PAGI 27 Mei 1941 itu, di Samudera Atlantik sekitar 300 mil laut sebelah barat kota pelabuhan Brest, Prancis, cuaca masih mendung dan angin kencang membuat lautan mulai ganas. Meski begitu, Armada Dalam Negeri Angkatan Laut (AL) Inggris masih terus melanjutkan misi menghabisi kapal tempur Jerman, Bismarck.
Sebelumnya, Bismarck sudah jadi sasaran pengeroyokan armada Inggris sejak 26 Mei tengah malam dan berhasil melarikan diri dengan bantuan kegelapan malam. Namun karena cuaca buruk pula, Panglima Armada Dalam Negeri Laksamana John Tovey minta menunda perburuan itu sampai paginya.
Adalah kapal penjelajah berat HMS Norfolk yang berhasil menemukan lokasi Bismarck pada pukul 08.43 pagi. Ia kemudian menginformasikan temuannya kepada kapal tempur HMS King George V. Pertempuran terakhir pun dimulai empat menit selang Bismarck terlacak.
Baca juga: Lonceng Kematian Kapal Kebanggaan Jerman
Bismarck yang dikomando langsung oleh flottenchef (panglima armada) Laksamana Johann Günther Lütjens tak lagi bisa berbuat banyak. Sejak 26 Mei tengah malam, Bismarck sudah mengalami masalah pada kendalinya. Amunisi semua persenjataannya pun kian menipis untuk meladeni gempuran-gempuran dua kapal tempur: King George V dan HMS Rodney.
“Hingga pukul 10.00, dua kapal tempur di bawah Tovey memuntahkan lebih dari 700 peluru meriam dari jarak dekat. Tovey tidak memberikan perintah menghentikan serangan sampai tiang panji kapal patah atau para awak musuh meninggalkan kapal,” ungkap David J. Bercuson dan Holger H. Herwig dalam Bismarck: The Story Behind the Destruction of the Pride of Hitler’s Navy.
Sekira pukul 10.35, serangan-serangan torpedo Rodney akhirnya membuat kapal tangguh itu terguling, lalu bagian buritannya lebih dulu tenggelam. Lima menit setelah terbalik, Bismarck sepenuhnya karam ke dasar lautan.
Kedatangan sebuah pesawat pembom Heinkel He 11 Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) untuk meringankan gempuran terhadap Bismarck di pagi yang sama sudah terlambat. Toh Hitler juga sudah paham situasi salah satu kapal kebanggaannya itu sejak malam sebelumnya sehingga ia tak kaget ketika Grup Barat Kriegsmarine (AL Jerman) yang berbasis di Prancis memberi kabar getir Bismarck.
“Bismarck memberikan perlawanan paling gagah terhadap peluang yang mustahil, sebagaimana kapal-kapal AL Kekaisaran Jerman di masa lalu dan ia (Bismarck) tenggelam dengan panji kebesarannya masih berkibar,” kenang Laksamana Tovey yang turut memberi rasa hormat, dikutip Angus Konstam dalam The Bismarck 1941: Hunting Germany’s Greatest Battleship.
Kisah Bismarck nyaris sama dengan kapal kebanggaan Jepang, Yamato. Keduanya sama-sama hancur dikeroyok kapal Sekutu. Bedanya, Yamato dibantai dari udara, sementara Bismarck setelah dibikin cacat oleh kekuatan udara Sekutu baru dihabisi dari laut dengan kapal tempur.
Baca juga: Yamato Berjibaku
Bismarck yang Dibanggakan Hitler
Kapal tempur Bismarck dibangun Kriegsmarine di galangan kapal Blohm & Voss di Hamburg mulai 1 Juli 1936. Ia satu dari dua proyek pembangunan kapal perang terbesar dari kelas-Bismarck. Proyek tersebut diluncurkan sebagai jawaban atas ekspansi AL Prancis dari kelas-Richeliu. Selain Bismarck, proyek itu juga meluncurkan Tirpitz yang baru dikerjakan pada Oktober 1936.
“Kelas-Bismarck jadi fondasi dari serangkaian kelas-kelas berikutnya dari kapal-kapal berat AL Jerman. Perjanjian AL Jerman-Inggris pada 18 Juni 1936 membuka jalan bagi pembangunan kapal-kapal Jerman, setelah sebelumnya sebagai dampak dari kekalahan Perang Dunia I, Jerman hanya diperbolehkan memiliki kapal-kapal perang permukaan dengan total bobot 10 ribu ton,” ungkap Gerhard Koop dan Klaus-Peter Schmolke dalam Battleships of the Bismarck Class.
Bismarck dibangun lewat desain yang dihasilkan tim proyek Kriegsmarine pimpinan Herman Burckhardt dengan dimensi panjang 251 meter dan lebar 36 meter. Struktur bajanya yang “super”, lanjut Koop dan Schmolke, membuat Bismarck bisa berbobot 50.300 ton.
Untuk meningkatkan kualitas daya tahan gempuran dari kelas-Scharnhorst sebelumnya, Burckhardt dkk. mendesain Bismarck dengan lapisan baja setebal 100-220 milimeter di sekujur badan kapal, termasuk anjungannya. Meski dengan ketebalan baja yang juga “super” itu, kapal tersebut tetap bisa berlayar dengan kecepatan maksimal 30 knot (56 km/jam) berkat 12 ketel uap superheated Wagner untuk menggerakkan tiga baling-balingnya.
