GERAK Kolonel Pnb. (Purn.) Abd. Aziz Muhammad memang sudah terlihat ringkih saat melangkah dari pintu ke meja kerjanya di sudut ruangan kantor Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (Wantimpus LVRI). Namun bicaranya masih lugas dan ingatan akan segala pengalaman operasinya tak lekang termakan waktu.
Usianya sudah menyentuh 86 tahun tapi masih menyibukkan diri sebagai sekretaris Dewan Pertimbangan Pusat (Wantimpus) LVRI periode 2022-2027. Tawa renyahnya mengisi kesenyapan ruangan saat bercengkerama dengan sesama pengurus –di antaranya Wakil Ketua Wantimpus LVRI Marsda PNB (Purn) Tatang Kurniadi, anggota Wantimpus LVRI Mayjen (Purn.) Iwan Ridwan Sulandjana, dan Brigjen Mar. (Purn.) Ismi Edy Ismakum– di lantai 11 Gedung LVRI Jakarta.
Hari itu, dengan mood-nya yang sedang baik Aziz semangat untuk membuka lemari ingatan akan pengalaman terbangnya semasa jadi jagoan udara Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) di berbagai operasi. Ia merupakan satu dari sedikit veteran AURI yang sempat mengecap pendidikan di Cekoslovakia (kini Rep. Czechia dan Slovakia) dalam “Operasi Cakra” dan menjajal sejumlah alutsista Eropa Timur pada 1960-an.
Aziz lahir di perkampungan Samalanga, kota kecil yang sekarang berada di wilayah Bireuen, Aceh, pada 17 Juli 1938. Sejak kanak-kanak, Aziz sudah kepincut dengan kedirgantaraan gegara sering melihat pesawat-pesawat Jepang berseliweran di langit Samalanga.
“Waktu zaman Jepang itu pada tahun 1945 saat Jepang mau meninggalkan Indonesia, beberapa kali saya lihat (pesawat) Jepang terbang ke daerah lapangan terbang darurat dekat kampung saya. Oleh karena itu saya pun berpikiran kalau bisa mau jadi penerbang,” terang Aziz kepada Historia.
Baca juga: Kisah Marsekal dari Soreang
Tetapi ingatannya akan masa pendudukan Jepang tak sepenuhnya terang. Padahal, pernah ada peristiwa penting di kampungnya. Menurut sejarawan Anthony Reid dalam The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, di Jeunieb yang dekat dari Samalanga pernah terjadi Pemberontakan Pandrah pada Mei 1945. Penyebabnya militer Jepang meminta buruh paksa untuk membangun sebuah landasan udara (lanud).
“Peristiwa penting yang disebut Pemberontakan Pandraih pada Mei 1945 di Jeunieb (Samalanga) terjadi setelah adanya beberapa insiden kecil terkait tuntutan Jepang akan buruh untuk (membangun) lapangan udara di dekat situ. Penduduk desa Lheue Simpang merespons dengan melancarkan serangan malam ke kamp dan membunuh dua (tentara) Jepang sebelum bersembunyi di perbukitan,” tulis Reid.
Ingatan Aziz baru agak jernih saat membahas masa-masa SMP dan SMA-nya. Aziz sempat terganggu pendidikannya saat beranjak dari jenjang SD ke SMP karena medio 1953 terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh pimpinan Daud Beureuh.
“(Sekolah) Saya ketinggalan dua tahun karena ada pemberontakan (DI/TII) di Aceh di bawah Daud Beureuh. Akhirnya dua tahun saya menganggur. Itu juga kampung saya ditembaki (pesawat P-51) Mustang angkatan udara. Beberapa orang kena tapi untungnya kita enggak kena,” lanjut Aziz.
Menurut buku Sejarah Angkatan Udara Indonesia (1950-1959): Jilid II yang disusun Kol. Sus. Titiek Purbaningsih dkk., dalam operasi penumpasan pemberontakan DI/TII Aceh, AURI melalui Komando Grup Komposisi menerjunkan sejumlah pesawat udaranya dari Skadron 1 dan Skadron 2 untuk membantu pasukan darat dari Komando Tentara dan Territorium Medan. Kekuatannya berbasis di Medan untuk beroperasi di langit Blang Bintang, Bireuen, Sigli, Lhok Nga, hingga Takengon.
