Cerita Sedih dari Bukittinggi
Bagaimana orang-orang Minang menuturkan kejamnya perang saudara.
BUKITTINGGI, 2008. Pagi baru saja menyeruak, ketika Sutan Iskandar berdiri mematung tepat di bawah Jam Gadang. Matanya seolah menyapu pemandangan sekeliling. Angin bulan Desember berdesir lembut, mengarahkan hawa sejuk pegunungan ke pori-pori tubuh. Dalam wajah sendu dan bibir agak gemetar, mulut Iskandar nampak komat-kamit membaca sebait doa.
“Semoga ninik mamak kita yang sudah berpulang dan menjadi korban perang saudara di masa lalu diterima di haribaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amiiinnn…” ujarnya, nyaris tak terdengar.
Sutan Iskandar masih berusia 12 tahun ketika kejadian itu berlangsung. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan tentara-tentara pusat (sebutan orang-orang Minang saat itu kepada tentara pemerintahan Sukarno) menggiring ratusan orang dalam kelompok-kelompok kecil ke sekitar monumen Jam Gadang. Mereka mayoritas adalah laki-laki.
“Selanjutnya saya tidak menyaksikan lagi mereka diapakan, tapi memang saya mendengar tembakan berkali-kali dari arah Jam Gadang,” kenang lelaki kelahiran Bukittinggi pada 1947 itu. Apa yang terjadi di ranah Minang saat itu?
Tersebutlah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang dicetuskan oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein (tokoh pejuang kemredekaan Sumatera Barat) pada 10 Februari 1958 di Padang. Gerakan ini sejatinya menurut sejarawan R.Z. Leirissa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis adalah koreksi politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap berat ke sebelah kiri.
Alih-alih menerima dengan lapang dada, kritik dan tawaran untuk membubarkan kabinet Djuanda, Presiden Sukarno malah memerintahkan tentara untuk menyerang Sumatera Barat. Maka diadakanlah Operasi 17 Agustus yang diluncurkan pada 17 April 1958, dipimpin oleh Kolonel Achmad Yani dengan mengirimkan pasukan ke wilayah-wilayah Sumatera Barat. Sejak itulah ranah Minang dibekap perang saudara yang memilukan.
Baca juga: Operasi Bersama Gempur Sumatera
Saya sendiri baru menulis kembali kisah sedih itu hari ini. Ketika kali pertama saya mendengarnya dari mulut Iskandar 11 tahun yang lalu, saya hanya menyimpan data sejarah tersebut dan belum sempat mengkonfirmasinya ke dokumen-dokumen atau buku-buku tentang gerakan PRRI. Hingga beberapa hari lalu saya menemukan sebuah buku berjudul PRRI: Pemberontakan atau Bukan? hasil riset seorang guru jebolan fakultas sejarah Universitas Negeri Padang bernama Syamdani.
Dalam buku itu putra kelahiran Minang tersebut, menukil sebuah artikel yang pernah dimuat surat kabar Singgalang pada 20 Januari 2000 berjudul "Tragedi di Bawah Jam Gadang, Pasukan A. Yani Bunuh 187 Orang". Di artikel itu disebutkan dari jumlah 187 orang yang dibunuh hanya 17 orang yang teridentifikasi sebagai gerilyawan PRRI, sedangkan 170 lainnya adalah rakyat sipil yang belum tentu terlibat dalam gerakan itu. Rupanya apa yang diceritakan oleh Sutan Iskandar kepada saya 11 tahun lalu bukanlah isapan jempol semata.
Selain Insiden Jam Gadang, pembunuhan, penyiksaan dan teror pun banyak dialami oleh rakyat Sumatera Barat kala itu. Betti Yusfa dalam sebuah makalah yang dikeluarkan oleh IKIP Padang pada 1998, "Kekerasan dalam Zaman PRRI di Tlatang Kamang 1958-1961", menuliskan kisah pilu keluarga seorang ulama asal Kamang bernama Kari Mangkudung. Dari hasil wawancara Betti dengan seorang tokoh masyarakat di Kamang, Z. Sutan Kabasaran, dituturkan bagaimana keluarga Kari Mangkudung musnah dibantai tentara pusat.
“Mereka hanya menyisakan seorang bayi berusia tiga bulan yang kemudian dibawa seorang tentara pusat dan sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana rimbanya,” ungkap Sutan Kabasaran seperti dikutip oleh Betti dalam makalahnya.
Betti juga mengungkap insiden di Desa Bansa pada 1959. Dari saksi sejarah bernama M. Datuk Manindieh dikisahkan tentang kisah sedih tiga pemuka masyarakat Desa Bansa bernama Datuk Kabasaran, Datuk Beco dan Datuk Alam. Tanpa sebab musabab, ketiga orang tua yang tak berdaya itu diperintahkan jalan ke Desa Pauh (berjarak 4 km dari Bansa) sambil diiringi oleh sekelompok tentara pusat.
Begitu sampai di Desa Pauh, para tentara itu menyuruh ketiga orang tua tersebut mendaki sebuah bukit. Sambil terseok-seok, ketiganya menuruti apa yang diperintahkan oleh para prajurit tersebut. Alih-alih dibebaskan, ternyata ketiganya hanya menjadi sasaran latihan tembak.
“Dari jarak yang cukup jauh, tentara pusat menembaki mereka satu persatu hingga mayat-mayat ketiganya bergulingan ke kaki bukit,” ungkap Datuk Manindieh.
Teror juga dilakukan oleh tentara pusat terhadap orang-orang Kuala Tangkar. Kesaksian seorang penduduk bernama Sanur dalam surat kabar Singgalang, 2 Februari 2000, menyebutkan bahwa pernah karena orang-orang Kuala Tangkar dianggap pro-PRRI, mereka menyerang desa itu dengan mengerahkan empat tank baja.
“Tank-tank itu menghujani rumah-rumah penduduk dengan peluru-peluru secara membabi buta hingga musnah terbakar,” ungkap Sanur.
Baca juga: Kala Tentara Menguasai Negara
Pembantaian massal juga pernah dilakukan tentara pusat pada November 1959 di Kamang. Pada hari Senin saat diadakan hari pakan/pasar, sejak pukul 7 pagi, tak hentinya tentara pusat mengirimkan peluru-peluru mortir dari Bukittingi. Tak cukup dengan menggunakan mortir, artileri berat dari Angkatan Darat pun ikut berbunyi disusul dengan serangan udara dari sebuah pesawat tempur. Akibatnya banyak rakyat bersimbah darah.
Teror pun dilakukan dengan mengumpulkan anak-anak dan perempuan. Mereka kemudian diinterogasi satu persatu dan disuruh mengaku bahwa suami-suami mereka terlibat dalam gerakan PRRI. Kemudian aksi-aksi identifikasi dilkukan oleh tentara pusat dengan memberi tanda silang besar pada rumah-rumah yang dicurigai salah satu anggota keluarganya terlibat dalam gerakan PRRI.
“Zaman itu adalah zaman yang penuh kesedihan, tak ada orang Minang yang hidup saat itu segera bisa melupakannya,” kata Sutan Iskandar, masih terngiang begitu jelas di telinga saya.
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Tambahkan komentar
Belum ada komentar