Masuk Daftar
My Getplus

Lika-liku Opsir Luhukay

Opsir ahli radio Angkatan Udara ini pernah merusak alat radio dan masuk ke daerah lawan hingga ditawan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Oleh: Petrik Matanasi | 18 Jan 2024
Gedung serbaguna Luhukay di Lanud Pattimura, Ambon (Akun Instagram Lanud Pattimura, @lanud_pattimura_ambon)

Sebuah peringatan kepada Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura diadakan pada 14 Mei 1967 di atas kapal Berau. Dalam acara itu diadakan pesta kembang api. Namun, alat pelontar (loop) kembang apinya ada yang bermasalah. Ledakan kembang apinya pun jadi masalah karena pecahannya mengenai seseorang yang ada di dekat peledakan tersebut.

Korban itu adalah Komodor Jan Joseph Luhukay, direktur Hubungan Masyarakat Angkatan Udara RI saat itu. Komodor di Angkatan Udara kala itu. Koran El Bahar tanggal 19 Mei 1967 menyebut Komodor Luhukay meninggal dunia karena luka oleh pecahan ledakan kembang api tersebut. Komodor Luhukay kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Komodor Luhukay dimakamkan di Kalibata bukan sekadar karena dia seorang pejabat militer, tapi dia juga bagian dari perjuangan dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Ketika Republik Indonesia (RI) genting setelah Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, Luhukay muda termasuk orang berusaha memastikan RI masih ada, lewat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Dia bekerja di bawah Opsir Udara I (setara dengan letnan kolonel) Hubertus Sujono. Sujono bertindak sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) di PDRI. Kala itu, Luhukay masih berpangkat Opsir Udara III, setara letnan dua.

Advertising
Advertising

Di Sumatra Barat itu, mula-mula Luhukay memimpin satuan perhubungan di Bukittinggi. Luhukay adalah juru radio sejak muda. Pria Ambon kelahiran Malang, 20 Desember 1919, ini menyenangi soal radio sejak zaman Hindia Belanda. Majalah Angkasa edisi Mei 1967 menyebut Luhukay belajar soal radio sejak 1935, setelah keluar dari MULO (SMP) kelas dua. Setelah AU berdiri sejak 1946, dia  bergabung ke dalamnya.

Di Bukittinggi semasa PDRI, dia diperintahkan Sujono pindah ke Halaban, Payakumbuh. Bersama anak buahnya, Luhukay membawa peralatan radio jarak jauh dan alat pendukung lainnya.

Baca juga: Sjafruddin Prawiranegara: Sebenarnya Saya Seorang Presiden

 

Namun begitu tiba di Halaban, belum juga radio mengudara, Luhukay dkk. mendengar tentara Belanda mendekat. Mereka pun mesti menyelamatkan diri. Namun, sulit bagi mereka membawa peralatan-peralatan radio mereka.

“Agar peralatan perhubungan itu tidak jatuh ke tangan Belanda dan untuk menghilangkan jejak, maka Opsir Muda Udara III Luhukay memutuskan untuk segera memusnahkan (membumihanguskan) alat komunikasi tersebut,” catat Subdisjarah AU dalam Peran TNI-AU Pada Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia tahun 1948-1949.

Bersama Sersan Mayor Udara Soesatyo, Sersan Udara Soegianto Soerjo, dan Opsir Mudara Udara Woeryono, Luhukay akhirnya bergabung dengan kelompok Opsir Udara II M Jacoeb. Mereka lalu menuju Kototinggi.

Dari sana, Luhukay merencanakan kembali ke Bukittinggi yang dikuasai pasukan musuh. Sujono memerintahkannya untuk mencari informasi tentang tentara Belanda di sana.

Baca juga: Cerita Sedih dari Bukittinggi

 

Luhukay lalu menyamar untuk memasuki Bukittinggi. Selama menyamar, Luhukay berhasil mendapatkan komponen-komponen untuk alat pemancar radio AURI di pedalaman Sumatra Barat. Suku cadang penting sekali dalam mengantisipasi kerusakan alat yang rentan terjadi di masa perang. Penyamaran Luhukay itu berlangsung dua bulan lamanya.

Luhukay akhirnya tertangkap dan ditahan di Padang. Ketika Luhukay ditahan, pemancar radio AURI tetap bekerja menghubungkan PDRI dengan perwakilan RI di luar negeri maupun dengan pejabat RI yang masih bergerilya di Jawa.

“Jaringan radio AURI berporoskan Aceh-Yogya, meliputi stasiun radio dalam pengungsian Kotaraja, Tarutung, Bangkinang, Pasir Pangreyen, Kotatinggi. Stasiun mobil mengikuti PDRI di daerah Kerinci, Lubuk Linggau, Wonosari, dan Jamus (sekitar Gunung Lawu). Selain itu, ada juga hubungan radio ke luar negeri, dengan satuan AURI/Indonesian Airways yang berpangkalan di Burma, lewat Aceh,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Di Jawa, radio AURI dijalankan secara sembunyi-sembunyi oleh Opsir Udara III Boediardjo di sebuah rumah penduduk di Playen, Gunung Kidul, dengan call sign-nya PC2. Alhasil meski para pemimpin pemerintah di ibukota ditawan, republik tetap berjalan dan komunikasi tetap intens.

Baca juga: PC2, Radio Penjaga Eksistensi Indonesia

 

“Komunikasi terus terjalin antara Pemerintah Darurat RI di Sumatra dan Pulau Jawa, termasuk pula dengan pemimpin RI yang tengah berada di dalam pengasingan di Pulau Bangka. Suryadarma, yang pada saat itu termasuk dalam tahanan Belanda yang diasingkan di Pulau Bangka, tetap dapat melakukan kontak dengan para personil AURI, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri (Rangoon, Burma) melalui stasiun PHB Kutaraja, Aceh,” tulis Adityawarman Suryadara, putra KSAU pertama Suryadi Suryadarma, dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma.

Luhukay baru bebas setelah Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Dia kemudian berdinas lagi di korps elektro Angkatan Udara. Pangkatnya naik menjadi letnan dua pada awal 1950 dan naik lagi menjadi letnan satu pertengahan 1950. Kenaikan pangkatnya tergolong lancar: kapten (1954), mayor (1958), letnan kolonel (1961), kolonel (1963) sampai akhirnya komodor (1966). Sebelum tutup usia, Komodor Luhukay pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Nama Luhukay kemudian diabadikan menjadi nama lapangan upacara dan gedung serbaguna di lanud Pattimura, Ambon.

TAG

auri tni au perang kemerdekaan pdri bukittinggi

ARTIKEL TERKAIT

Pelaut Madura dalam Sejarah Indonesia Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Wardiman Menyambut Kemerdekaan Seragam Batik Tempur Misteri Pembela Omar Dani Sepenggal Kisah dari Kolonel Hidajat Martaatmadja Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947