“Suasana Aceh saat itu tidak menentu bagi kami yang sekolah. Maka saya pindah sekolah ke Medan pada oom (paman, red.) saya di Medan sampai tamat SMP. Mau masuk SMA negeri, ternyata ayah saya minta saya balik ke Aceh. Saya pendidikan SMA berakhir (tamat) 1959 di Aceh, langsung melamar ke tiga angkatan,” kenang Aziz.
Aziz memberanikan diri merantau ke Jakarta karena kebetulan ada familinya di ibukota. Dari tiga matra, Aziz lulus masuk Pendidikan Perwira AURI (kini Akademi Angkatan Udara/AAU) sebagai taruna “karbol” –julukan kadet AU yang merujuk pada panggilan akrab mendiang Abdulrahman Saleh– pada 1960.
Baca juga: Merawat Ingatan Setengah Abad di Lembah Tidar
Jebolan Cekoslovakia "Menjemput" Kahar Muzakkar
Dari Jakarta, Aziz masuk pendidikan latihan militer dasar di Lanud Margahayu, Bandung. Ia lantas lulus tes untuk masuk ke “Operasi Cakra” yang akan dikirim ke Cekoslovakia.
Menurut buku Sejarah Angkatan Udara Indonesia (1960-1969): Jilid III yang juga disusun Kol. Sus. Titiek Purbaningsih dkk., AURI mengirimkan para kadetnya dalam “Operasi Cakra” ke Prostějov, Hradec Králové, dan Přerov dalam tiga gelombang: Cakra I (1959-1961), Cakra II (1960-1962), dan Cakra III (1961-1963). Adapun Cakra IV (1964-1967) para kadetnya dikirim ke Yugoslavia, khusus para kadet teknik penerbangan.
Aziz sendiri merupakan jebolan Cakra III. Dengan dibimbing para instruktur AU Cekoslovakia, para kadet Cakra III dilatih berbagai teknik dan manuver menerbangkan pesawat fixed wing bermesin piston hingga bermesin jet.
“Semua harus belajar terbang fixed wing dulu. Kita mulai dengan pesawat dasar Z-105 (Zlín Z-126 ‘Trener’ varian C-105). Kita harus sudah bisa menguasai dalam waktu 15 jam untuk beberapa manuver, take off, landing, (terbang) loop, feeling dan judgment-nya. Kita spin angkat pesawat sampai stall dan habis kecepatan lalu jatuh. Nah di situ bagaimana kita harus bisa recover. Setelah itu baru ke pesawat yang lebih besar dan lebih cepat, (Yakovlev) Yak-11,” urai Aziz.
Baca juga: "Capung Besi" Rusia
Tetapi karena kebutuhan seiring Presiden Sukarno mengobarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat, AURI mulai mendapatkan alutista rotary wing alias helikopter. Alhasil sebagian kadet Cakra II yang masih mengenyam pendidikan di Cekoslovakia segera diarahkan untuk jadi penerbang pesawat-pesawat jet dan heli Eropa Timur.
“Di situ tahu-tahu Irian (Barat) harus segera direbut. Kami yang berada di luar negeri memerlukan (pendidikan) helikopter juga. Ada yang dilatih (jet tempur) Mig-15 dan Mig-17. Jadi dipisahkan. Saya langsung ke pendidikan heli. Awalnya dilatih heli (Mil) Mi-1. Ketika sudah pulang saya pegang Mi-4,” katanya.
Aziz pulang ke tanah air medio 1962 dengan pangkat Sersan Mayor Kadet. Seiring dibentuknya Skadron Udara 6 pada 24 Februari 1962 di Wing Operasi 004 AURI yang berbasis di Lanud Semplak (kini Lanud Atang Sendjaja) Bogor, Aziz resmi menyandang status perwira berpangkat letnan dua.
“Skadron Udara 6 dibentuk sebagai tindak lanjut pengembangan dari Skadron 6 Helikopter, merupakan cikal bakal seluruh satuan helikopter yang ada sekarang ini. Skadron Udara 6 mewadahi sejumlah pesawat jenis (heli angkut) Mil Mi-4 dengan komandan (pertamanya) Letnan Udara Satu SP Oetomo dengan perwira teknik LU II Tohari,” ungkap Danlanud Atang Sendjaja periode 2002-2005 Kol. Pnb Tengku Djohan Basyar dalam buku Home of Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja, 1950-2003.
