinyur persenjataan AL Jepang mengajukan ide yang butuh keterlibatan para veteran perang. Idenya memanfaatkan sisa-sisa kapal perusak AL Jepang dan satu unit pesawat purwarupa yang tak sempat digunakan dalam perang, Kyūshū J7W Shinden. Pesawat inovatif itu butuh diterbangkan pilot berpengalaman seperti Kōichi.
Seperti apa ide dan rencana besar itu? Bagaimana heroisme para veteran perang Jepang untuk menyelamatkan negeri mereka dari ancaman Godzilla? Baiknya saksikan sendiri Godzilla Minus One yang meski sudah tayang di bioskop sejak 3 November 2023 namun masih bisa disaksikan via sejumlah layanan over-the-top (OTT) seperti Netflix dan Apple TV mulai 1 Juni 2024.
Kekuatan Jepang yang Tersisa
Godzilla Minus One dikemas dengan ciamik. Dua bom atom yang dijatuhkan ke Hiroshima dan Nagasaki memang tak disinggung tim produksi Toho Studios, namun secara sinematorgrafi, iringan music scoring yang begitu menimbulkan teror dan garapan efek visual tentang kondisi pasca-Pemboman Tokyo sudah cukup menggambarkan pahitnya kehidupan rakyat Jepang yang mundur hingga titik nol.
Tidak heran bila kemudian film berdurasi 125 menit ini dianggap salah satu dari 10 film terbaik yang rilis pada 2023. Lebih sahih lagi, Godzilla Minus One juga memenangi Piala Oscar atau Academy Awards pada Maret 2024 di kategori “Best Visual Effects”, mengalahkan Napoleon, Guardians of the Galaxy Vol. 3, hingga Mission: Impossible – Dead Reckoning, Part One.
Godzilla Minus One menghadirkan latar belakang yang berbeda dari waralaba Godzilla lain yang melulu “pahlawannya” adalah Amerika. Dalam film ini, Yamazaki ingin penontonnya merasakan getirnya penderitaan rakyat Jepang pascaperang.
“Di manapun Godzilla muncul dalam film, ia membawa refleksi dari perang nuklir dan krisis lain akibat perbuatan manusia. Di Jepang pascaperang, kehidupan sudah hancur, para penyintasnya putus asa dan butuh bantuan dan saya ingin yang menonton film ini bisa memahami bagaimana perasaan penyintas di Jepang setelah Perang Dunia II,” kata Yamazaki kepada The Verge, 5 Desember 2023.
Baca juga: Dari Gojira sampai Godzilla
Tak hanya ingatan tentang pahitnya keadaan pascaperang, Yamazaki juga ingin merefleksikan keadaan saat Pandemi Covid-19. Baginya, situasinya serupa tapi tak sama lantaran ketidakmampuan pemerintah Jepang untuk hadir bagi warganya.
“Saya menulis skenario ini saat masih pandemi. Dalam pekan-pekan awal (pandemi) kami merasakan kesamaannya, bahwa pemerintah tak berbuat apapun. Segalanya bergantung pada kami (warga) sendiri dan saya ingin skenarionya bisa mencerminkan juga perasaan orang-orang yang menyadari itu. Dengan adanya masalah seperti Godzilla, kami harus bangkit sendirian untuk bisa bertahan hidup,” tambahnya.
Selain semangat, determinasi itu ditopang oleh sejumlah peralatan seadanya yang tersisa. Dalam alur cerita Godzilla Minus One, selain memanfaatkan sisa empat kapal perusak AL Jepang, Letda Kōichi Shikishima sang protagonis menebus kesalahannya di masa perang dengan kembali mengudara menggunakan satu pesawat purwarupa yang tak sempat dipergunakan untuk membantu Jepang di masa perang.
Sebagaimana penggambaran kapal penjelajah Takao dan kapal-kapal perusak sisa AL Jepang, penggambaran pesawat Shinden itu juga berdasarkan fakta sejarah. Pesawat unik tersebut didesain dan dikembangkan dari pemikiran para insinyur AL Jepang di Markas Persenjataan Udara AL Jepang Yokosuka dan dibantu industri Chigasaki Seizo K.K. pada Juni 1944.
