SOSOK berjanggut panjang itu keluar ke teras mengenakan baju koko dan sarung sembari membawa setumpuk buku tulis lawas. Marsekal Muda (Purn) Tatang Kurniadi, lelaki itu, lebih dulu mengibaskan tangannya untuk membersihkan koleksinya itu dari debu.
Usia sang pensiunan bintang dua matra udara itu memang sudah tak muda lagi, 77 tahun, namun ingatannya masih begitu kuat berkat lusinan koleksi bukunya itu. Buku-buku itu ternyata catatan hariannya sejak ia menjadi taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) angkatan pertama (1967-1970) di Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah.
“Ya kebetulan ada data (catatan harian ini). Ini mencatat dari hari ke hari dari saya mulai masuk taruna AKABRI sampai lulus. Saya sampai (berpangkat) kapten masih nulis catatan harian,” ujar sosok kelahiran Soreang, Jawa Barat pada 3 April 1946 itu saat berbincang dengan Historia di kediamannya di kawasan Semplak, Bogor.
Catatannya sejak 1967 di Lembah Tidar itupun jadi materi untuk ia abadikan dan bagikan lewat buku yang ia tulis sendiri, bertajuk Catatan Kecil Mengenang 50 Tahun Lulus AKABRI Pertama 1970. Tatang mulai merangkum buku setebal 176 halaman itu sejak 2019, untuk mengenang 50 tahun ia masuk taruna AKABRI. Namun sayangnya tertunda tiga tahun, meski akhirnya terbit pada peralihan tahun 2022-2023.
“Banyak bolak-balik (perbaikan). Saya kan harus periksa semuanya, segitu dibaca lagi sendiri, jadi lebih ke teknis problemnya,” imbuhnya.
Baca juga: Kisah Marsekal dari Soreang
Catatan Kecil Mengenang 50 Tahun Lulus AKABRI Pertama 1970 ibarat semi otobiografi. Segudang pengalaman sejak ia berseragam taruna AKABRI angkatan pertama, masa tugas, hingga masa pensiun –di mana ia mengakhiri pengabdiannya sebagai ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) periode 2007-2015– semua dikisahkannya secara ringkas dalam 51 bab pendek yang terbagi dalam tiga bagian.
“Kalau ceritanya masih terngiang. Di situ (buku) malah cenderung dipendekkan. Harusnya 2-3 cerita itu bisa jadi buku tebal sendiri. Jadi memang prosesnya memperingati 50 tahun. (Bagian) Pertama, masa taruna dari mulai saya daftar sampai lulus. Kedua, masa bakti jadi tentara dan perwira. Ketiga, masa pensiun untuk masa saya di KNKT dan Lembaga Veteran (LVRI). Karena memang banyak masa pensiun saya masih bernilai buat negara di KNKT itu,” urai Tatang.
Meski begitu, kisah-kisah humanis di masa taruna lebih dominan. Catatan Kecil Mengenang 50 Tahun Lulus AKABRI Pertama 1970 disusun penulis memang berdasarkan pengalaman personalnya, utamanya saat melakoni pendidikan akademi dengan aneka petit histoire unik yang mengikutinya.
Di situlah Tatang muda menjalani “titik nol” keperwiraannya. Penempaan di kawah “candradimuka” dijalaninya dengan fasilitas pendidikan yang tentu belum seperti sekarang. Dia menjalaninya bersama bersama para taruna angkatan pertama lainnya, salah satunya kawan satu SMA yang kini menjadi Menko Kemaritiman dan Investasi, Jenderal (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan.
Salah satu kisah yang ia ceritakan cukup mendetail adalah saat mengikuti “Operasi Bahari”. Itu adalah program latihan taruna pada medio 1967 Bumi Moro alias Ksatrian Akademi Angkatan Laut (AAL) Morokrembangan, Surabaya. Taruna Tatang ditempatkan di Peleton A, Kompi 1, Batalyon C-3.
“Saat itu kan kami (angkatan) pertama. AL pada kurikulumnya ada pengenalan operasi laut. Itu ketika kita masih tingkat I di Magelang. Semua taruna bergiliran ke Morokrembangan. Kita belajar tentang AL. Kapal laut itu apa, masuk ke kapal selam, masuk ke karakternya kapal, wawasan bahari. Nah, belajarnya itu disebutnya ‘Operasi Bahari’. Jadi secara ringkas AL sudah memasukkan (pengenalan) itu ke calon-calon perwira ABRI ini,” kenang Tatang.
Baca juga: Ngeri-Ngeri Sedap di Long Bawang
Para kopral taruna itu dikirimkan bergiliran per batalyon ke Morokrembangan. Tatang bersama Batalyon C-3 berkesempatan mempelajari A-Z perihal AL pada kurun 27 Agustus-3 September 1967.
“AL mengenalkan juga persenjataannya. Lalu kita praktik mendayung di laut. Naik ke RI Dewaruci. Bangganya kita diizinkan memanjat tiang utama dan dikasih lencana RI Dewaruci sebagai tanda sudah memanjat tiang utamanya. Kita juga berkunjung ke AU (Angkatan Udara) tapi tidak se-intens AL. Walau kalau sekarang ya saya sepertinya kehilangan jejak apakah pengenalan seperti itu masih dilaksanakan,” sambungnya.
