AMX-13 Tank Prancis Rasa Amerika
Tank AMX-13 yang menabrak gerobak tahu sudah dimiliki TNI AD sejak 1960. Tank lincah di era Trikora itu kini sudah usang.
BAK mobil balap, tank ringan AMX-13 milik Batalyon Kavaleri 4 Kodam III/Siliwangi memacu kecepatannya saat berbelok dari arah PLTA Saguling ke arah Rajamandala, Kabupaten Bandung pada Kamis (10/9/2020). Deru mesinnya begitu sangar.
Dasar sial, salah satu AMX-13 yang ngebut itu hilang kendali. Sebuah gerobak penjual tahu dan sejumlah sepeda motor yang terparkir di dekatnya langsung jadi korban serudukannya. Untung tiada jatuh korban jiwa.
Menurut Kapendam III/Siliwangi Kolonel (Inf) FX Sri Wellyanto dalam keterangan tertulisnya, rombongan AMX-13 itu sedang melakoni latihan uji siap tempur setingkat kompi. Atas insiden itu, pihak batalyon akan mengganti rugi empat motor dan sebuah gerobak nahas itu.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
AMX-13 tank made in Prancis itu sudah jadi salah satu alutsista andalan TNI AD sejak 1960. Menilik data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), TNI AD mulanya memiliki 315 unit tank penghancur tank lawan itu. Masuknya datang secera bergelombang: 185 unit datang pada 1961 langsung dari Prancis dan 130 sisanya bekas dari Belanda yang dikirim periode 1977-1978. Per 2018, AMX-13 TNI AD tinggal 120.
Ke-120 AMX-13 itu rencananya bakal diganti dengan tank-tank medium Harimau buatan PT Pindad. Namun, hingga kini tank hasil kerjasama dengan FNSS Savunma Sistemleri asal Turki itu masih berupa purwarupa lantaran proses produksi massal baru pada Februari 2020 dan akan rampung 2021.
Mulanya Tank AMX-13
Lahirnya AMX-13 tak lepas dari kebangkitan kembali industri militer Prancis pasca-Perang Dunia II yang dibiayai Amerika Serikat. Diugkapkan Peter Lau, MP Robinson, dan Guy Gibeau dalam The AMX 13 Light Tank: A Complete History, segenap persenjataan, termasuk industri militer Prancis dibangun kembali lewat Marshall Plan (MP) dan Mutual Defense Assistance Act (MDAA) pada 1949.
Selain dari MP dan MDAA, pembiayaan industri militer Prancis disokong lewat kerjasama dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dalam kurun 1950-1967, Amerika merogoh koceknya hingga USD36 miliar untuk anggota-anggota NATO, termasuk Prancis.
Lantaran dalam perjanjian MDAA Prancis tak bisa menggunakan alutsista-alutsista bantuan Amerika untuk mempasifikasi perlawanan di Vietnam, Prancis hanya bisa memanfaatkan bantuan dana dan transfer teknologi dari Paman Sam.
Baca juga: Empat Senjata Jerman yang Mengubah Dunia
Adalah Direction des Études et Fabrications d’Armements (DEFA/Badan Industri Militer Prancis) yang menggarap pembangunan militer Prancis lewat bantuan Amerika itu. Salah satu hasilnya adalah tank AMX-13, yang dipercayakan DEFA kepada pabrikan Ateliers de construction d’Issy-les-Moulineaux (AMX) tahun 1948.
“Orang-orang di balik upaya DEFA dalam memulihkan pabrikan-pabrikan kendaraan tempur (ranpur) Prancis pascaperang adalah Direktur DEFA Ingénieur Génerél de ‘Armement Étienne Roland dan bawahannya Joseph Molinié. Program pengembangan AMX-13 mencapai fase menentukan di bawah arahan Roland dan kemudian menjadi tanggungjawab Molinié, sosok yang dianggap sebagai ‘Bapak desain tank Prancis’ di era pascaperang,” ungkap Lau dkk.
Molinié mendesain AMX dengan –kegunaan sebagai perbantuan untuk meredam perang di Vietnam– sasis buatan Forges et Chantiers de la Méditerannée (FCM), lalu dievaluasi DEFA pada Juni 1950. Hasilnya, desain tank ringan dengan postur yang memungkinkan bisa dibawa pesawat angkut untuk transportasi jarak jauh.
“Molinié jadi figur terpenting karena kariernya sebagai desainer ranpur dimulai pada 1930-an di AMX dan selama masa perang ia melakukan studi banding ke Amerika terkait metode-metode desain dan produksinya. Visi tentang tank-tank ringan yang bisa dibawa pesawat angkut sudah muncul di otaknya sejak 1947, mengingat tank Prancis yang ada saat itu, M-24 Chaffee, bobotnya masih terlampau berat untuk diangkut ke pesawat,” sambungnya.
Baca juga: Tank Gaek "Stuart" TNI AD
Untuk postur AMX, Molinié mendesain dimensinya dengan panjang 6,36 meter (sudah termasuk panjang meriam) dan lebar 2,51 meter. Agar bisa diterbangkan dengan pesawat, desainnya disederhanakan hingga hanya berbobot siap tempur 14,5 ton (sudah termasuk maksimal tiga kru dan amunisi-amunisi persenjataannya).