Baca juga: Air Strike, Menyabung Nyawa di Udara China
Seiring seringnya tanah Jepang kena serangan udara Sekutu, para petinggi militer Jepang mengarahkan rancangan dan pembangunan alutsista udara pencegat pesawat-pesawat pembom musuh. Pesawat Shinden hanya satu di antaranya, yang sedianya ditujukan tak hanya untuk bisa diterbangkan pilot-pilot AL tapi juga Angkatan Darat (AD) Jepang.
“Kekalahan-kekalahan dalam pertempuran memaksa beberapa sentai (divisi) AD dan sejumlah kokutai (departemen) AL harus mau untuk regroup dan membentuk kesatuan-kesatuan gabungan. Program-program dan latihan-latihan antar-angkatan harus bisa menggunakan pesawat yang sama,” tulis Mark H. Lewis dalam The Sun Will Rise! Air War Japan 1946, Volume 3.
Untuk desain pesawat J7W Shinden, idenya datang dari staf teknis AL Jepang, Mayor Masayoshi Tsuruno: pesawat pencegat ini dirancang sebagai pesawat canard atau pesawat dengan sayap besarnya berada di bagian belakang badan pesawat. Alasannya, sebagaimana diungkapkan Rene Francillon dalam Japanese Aircraft of the Pacific War, desain canard akan memudahkan ke depannya jika ingin di-retrofit dengan mesin turbojet.
Untuk uji konfigurasinya, digunakanlah glider Yokosuka MXY6 yang dicoba dengan dipasok mesin 4 silnder Ha-90. Setelah itu, dua purwarupanya mulai dibangun pada Juni 1944 dan dijadwalkan selesai pada Januari 1945 meski kemudian molor hingga purwarupa pertamanya baru rampung pada April 1945.
“Bahkan sebelum purwarupa pertamanya bisa dites terbang, AL sudah memerintahkan J7W1 untuk diproduksi dengan kuota 30 unit per bulan di pabrik Zasshonokuma dan pabrik Nakajima Handa. AL berambisi sudah memiliki 1.086 pesawat dari produksi massalnya antara 1946 dan 1947,” tulis Francillon.
Baca juga: Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman
Pesawatnya dinamai “Shinden” yang berarti petir dahsyat. Uniknya, selain dibuat bertipe pesawat canard, Shinden juga menempatkan mesin dan baling-balingnya di bagian ekor pesawat, bukan di bagian hidung pesawat.
Purwarupa pertamanya, lanjut Francillon, memiliki dimensi panjang 9,66 meter dan lebar sayap 11,114 meter. Pesawat dengan satu kru itu memiliki bobot maksimal 4.928 kilogram dan bisa terbang dengan kecepatan maksimal 750 km per jam serta ketinggian maksimal 39 ribu kaki (12 km) berkat ditenagai mesin tunggal piston 18 silinder Mitsubishi Ha-43 Model 12 berpendingin air.
J7W1 Shinden juga dipersenjatai empat senapan mesin Type 5 kaliber 30 mm. Selain sebagai pencegat, ia juga bisa difungsikan sebagai pembom karena bisa mengangkut empat bom berbobot 3o-60 kg.
“Purwarupa pertamanya diuji terbang untuk kali pertama pada 3 Agustus 1945 di Pangkalan Udara Mushiroda dengan diterbangkan sendiri oleh Mayor Tsuruno. Sedangkan dua uji terbang lainnya dilakoni tepat bersamaan dengan dijatuhinya bom atom di Hiroshima (6 Agustus) dan Nagasaki (9 Agustus),” ungkap Mark Chambers dalam Wings of the Rising Sun: Uncovering the Secrets of the Japanese Fighters and Bombers of World War II.
Namun seperti yang diketahui, Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu dan pesawat Shinden pun batal beroperasi. Dari dua purwarupanya, satu dipreteli dan satunya disita unit intelijen teknis udara AL Amerika dan dikirim ke Amerika pada akhir 1945.
Deskripsi Film:
Judul: Godzilla Minus One | Sutradara: Takashi Yamazaki | Produser: Minami Ichikawa, Shūji Abe, Gō Abe, Kenji Yamada, Kazuaki Kishida, Keiichirō Moriya | Pemain: Ryunosuke Kamiki, Minami Hamabe, Munetaka Aoki, Hidetaka Yoshioka, Sakura Ando, Kuranosuke Sasaki, Miou Tanaka, Sae Nagatani | Produksi: Toho Studios, Robot Communications | Distributor: Toho | Genre: Drama Action | Durasi: 125 menit | Rilis: 3 November 2023, 1 Juni 2024 (Netflix, Appel TV).