Ngeri-Ngeri Sedap di Long Bawang
Bolak-balik mengantar Jenderal Soemitro ke perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan hingga nyaris terkena petaka.
INGATANNYA masih sangat kuat ketika mengenang pengalamannya di pedalaman Kalimantan. Di teras rumahnya, Komplek Perumahan Lanud Atang Senjaya, Semplak, Bogor, Kolonel (Purn) Pramono Adam masih menggebu kala berbagi segudang kisah penugasannya bolak-balik mengantar Pangdam IX/Mulawarman Brigjen Soemitro dari markasnya di Balikpapan hingga Long Bawang di perbatasan RI-Malaysia era konfrontasi (1963-1965).
Ia kala itu masih berpangkat letnan penerbang dari Wing Operasi 004 Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang di-BKO-kan di Kodam IX/Mulawarman. Sejak 1963, AURI menempatkan beberapa helikopter angkut dari Wing Operasi 004 yang berbasis di Lanud Atang Sendjaja (ATS), termasuk heli angkut berat Mil Mi-6 dan heli angkut medium Mil Mi-4, untuk menyokong mobile udara. Dengan heli Mi-4 itulah Pram, sapaan karib Pramono, kerap mengantar Soemitro untuk menginspeksi perbatasan medio Maret-April 1965.
“Kalau lewat jalur darat (Soemitro) enggak sampai-sampai. Pernah beliau ngomong, ‘kita bersyukur (ada heli). Saya sudah dua bulan enggak sampai-sampai, akhirnya pulang lagi.’ Kalau ada banjir dia harus menunggu, pernah menunggunya sampai sebulan sampai airnya asat,” kata Pram kepada Historia.
Baca juga: Naik Heli Cukup Bayar Pakai Kambing
Suatu ketika, Soemitro memaksa Pram mengantarnya untuk inspeksi. Karena saat itu Long Bawang masih “zona merah” untuk mobile udara, mereka nyaris ditelan petaka.
“Karena setiap kali kita ke sana untuk mengantar logistik, saya pulangnya 6-7 kali di-howitzer (ditembak meriam Inggris). Tapi Pak Mitro bersikeras. ‘Kita jangan takut, saya yang tanggung jawab,’ katanya. Lalu ia telefon sana-sini sampai akhirnya diizinkan masuk ke sana,” ujar Pram menirukan perintah Soemitro.
Mengutip T. Djohan Basyar dalam Home of the Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja, 1950-2003, Soemitro mengontak Koti (Komando Operasi Tertinggi) di Jakarta untuk bisa masuk Long Bawang. “Setelah diizinkan, digunakanlah dua helikopter dari Balikpapan untuk lebih dulu bermalam di Tarakan, keesokannya melanjutkan ke Long Bawang,” sebut Djohan.
Baca juga: Selayang Pandang Lanud Atang
Mulanya Soemitro meminta Pram mengantarkan sampai Tarakan saja. “Awalnya diminta boleh mengantar sampai Tarakan untuk mampir sebentar, habis itu balik. Tapi malah kemudian disuruh menginap. Haduh, menginap lagi. Untuk hari itu Howitzer-nya (Inggris) enggak meledak-ledak. Cuaca sedang tidak bagus, sore baru bisa take-off,” sambung Pram.
Inspeksi selesai keesokan paginya dan Pram langsung mengantar Soemitro kembali menuju Tarakan. “Tapi kira-kira lima menit meninggalkan Long Bawang, peluru meriam dari arah perbatasan (Malaysia) menghujani seluruh Kecamatan Long Bawang,” tutur Djohan.
Pram tak ingat pukul berapa ia berangkat dan muntahan Howitzer Inggris itu terjadi. Sepersekian menit terlambat lepas landas, mungkin ia dan Soemitro takkan selamat. “Puji syukur selamat sampai Tarakan lagi,” ucap Pram sambil menghela nafas.
Setelah pemulihan hubungan RI-Malaysia dilakukan tahun 1967, Pram kembali ke basisnya di Lanud ATS. Berpangkat mayor, ia lantas jadi Komandan Skadron 8 yang menaungi sekira 13 unit Mi-6. Heli terbesar di dunia itu mengundang rasa penasaran banyak pihak militer barat.
“Orang Barat banyak heran. Pesawat (heli) Mi-6 itu tahan banting meski tidak sophisticated. Untuk kenyamanan nomor dua. Tapi pernah suatu ketika ada Marsekal Wheeler dari Flying School Inggris ingin lihat Mi-6. Kagum dia Rusia bisa bikin yang begini,” Pram mengenang.
Saat berbincang, barulah diketahui bahwa Pram dan Wheeler pernah bersinggungan di Tarakan semasa konfrontasi. Pram sebagai pilot heli Mi-6, sementara Wheeler pilot jet tempur Gloster Javelin yang acap terbang untuk menggertak basis-basis TNI di perbatasan.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
“Dia terus ngomong, Ternyata itu dia (yang menerbangkan). Kata dia, justru dia enggak berani ganggu karena enggak tahu senjata apa yang kita punya. Syukurlah, saya membatin. Wong kita senjatanya cuma (senapan mesin kaliber) 12,7. Hampir enggak pernah dipakai. Lha saya juga takut, biasanya lari ke bawah kendaraan, ngumpet. Ternyata sama-sama enggak berani mengusik,” kata Pram sambil tertawa lepas.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar