SALAH satu aset yang disita Kejaksaan Agung atas nama Harvey Moeis, yang merupakan –suami selebriti Sandra Dewi– salah satu tersangka kasus korupsi timah yang berpotensi merugikan negara hingga Rp271 triliun, adalah mobil SUV Rolls-Royce Cullinan. Pabrikan kondang Inggris itu nyatanya tak hanya memproduksi berbagai model mobil mewah langganan kaum bangsawan dan crazy rich, termasuk Ratu Elizabeth II yang sejak 1950 punya tunggangan Rolls-Royce Phantom IV sebagai kendaraan VIP-nya.
Menariknya, Rolls-Royce rupanya juga berperan memasok kebutuhan alutsista militer Inggris saat Perang Dunia I (1914-1918). Mulai dari mesin pesawat, kendaraan tempur (ranpur), hingga meriam anti-udara.
Pun dalam Perang Dunia II (1939-1945), Rolls-Royce memasok mesin-mesin pesawat tempur yang sangat vital mempertahankan ruang udara Inggris. Utamanya saat pesawat-pesawat Spitfire, Hurricane, Mosquito, Mustang, dan Lancaster Angkatan Udara (AU) Inggris, RAF, memenangi serangkaian duel udara untuk mementahkan serangan-serangan Luftwaffe (AU Jerman) dalam Pertempuran Britania/Pertempuran Inggris Raya (10 Juli-31 Oktober 1940).
Baca juga: Rolls-Royce Punya Cerita
Peran Rolls-Royce Memenangkan Perang
Adalah Royal Naval Air Service (RNAS) atau unit udara Angkatan Laut (AL) Inggris yang pada 1914 menjadi “klien” pertama Rolls-Royce untuk menyokong peperanagn di front Barat Perang Dunia I. Pabrikan itu memasok Rolls-Royce Armoured Car Pattern yang desainnya dibantu petinggi komite khusus Departemen Udara AL Inggris, Letkol Laut TG Hetherington.
Hedley Paul Wilmott dalam buku First World War menguraikan, ranpur Pattern didesain dan dibangun dengan menggunakan sasis mobil sedan Rolls-Royce Silver Ghost. Letkol Hetherington hadir membantu untuk membangun struktur mobilnya agar mampu menopang kerangka khusus, lapisan baja anti-peluru, dan turet yang menjadi “rumah” bagi senapan mesin berat kaliber 7,7 mm Vickers Mk I.
“Tiga ranpur pertamanya dikirim pada 3 Desember 1914 di front barat (Prancis dan Belgia, red.) untuk menggantikan kendaraan militer lain yang lebih primitif. Kemudian beberapa kiriman lainnya dioperasikan di front Timur Tengah (Mesir dan Irak). Namun Rolls-Royce kemudian menghentikan produksi sasisnya pada 1917 untuk berkonsentrasi pada mesin-mesin pesawat,” ungkap Wilmott.
Baca juga: AMX-13 Tank Prancis Rasa Amerika
Meski begitu pasca-Perang Dunia I, pabrikan itu memproduksi tiga varian barunya kurun 1920-1924. Yakni, ranpur Pattern Mk I dengan tambahan lapisan baja di radiatornya dan roda baru, Pattern Mk IA yang bagian turetnya terbuka, dan Indian Pattern dengan lapisan baja lebih tebal dan turetnya yang mampu dipasangi empat senapan mesin sekaligus.
Dalam Perang Dunia II, Rolls-Royce pada 1940 bekerjasama dengan pabrikan Amerika Serikat, Packard Motor Car Company, turut mengembangkan mesin Meteor untuk menjadi “nyawa” bagi tank jelajah Cromwell. Mesin dengan 12 silinder yang memiliki 600 tenaga kuda itu bisa menggerakkan tank Cromwell dengan kecepatan maksimal 64 km/jam.
Selain ranpur, Rolls-Royce juga telah memasok mesin bagi pesawat-pesawat Inggris di Perang Dunia I. Produksi pertamanya seri-seri mesin Eagle I hingga Eagle IX atas permintaan Departemen Perang. Mesin-mesin itu untuk menenagai pesawat pembom bersayap ganda: Vickers Vimy, Airco D.H.4, dan Handley Page Type O.
“Mesin Eagle terus dikembangkan sepanjang 1916 dan 1917 dengan power-nya ditingkatkan secara agresif dari 225 tenaga kuda menjadi 266 tenaga kuda, diikuti varian-varian lain yang punya 284 tenaga kuda, 322 tenaga kuda, dan (varian) yang terakhir 360 tenaga kuda pada Februari 1918,” tulis Bill Gunston dalam World Encyclopedia of Aero Engines, 5th Edition.
Baca juga: Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis
Dalam Perang Dunia II, Rolls-Royce yang kembali bekerjasama dengan manufaktur Amerika yang berbasis di kota otomotif Detroit, Packard Motor Car Company, mengembangkan mesin-mesin Rolls-Royce Merlin V12. Mesin piston 12 silinder berpendingin air itu untuk menggerakkan satu jenis pesawat Amerika dan lima pesawat Inggris: pesawat pembom berat Avro Lancaster dan Handley Page Halifax, pesawat multi-peran de Havilland DH.98 Mosquito, serta pesawat tempur Hawker Hurricane dan Supermarine Spitfire.
