Masuk Daftar
My Getplus

Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib

Alkisah sepasukan AURI yang tak hanya harus menghadapi Belanda dan sisa-sisa PKI-Musso tetapi juga mesti meladeni barisan prajurit gaib.

Oleh: Randy Wirayudha | 25 Jan 2024
Pasukan AURI pimpinan OMU III Hanandjoeddin (Foto: Dok. Pribadi alm H. AS. Hanandjoeddin/Koleksi Haril Andersen)

JEMBATAN Watulimo, Trenggalek, Jawa Timur di suatu siang pada pertengahan Januari 1949. Segelintir pasukan Detasemen Udara Prigi yang merupakan bagian dari pasukan Pangkalan Udara (Lanud) Campurdarat memasang bom tarik dari sisa-sisa peledak peninggalan Jepang. Namun, upaya peledakan itu berkali-kali gagal meski bomnya sudah dirakit dan dipasang dengan seksama.

Sebulan sebelumnya, Detasemen Udara Prigi pimpinan Opsir Moeda Oedara (OMU) III Hanandjoeddin yang menyisakan 83 kombatan itu mengungsi dari pertahanan Pantai Prigi. Mereka mengungsi karena kapal perang Belanda membombardir kubu pertahanan gabungan Detasemen Udara Prigi (AURI) dan Corps Armada IV (ALRI) pada Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948.

“Anggota telik sandi melaporkan bahwa Belanda telah mencapai Kewedanan Kampak. Satu-satunya cara untuk menghambat pergerakan Belanda di wilayah Watulimo adalah memutus jembatan penghubung antara Kewedanan Watulimo dan Kampak,” tulis Haril M. Andersen dalam biografi Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda

Upaya bertahan di masa genting dalam perang gerilya itu menjadi tantangan terendiri bagi sisa-sisa pasukan Lanud Campurdarat, utamanya Detasemen Udara Prigi. Pasalnya tidak hanya Belanda yang dihadapi, mereka juga mesti waspada terhadap sisa-sisa pasukan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang –merupakan bentukan PKI– memberontak di Madiun tiga bulan sebelumnya. Belum lagi, kondisi internal AURI setelah Kepala Stafnya, Komodor Suryadi Suryadharma, ikut ditawan Belanda usai menyerbu Yogyakarta di hari agresi yang sama. Bahkan struktur Lanud Campurdarat sempat dibubarkan sebelum akhirnya diaktifkan lagi dengan kondisi darurat.

“Di Pangkalan Udara Campurdarat komandannya sedang dinas ke Yogyakarta, anggotanya dibubarkan dan diinstruksikan untuk menjelma menjadi rakyat dan pulang ke rumah masing-masing. Tentu hal ini menggelisahkan dan membingungkan para anggotanya. Begitu pula dengan anggota Detasemen Udara Prigi yang menolak dibubarkan. Di bawah pimpinan OMU III Hananjudin (Hanandjoeddin, red.), OMU I Susanto dan Prajurit Udara I Abdul Mukti membentuk pertahanan Campurdarat,” tulis buku Sejarah TNI Angkatan Udara: 1945-1949.

Detasemen Udara Prigi sendiri bertanggungjawab di sub sektor Watulimo. Pasukan Hanandjoeddin bermarkas di sebuah lembah yang wilayahnya dianggap angker oleh penduduk setempat. Di sisi selatan, ada kawasan hutan Pantai Prigi dan pantai Laut Selatan. Di lain sisinya ada Gunung Kombokarno dan Gua Lowo yang dipercaya penduduk sebagai pusat kerajaan gaib.

Baca juga: Hanandjoeddin Perintis di Tengah Keterbatasan

Oleh karena itulah Hanandjoeddin gusar setelah mendapat laporan bahwa bom yang dipasang di jembatan tadi tak kunjung meledak. Ia pun mencoba menemui tokoh masyarakat atau tetua kampung setempat.

Dikatakan oleh sang tetua kampung, rupanya di jembatan itu ada kerajaan misterius nan gaib. Komandan Hanandjoeddin diharuskan berpuasa dan berdoa lebih dulu agar kerajaan gaib itu berkenan pindah.

“Tapi Belanda sudah mau masuk dan menyerang kampung,” ujar Indra Cahya berkisah menirukan ucapan ayahnya, Hanandjoeddin, dikutip Haril.

Hanandjoeddin masih dilanda kegelisahan seiring hari berganti malam. Pasalnya sebelum pamit usai bertemu tetua kampung, ia tetap diwajibkan “minta izin” jika ingin upayanya meledakkan jembatan di Watulimo berhasil.

