Masuk Daftar
My Getplus

Pelaut Madura dalam Sejarah Indonesia

Mereka ada sejak era kapal kayu hingga kapal besi nan modern. Secuil kisah para pelaut asal Madura

Oleh: Petrik Matanasi | 06 Feb 2024
Ilustrasi kapal-kapal dari Madura tahun 1599, dalam laporan pelayaran Second Ship’s Voyage to the East Indies di bawah pimpinan Jacob Cornelisz van Nes dan Wijbrant van Warwyck pada 1598-1600. (www.rijksmuseum.nl)

Selain menambang garam dan berdagang, banyak orang Madura yang mencari penghidupan dengan menjadi nelayan atau pelaut. Daerah di Jawa Timur yang disebut Tapal Kuda merupakan salah satu pembuktinya. Bahasa Madura banyak dipakai di sana. Itu menandakan ada perpindahan orang Madura dari daerah asal di Pulau Madura ke Jawa Timur, sejak ratusan tahun silam. Perpindahan itu tentu menggunakan jalur laut melewati Selat Madura, dan menuntut mereka untuk berlayar.

“Transportasi laut telah menjadi bagian hidup dari orang-orang Madura. Sepanjang Pantai Utara dan Selatan beberapa pelabuhan telah dibangun oleh penduduk asli, digunakan untuk menangkap ikan. Tentu saja, orang Madura adalah peluat ulung,” kata Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940.

Orang Madura berlayar ke berbagai tempat, terutama ke sekitar Laut Jawa dan Selat Makassar. Kemampuannya jelas tak diragukan.

Advertising
Advertising

“Di negeri kepulauan ini, mereka (orang Bugis-Makassar, red.) adalah nakhoda-nakhoda yang tak ada tandingannya –orang Madura ada di urutan kedua dalam bidang pelayaran,” tulis Theodora Benson, novelis-penulis Inggris yang berkunjung ke Hindia Belanda tahun 1930-an dalam artikelnya di buku Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992, “Berkeliling Sulawesi bersama Orang Belanda”.

Salah satu dari pelaut Madura bahkan sampai ke Gorontalo. Pelaut itu di Gorontalo mengangkat seorang anak yang lalu dibawa ke Surabaya. Anak itu adalah Abdullah.

Sebagai pelaut, orang-orang Madura akhirnya tidak hanya menjadi sekadar pelaut tradisional. Banyak pemuda Madura akhirnya bisa bekerja di kapal-kapal modern. Di awal abad XX, Angkatan Laut Kerajaan Belanda alias Koninklijk Marine (KM) dan perusahaan pelayaran nasional Koninklijk Packetvaart Maatschappij (KPM) juga menerima pemuda-pemuda dari Madura.

“Kalau saya lihat yang namanya dari Madura, hampir semua itu pegang di riding (kemudi),” kata nahkoda senior Capt Albert Lapian yang kini memimpin Sekolah Tinggi Pelayaran Akademi Maritim Indonesia, Jakarta.

Baik KM maupun KPM seperti mengklasifikasikan para pekerja berdasarkan asal daerah. Bila orang Madura umumnya jadi juru mudi, orang Ambon sering ditempatkan di bagian mesin. Orang Manado sering ditempatkan di bagian pergudangan, sebagaimana ayah Albert Lapian.

“Itu semua Belanda yang pilih-pilih,” begitu kata putra Pahlawan Nasional BW Lapian dan sejarawan Maritim AB Lapian ini.

Salah satu orang Madura di KM adalah Supardi. Lawi Soemodihardjo alias Kromo Lawi menyebut nama Supardi dalam riwayat Inlandsch Marine Bond (IMB) yang dibuatnya pada 20 Mei 1973 dan terhimpun dalam koleksi arsip Anton Lucas. Ketika IMB terbentuk pada 25 Mei 1925 di Jagalan 41 Surabaya, Supardi duduk sebagai bendahara perkumpulan tersebut. 

Jauh setelah Supardi menjadi anggota KM ketika Perang Dunia II berkecamuk, seorang pemuda Madura lulusan Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) Magelang mendaftar pula masuk Angkatan Laut Belanda. Meski pemuda ini sudah menjadi pegawai negeri di Probolinggo, dia tetap mendaftar atas petunjuk dari Bupati Probolinggo Raden Adipati Ario Poedjo. Pemuda itu adalah Abdul Halim Perdanakusumah (1922-1947), anak seorang priyayi dan adik seorang pegawai senior pula.

“Ia ditempatkan di bagian pendidikan calon perwira torpedo,” catat Soenjata Kartadarmadja dalam Halim Perdanakusuma.

Halim tak pernah benar-benar ditempatkan di kapal untuk mengendalikan torpedo dalam melawan armada laut Jepang. Dia malah dibawa ke luar negeri dan akhirnya menjadi perwira navigator pesawat pembom Sekutu.

“Ada yang mendapat pendidikan penerbangan sebagai navigator di luar negeri, seperti Halim Perdanakusuma yang sempat bertugas pada Royal Air Force (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) dan ikut melancarkan operasi penerbangan di Eropa pada waktu Perang Dunia II,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Setelah Abdul Halim, ada pemuda keturunan Madura bernama Abdulrachman Atmosudirdjo. Sebelum Jepang datang pada Maret 1942, dia sudah menjadi perwira kapal di Gouverment Marine (Dinas Pelayaran Sipil semacam Perhubungan Laut sekarang). Perang Dunia II membuat statusnya berubah.

“Kami sendiri semenjak 1941 berlayar di Government Marine. Selama Perang Dunia II berada di Ceylon dan Australia, terakhir dengan pangkat luitenant der zee der tweede Klasse Koniiiklijke Marine Reserve,” katanya dalam Surat Pembaca Tempo edisi 31 Desember 1977.

Abdulrachman dijadikan letnan kelas dua cadangan Angkatan Laut Belanda. Sebagai orang Indonesia, dia dimanfaatkan NEFIS untuk melawan Jepang. Setelah 1945, dia kabur dan bergabung ke pihak Indonesia.

Sekitar November 1945, Abdullah Gorontalo yang jadi anak angkat dari pelaut Madura di awal tulisan menjadi komandan pasukan dalam Pertempuran 10 November 1945. Meski buta huruf, dia berhasil menjadi seorang mayor. Belakangan, dia gugur di Maluku dalam penumpasan RMS.

Sementara itu, pada Oktober 1945, Halim Perdanakusuma pulang ke Madura dan akhirnya bergabung dengan Angkatan Udara RI. Sekitar 1947, dengan pangkat Kolonel dia dijadikan kepala Badan Intel Kementerian Pertahanan V (KP-V). Namun pada akhir 1947, Halim mengalami nahas di Tanjung Hantu bersama Iswahjudi yang merenggut nyawa keduanya. Halim kemudian mendapat pangkat komodor (setara marsekal pertama), jasadnya kemudian dipindahkan ke TMP Kalibata setelah sempat dikebumikan di Teluk Murok, Perak, Malaya.

“Di atas makam itu, oleh Cik Gu Zaenal Abidin bin H. Ibrahim dipancangkan nisan yang bertuliskan jenazah Komodor Muda Udara A. Halim yang gugur di Tanjung Hantu tanggal 14 Desember 1947,” tulis laman TNI AU di lamannya.

TAG

sejarah maritim pelaut madura auri halimperrdanakusuma

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal-jenderal Madura Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Lika-liku Opsir Luhukay Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Wardiman Menyambut Kemerdekaan The Mercy, Berlayar dan Tak Kembali Seragam Batik Tempur Misteri Pembela Omar Dani Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947