Sejak dalam pengembangannya pada 1933 dan dipakai hingga 1945, baik Rolls-Royce maupun Packard memproduksi nyaris 150 ribu mesin Merlin dengan varian Packard V-1650 Merlin untuk memasok pesawat pembom-tempur P-51 Mustang. Pesawat buatan North American Aviation (NAA) itu bisa melesat dengan kecepatan maksimal 710 km/jam dan naik ke langit hingga ketinggian 12,8 kilometer.
Khusus untuk pesawat-pesawat Inggris, satu yang paling diandalkan dan dijuluki “Pesawat yang Memenangkan Perang” adalah pesawat tempur Spitfire sang lawan tangguh pesawat-pesawat jagoan Jerman Messerschmitt Bf 109 di berbagai palagan angkasa. Mulanya Spitfire ditenagai mesin Rolls-Royce Merlin namun di babak pertengahan Perang Dunia II, mulai ditenagai mesin Rolls-Royce Griffon yang jadi versi upgrade mesin-mesin Merlin.
Spitfire jadi ujung tombak AU Inggris dengan persenjataan enam hingga delapan senapan mesin Browning kaliber 20 mm, tergantung variasi sayapnya, serta sepasang roket RP-3. Tentu pesawat dengan persenjataan berat itu membutuhkan pasokan tenaga lebih untuk bisa menyaingi kecepatan dan daya jelajah pesawat-pesawat canggih Jerman.
Baca juga: Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman
Spitfire bermesin Merlin lazimnya bisa menembus kecepatan maksimal 580 km/jam. Sementara khusus yang bermesin Griffon bisa melesat sampai 731 km/jam. Kecepatan itu melebihi saingannya, Messerschmitt Bf 109, yang berkecepatan maksimal 727 km/jam dengan ditenagai mesin V12 pabrikan Junkers.
“Dianggap sebagai pesawat tempur paling kharismatik sepanjang sejarah, Spitfire bersama Hawker Hurricane akan selalu diingat dengan kemenangan AU Inggris dalam Pertempuran Britania. Dengan kerangka Mk V yang dipasok mesin Merlin 61 dan kemudian Griffon, Spitfire Mk IX jadi varian yang paling mutakhir dan merebut superioritas udara,” tulis Robert Jackson dalam Warplanes of World War II Up Close.
Ketika sudah sukses memasok banyak mesin untuk alutsista udara Inggris, Rolls-Royce juga menyanggupi permintaan pemerintah untuk rencana produksi senjata sendiri guna mempersenjatai pesawat-pesawat Spitfire dan Hurricane-nya pada 1940. Kementerian Udara ingin Rolls-Royce membuat senapan mesin kaliber 12,7 mm buatan sendiri karena di awal perang masih mengalami keterbatasan suplai senapan mesin Browning dari Amerika.
“Awalnya Kementerian Udara juga sempat berharap suplai senapan mesin dari sebuah perusahaan Belgia tapi keburu direbut Jerman. Karena waktu yang berharga, Rolls-Royce menjanjikan senapan mesin pertamanya siap dalam enam pekan yang dimulai pada 15 Februari 1940,” singkap Ian Lloyd dalam Rolls-Royce: The Merlin at War.
Sayangnya Rolls-Royce gagal memenuhi janjinya. Saat (Panglima AU Inggris) Marsekal Sir John Salmond mengunjungi pabrik Rolls-Royce di Derby pada awal Juli (1940), hasil eksperimennya baru menghasilkan dua pucuk purwarupa. Ini karena Rolls-Royce gagal dalam mengatur fokusnya antara pengembangan senapan mesin dan produksi mesin-mesin pesawat. Alhasil Inggris tetap harus menunggu tambahan suplai senapan Browning dari Amerika. Sementara, proyek senapan mesin Rolls-Royce dibatalkan.
Baca juga: Empat Senjata Jerman yang Mengubah Dunia
Meski gagal berkontribusi dalam produksi ,senapan mesin, bukan berarti Rolls-Royce berhenti menawarkan inovasi lain kepada Kementerian Peralatan dan Perlengkapan. Medio 1941, Rolls-Royce mengajukan proyek eksperimen meriam otomatis kaliber 40 mm yang bisa digunakan sebagai meriam anti-udara maupun meriam anti-tank.
“(Kepala divisi Aero Engine Rolls-Royce, Walter) Hives mengajukan tantangan membuat meriam dalam sebuah rapat dengan Kementerian Peralatan dan Perlengkapan yang mengejutkan pihak (pabrikan) Vickers yang mengatakan butuh lima tahun untuk mengembangkan meriam 40 mm. Hives sesumbar: ‘Rolls-Royce memang tidak tahu apapun tentang meriam namun kami akan melakukannya dalam 12 bulan’,” tulis Peter Pugh dalam The Magic of a Name: The Rolls-Royce Story, Part 1.
Rolls-Royce tidak main-main dengan janjinya. Mereka dibantu desainer dan insinyur imigran Italia, Spirito Mario Vale, untuk merancang dan mengawasi pengembangannya di Derby. Hebatnya, senjata itu sudah bisa diujicobakan pada perahu-perahu bermotor meriam AL Inggris pada September 1941 hingga akhirnya disetujui dan diproduksi hingga 600 pucuk lewat kerjasama sub-kontrak dengan mitranya, British United Shoe Machinery.