Berhenti bercerita sejenak, Tatang kemudian bersandar di kursi rotannya. Senyumnya tetiba mengembang karena mengingat tradisi “bersandar”, sebagaimana salah satu kisah di bab bukunya mengenai masa-masa sebelum lulus pada Desember 1967.
Di Lembah Tidar, kata Tatang, selama setahun para calon prajurit taruna (capratar) hingga kopral taruna (koptar) tidak pernah diperbolehkan duduk bersandar di kursi saat jam-jam santap di ruang makan. Manfaatnya untuk membentuk postur tubuh taruna agar tetap tegap dan tegak, katanya.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
Tetapi pada jam makan malam terakhirnya, 7 Desember 1967, salah satu senior, Sersan Taruna Bambang Dipoyono, menyampaikan pengumuman boleh bersandar. Menjelang hari terakhir pula, para taruna dan komandannya saling bertukar pesan. Salah satu rekan taruna yang bertukar pesan tertulis dengan Tatang adalah kawan satu SMA-nya, Luhut Pandjaitan.
“Kalau yang (pesan) Luhut itu kira-kira, ‘kalau kamu mau membuat keputusan, pikirkanlah dua kali supaya tidak terjerumus ke jurang kehancuran’,” ujar Tatang yang masih menyimpan pesan tertulis itu dengan baik.
Pesan lain yang juga disimpan Tatang dengan rapi adalah wejangan dari komandan kompinya, Lettu (Inf) M. Dahlan. “Belajarlah dengan baik, nanti negara akan memerlukan darma baktimu,” demikian bunyi pesannya.
“Pak Dahlan dari Angkatan Darat (AD). Jadi dalam satu batalyon itu ada empat kompi. Danyon saya itu Pak AB Umar tapi danki saya Pak Dahlan. Orangnya bijak, punya pengalaman tempur. Mungkin karena bekas pejuang ya. Masing-masing kompi itu komandannya ada yang dari darat, laut/KKo (kini Marinir), udara, polisi. Yang paling populer galaknya itu yang dari KKo, Baroto Sardadi, dia di batalyon 3. Nah komandan tarunanya itu Hendropriyono. Waktu saya tingkat I, dia sudah sersan mayor taruna di tingkat III AMN,” terangnya.
Baca juga: Kisah Penakluk Angkasa Borneo
Lepas setahun pendidikan AKABRI di Magelang, setiap taruna lantas kembali ke akademi matranya masing-masing. AMN (AD) tetap di Magelang; Akademi Angkatan Kepolisian (AAK) di Sukabumi; AAL di Surabaya; dan Tatang yang sedari awal mendaftar di AAU, kembali ke Maguwo, Yogyakarta.
Sebelum kembali ke Yogya, Tatang menyempatkan pamit sejenak ke dalam rumah sebelum keluar lagi. Ia kembali menenteng sebuah koper cokelat kanvas dan kulit lawas. Di satu sisinya tertera tulisan kuning berhuruf kapital “AKABRI”, sementara sisi lainnya tersemat lambang AKABRI-nya.
Dari dalam kopernya itu, ia mengeluarkan banyak memorabilia yang pernah ia pakai selama setahun di Magelang. Antara lain drahrim kanvas lengkap dengan sabuk peluru untuk senapan jenis M1 Garand dan sebuah ikat pinggang kulit hitam dengan kopel berlambang AKABRI.
“Jadi dulu pas lulus dapat (kopel) ini. Buat keren-kerenan kita pasang di sabuk kulit. Saya pakai pas balik ke (AAU) Yogya. Ditempeleng sama senior. Disuruh ganti. Soalnya sabuk hitam begini cuman dipakai komando (Pasukan Gerak Tjepat/PGT, kini Kopasgat TNI AU) hahahaha…” ujar Tatang sembari melepas gelak tawa mengingatnya.
Sejumlah memorabilia itu jadi saksi bisu Tatang muda selama menjadi taruna AKABRI angkatan pertama. Lewat bukunya pula Tatang menunjukkan banyak koleksi dokumentasi pribadinya. Mulai dari saat mendaftar AAU di Bandung, menjadi taruna AKABRI di Magelang, hingga saat kunjungan ke Morokrembangan.
Munurutnya, semua itu untuk bisa lebih membuka pikiran dan gambaran tentang apa dan bagaimana kehidupan dan tempaan yang dialami para taruna seangkatan Tatang untuk menyongsong kedewasaan. Sebab, dari banyak biografi atau otobiografi para tokoh militer, jarang yang mengungkit masa-masa taruna mereka. Paling hanya Bukan Puntung Rokok milik mantan Kasum ABRI Letjen Soeyono yang memberi cukup banyak ruang masa taruna.
Lewat Catatan Kecil Mengenang 50 Tahun Lulus AKABRI Pertama 1970, Tatang ingin berbagi pengalaman kepada khalayak secara umum dan anak-cucunya secara khusus.
“Nih, saya tulis di sini: ‘Bacaeun Jeung Anak Incu. Catatan Sapopoe di Naraka’ (Bacakan kepada anak-cucu. Catatan sehari-hari di neraka). Coba bayangkan itu. Karena pikiran saya pas daftar AAU bakal jadi pilot ternyata dididik tentara dulu. Setidaknya ini pernyataan tulus saya,” tandas Tatang.
Baca juga: Tentara Melarat