OMU III Hanandjoeddin (Repro: Sang Elang)

Karena situasi mendesak, Hanandjoeddin bertindak nekat. Malam itu pula ia membawa 10 anggotanya. Tak lupa pula membawa obor, sebilah sangkur, dan sepucuk karaben.

Muhammad Yahya, salah satu anak buah Hanandjoeddin yang menguasai teknik peledakan, ikut dipilih untuk dibawa ke jembatan. Saat melintasi hutan Watulimo, Hanandjoeddin merasakan sesuatu yang ganjil: seperti ada “pasukan besar” yang ikut berbaris mengikuti setiap gerak langkah mereka.

“Maaf, Dan! Tunggu sebentar,” kata Yahya.

“Ada apa, Yahya?” Hanandjoeddin penasaran.

“Sebaiknya kita urungkan rencana kita malam ini, Dan!” kata Yahya mulai ketakutan.

“Memangnya kenapa?” cecar Hanandjoeddin.

“Endak, Dan! Sebaiknya besok pagi saja kita teruskan,” jawab Yahya.

“Iya, Dan! Besok pagi saja,” sela anggota lainnya yang tak kalah ketakutan.

“Oh kalau kalian takut, silakan kembali ke markas! Biar saya sendiri yang akan pergi ke jembatan!” ujar Hanandjoeddin tegas.

Baca juga: Pasukan AURI Berseragam Batik Tempur

Para kombatan itu pasrah, taat perintah komandannya. Hanya saja ketika baru mulai melangkah lagi, kepanikan melanda.

“Ada pasukan besar berseragam tentara keraton bersenjata lengkap menghadang jalan. Pasukan misterius itu membentuk barisan panjang berlapis-lapis sambil mengacungkan senjata. Anak buah Bung Anan lari tunggang langgang kembali ke markas. Aneh, padahal ketika menghadapi Belanda, para anggota ini tak pernah bersurut langkah. Kali itu pasukan Bung Anan dibikin keder,” lanjut Haril.

Hanya Hanandjoeddin seorang diri yang tak balik kanan. Berbekal obor yang dibawanya, sang komandan terus beristighfar meski bulu kuduknya merinding. Dia memberanikan diri untuk mengucap sepatah dua patah kata ke hadapan ribuan pasukan gaib yang mengepungnya.

Assalamu’alaikum. Saya Hanandjoeddin, komandan pertahanan di Watulimo. Kami bermaksud baik untuk menyelamatkan rakyat dan alam daerah ini dari penjajah Belanda. Bantulah perjuangan kami menegakkan kemerdekaan Indonesia. Saya yakin saudara-saudara berada di pihak kami karena perjuangan kemerdekaan sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang, zaman Yang Mulia Sultan Agung Raja Mataram. Kami hanya melanjutkan cita-cita mulia beliau. Maklumi upaya kami memutus jembatan penghubung desa ini demi keselamatan rakyat. Terima kasih atas pengertian saudara-saudara semua. Assalamu’alaikum,” ujar Hanandjoeddin.

Baca juga: Flypass Nekat Montir Pesawat Rayakan HUT RI

Hanandjoeddin beruntung. Pasukan pasukan siluman yang diduga pengikut Empu Sindok dari Kerajaan Mataram itu menghilang seketika dari hadapan Hanandjoeddin.

Sekembalinya ke markas, Hanandjoeddin memandangi satu per satu anak buahnya yang masih pucat. Yahya langsung menghadap untuk minta maaf sebelum komandannya meluapkan amarah karena ditinggal sendirian meladeni pasukan siluman tadi.

“Terus terang, Dan. Kalau lawan Belanda, kami siap bertempur sampai mati. Tapi menghadapi pasukan (gaib) tadi itu, rasanya sulit ditaklukkan,” tutur Yahya.

“Ah kalian bisa saja! Besok selepas subuh kita bergerak ke jembatan itu lagi,” Hanandjoeddin memerintahkan.

Selepas insiden malam itu, Hanandjoeddin dan anak buahnya kembali ke jembatan. Bom tariknya kembali dipasang tepat di tengah-tengah jembatan. Anehnya kali ini, sekali dipicu ledakannya langsung terjadi dan jembatan patah menjadi dua.

Baca juga: Gempur-menggempur di Malang Timur

TAG

auri sejarah-auri tni au tni-au agresi militer belanda agresi militer agresi-militer

ARTIKEL TERKAIT

Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I) Pelaut Madura dalam Sejarah Indonesia Lika-liku Opsir Luhukay Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Purnatugas Heli Puma Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Kompi 100 Kolonel Latief Duduki Malioboro Wardiman Menyambut Kemerdekaan