Tetapi Operasi Mandala keburu bubar. Kendati sempat terjadi beberapa insiden, seperti Pertempuran Laut Aru (15 Januari 1962), konflik Indonesia-Belanda yang dimediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu akhirnya diselesaikan dengan damai. Lewat Penentuan Pendapat Rakyat (14 Juli-2 Agustus 1969) yang kontroversial, Irian Barat sah menjadi wilayah Indonesia.
Baca juga: Misteri Kematian Kahar Muzakkar
Meski begitu, berbagai pemberontakan tetap merecoki pemerintahan. Letkol Kahar Muzakkar yang memimpin Komando Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS) dan berafiliasi dengan DI/TII Sulawesi Selatan juga memberontak. Pangdam Hasanuddin Kolonel M. Jusuf pun meminta pasukan bantuan. Kodam Siliwangi lalu mendatangkan bantuan Batalyon Infanteri 330/Kujang di bawah komando Letkol Solihin GP.
AURI juga dilibatkan dengan menerjunkan bantuan pesawat-pesawat angkut C-47 Dakota dan pembom B-25 Mitchell dari Skadron 1 dan Skadron 2, serta heli-heli Mi-4 dari Skadron 6. Aziz turut serta dalam Operasi Tumpas (Februari 1965) itu dengan menerbangkan Heli Mi-4 dari Bogor ke Makassar.
“Di sanalah (saya) dapat banyak jam terbang operasional. Kita tugasnya setiap bulan di sana. Sebulan bertugas, lalu balik lagi dua minggu untuk istirahat, lalu balik ke sana lagi. Jadi bergantian dengan yang lain. Pasukan yang saya bawa dari (Kodam) Siliwangi, (pimpinan) Pak Solihin GP. Pekerjaan saya melayani (pengangkutan) mereka sampai Kahar Muzakkar ditangkap,” terang Aziz.
Aziz lalu membuka lipatan sebuah peta. Ia mendekatkan matanya dibantu kacamata untuk memfokuskan pada beberapa titik tempat ia bolak-balik mengangkut pasukan Siliwangi yang diterjunkan untuk memburu Kahar Muzakkar yang bersembunyi hingga ke wilayah pegunungan di Konawe, Sulawesi Tenggara.
“Saya harus menempuh jalan (dari pangkalan Makassar) mengantar dan jemput mereka di hutan-hutan sana. Ada namanya kota Pakue. Jadi saya dari Makassar biasanya ke Parepare, terus saya ke Palopo, lalu cross (menyeberangi Teluk Bone) ke kampung pinggir pantai, Pakue dekat laut. Di situlah pasukan kita membuat pos pinggir pantai karena rupanya Kahar sudah bergerak ke Sulawesi Tenggara,” terang Aziz sambil menunjuk titik letak perkampungan terpencil di pesisir Kabupaten Kolaka Utara.
Baca juga: Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali dari Celana Dalam
Namun, seingat Aziz, rute transit di Parepare dan Palopo terkadang mesti dilewatkan jika cuacanya buruk. Jika begitu, ia akan memilih rute langsung Makassar-Pakue. Di Pakue itu pula pada awal Februari 1965 ia mendapat kabar untuk “menjemput” Kahar.
Pasukan Yon 330/Kujang, menurut Syafaruddin Usman dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar, terus memburu Kahar dan pengikutnya sampai ke pegunungan dekat Sungai Lasolo berbekal radio transistor Kahar. Dalam sebuah pertempuran pada 3 Februari 1965, Kahar dan pengikutnya tak lagi bisa melarikan diri dan dilaporkan tewas tertembak.
“Terus saya ngambil (jenazah Kahar) di sini, bawa pulang ke sini dulu. Dari Pakue baru ke Makassar. Jadi tugas saya cuma sampai di situ sudah. Setelah di Makassar, saya enggak tahu dikemanakan (jenazah) Kahar Muzakkar,” sambung Aziz sembari menunjuk Lasolo lalu Pakue di petanya.