Meski ringan, AMX-13 diperkuat lapisan baja setebal 10 milimeter di buritan dan 40 milimeter di bagian samping, depan, serta turetnya. Spesifikasinya juga disempurnakan dengan persenjataan utama meriam 75 milimeter SA 50. Senjata pendukung lainnya yang turut dipasang: dua pucuk senapan mesin 7,62 milimeter serta dua pelontar granat asap di dua sisi kubahnya.
Untuk membuatnya bisa melaju dengan lincah, AMX-13 dipasok mesin berbahan bakar bensin SOFAM delapan silinder dan ditopang sejumlah batangan suspensi torsi. Hasilnya, AMX-13 bisa berlari hingga kecepatan maksimal 60 km/jam.
Namun sebelum AMX-13 bisa diproduksi massal, Roland dan Molinié mesti membangun empat purwarupa untuk diuji di Amerika. “DEFA diminta membangun empat purwarupa pendahulu untuk dievaluasi pihak Amerika. Keempat purwarupanya lantas diberangkatkan kapal Liberté dari pelabuhan Le Havre pada 18 Oktober 1950 dengan mengikutsertakan 300 perwira dan para insinyur Prancis. Beberapa negara lain (anggota NATO) juga turut memantau sesi-sesi uji coba dan demonstrasinya sepanjang Oktober-Desember,” tulis Lau dkk lagi.
Baca juga: Tank Leopard Layu Sebelum Berkembang
Puas dengan aksi-aksi uji coba AMX-13, Amerika pun memberi lampu hijau untuk memberi bantuan dana produksi massal AMX-13. Produksi dimulai pada awal 1951. Pada perayaan Hari Bastille pada 14 Juli 1951, 10 tank AMX-13 pertama hasil produksi massal sudah bisa turut serta berparade. Sejumlah 23 unit AMX-13 hasil produksi gelombang kedua lalu dikirimkan ke Resimen Kavaleri ke-8 AD Prancis.
Krisis Suez atau Perang Arab-Israel II (29 Oktober-7 November 1956) jadi ajang pertama AMX-13 beraksi di palagan. Tank ringan itu jadi bagian perbantuan tempur untuk Israel di Resimen Kavaleri Asing ke-2 yang berbasis di Port Fouad. Israel juga jadi negara pertama yang membeli AMX-13 (1956) dan alutsista itu jadi ranpur modern pertama untuk IDF (pasukan pertahanan Israel) lantaran saat itu baru Prancis yang bersedia menjual alutsista ke negara Zionis itu untuk menghadapi militer Mesir.
Alasan Prancis, disebutkan Nino Oktorino dalam Konflik Bersejarah, Korps Lapis Baja Israel, “Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser berambisi menjadi pemimpin Pan-Arab, juga membuat marah Prancis karena dukungan terhadap para pemberontak yang berjuang memerdekakan Aljazair.”
Pengiriman pertama AMX-13 untuk Israel, terdiri dari 100 unit, tiba pada Oktober 1956 berbarengan dengan sejumlah tank berat M4 Sherman dan 200 truk militer 6x6 front-wheel drive. Berangsur-angsur Israel akhirnya punya 400 unit AMX-13 yang dimasukkan di Brigade Kavaleri ke-7 IDF.
“Namun dalam perang tersebut Israel kehilangan banyak tank AMX-13 dalam pertempuran di Sinai yang terutama dikarenakan terlalu tipisnya lapisan baja. Meriam utamanya juga ternyata tak memadai untuk menghadapi tank-tank modern buatan Soviet (milik Mesir). Akibatnya, Israel mengandangkan semua AMX-13-nya dan menjualnya ke Singapura pada 1969,” lanjut Nino.
Dalam perkembangannya, sejak 1960 AMX-13 sudah mengglobal dan muncul dalam 11 varian. Banyak negara mulai meliriknya, termasuk Indonesia. TNI AD pada 1960 lalu membeli 175 unit varian AMX-13/75, yang perbedaannya dari versi asli terletak pada kubah FL-11 dengan meriam 75 milimeter yang lebih pendek dari varian awal. Sementara, 10 unit lain yang dikirimkan Prancis ke Indonesia pada 1961 berupa AMX-13 PDP. Perbedaan dari versi aslinya terletak pada lapisan baja di anjungan yang lebih mirip bentuk gunting.
Tank-tank itu dibeli kala Presiden Sukarno sedang mengkampanyekan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk merebut Irian Barat (kini Provinsi Papua dan Papua Barat) dari tangan Belanda.
Sementara, 130 unit AMX-13 bekas Belanda yang dikirimkan ke Indonesia pada 1977-1978 adalah varian AMX-13/105. Varian ini memiliki bentuk haluan yang sudah direvisi untuk versi ekspor, serta tambahan peredam suhu panas di laras meriamnya.
Baca juga: Frigat Evertsen, dari Arktik hingga Laut Aru
Tambahkan komentar
Belum ada komentar