Baca juga: Tirpitz, Benteng Terapung Hitler
Khusus persenjataan, Bismarck diperkuat delapan meriam SK C/34 kaliber 15 inci, 12 meriam SK/C28 kaliber 5,9 inci, masing-masing 16 meriam SK C/33 kaliber 4,1 inci dan SK C/30 kaliber 1,4 inci, serta 20 meriam anti-udara FlaK 30 kaliber 0,8 inci. Selain itu, kapalnya juga masih bisa “menggendong” empat pesawat intai-amfibi Arado Ar 196 yang dapat dilontarkan via katapel ganda di tiang utama kapal.
Kapalnya dinamai Bismarck saat diluncurkan pada 14 Februari 1939. Namanya diambil dari nama eks-kanselir di era monarki periode 1871-1890 Otto von Bismarck. Kapalnya dibaptis langsung oleh sang cucu, Dorothee von Löwenfeld.
“Enam tahun setelah revolusi nasionalis sosialis, hari ini kita menjadi saksi peluncuran kapal terbesar dari armada baru kita. Sebagai Führer (pemimpin, red.) dari rakyat Jerman dan kanselir negara, tidak ada nama lain yang lebih baik untuk saya berikan dari nama seorang ksatria, pencipta Reich Jerman yang memberi makna kebangkitan dari masa-masa pahit. Semoga arwah ‘Kanselir Besi’ bersama mereka (kru kapal) sepanjang tugas-tugasnya. Dengan harapan-harapan yang kuat ini, negara Jerman memberi hormat pada kapal tempur baru Bismarck!” terang Adolf Hitler dalam pidatonya, dikutip Malte Gaack dalam Schlachtschiff Bismarck, Das wahre Gesicht eines Schiffes.
Lewat perintah tugas dari Oberkommando der Marine (OKM/Komando Tinggi Kriegsmarine), Bismarck melancarkan sebuah misi patroli-ofensif bersandi Operasi Rheinübung. Tujuannya mencegat kapal-kapal kargo Sekutu yang menuju Inggris.
Baca juga: Karl Doenitz, Panglima "Singa" Kriegsmarine
Operasi pada kurun 18-27 Mei 1941 itu dijalani Bismarck dengan dikawal satu kapal penjelajah berat Prinz Eugen, serta dua kapal perusak Z23 dan Z16 dengan rute Laut Utara menuju Selat Denmark. Di perairan dekat Selat Denmark inilah armada Kriegsmarine bersua konvoi Sekutu yang dikawal kapal penjelajah HMS Suffolk dan HMS Norfolk, serta kapal tempur HMS Prince of Wales dan HMS Hood pada 24 Mei pagi.
Pada Pertempuran Selat Denmark itu, armada Jerman dengan meriam-meriam yang lebih besar dan lapisan baja yang lebih tebal punya keunggulan. Tidak hanya merusak Prince of Wales, Bismarck dan Prinz Eugen sukses menenggelamkan Hood dengan korban lebih dari 1.400 krunya tewas. Sementara, Norfolk dan Suffolk berhasil memacu kecepatannya untuk berlayar menjauh dari jangkauan meriam-meriam Bismarck.
Salah satu tembakan balasan kapal Inggris kemudian membuat Bismarck mengalami kerusakan tangki bahan bakar yang menyebabkan kebocoran minyak. Prinz Eugen tetap melakoni patrolinya, sementara Laksamana Lütjens memerintahkan nakhoda Bismarck Kapitän zur See (setara komodor) Ernst Lindemann untuk balik kanan ke Brest.
Tapi dalam perjalanannya kembali ke Brest itulah Bismarck dikeroyok armada AL Inggris setelah posisinya terlacak pesawat intai PBY Catalina RAF (Angkatan Udara Inggris) yang berbasis di Lough Erne, Irlandia Utara pada 26 Mei pukul 10.30. Bismarck langsung dikejar delapan kapal perusak, dua kapal tempur, dan satu kapal induk HMS Ark Royal yang diperintahkan Laksamana Tovey.
Baca juga: Kawanan "Serigala" Kasel Jerman Berburu di Atlantik
Seperti diungkapkan Martin Stephen dalam Sea Battles in Close-up: World War 2, kapal induk Ark Royal meluncurkan 15 (pesawat pembom torpedo) Swordfish mulai pukul 14.50 untuk melancarkan serangannya. Sementara Bismarck tak bisa meminta bantuan perlindungan udara dari Luftwaffe karena cuaca buruk.
Tak hanya oleh pesawat pembom torpedo, Bismarck juga mulai diserang kapal perusak HMS Sheffield. Saat senja, kapal tempur King George V dan Rodney baru bisa ikut mendekat untuk mengepung Bismarck yang berusaha kabur ke arah selatan.
Serangan-serangan torpedo pesawat Inggris lantas merusak kendali Bismarck. Bismarck nan gagah pun tak bisa leluasa bermanuver menghindari serangan-serangan kapal Inggris lain.
“Pada 26 Mei pukul 23.40, Lütjens mengirim pesan via sinyal kode ke markas Grup Barat: ‘Kapal tak bisa bermanuver. Kami akan bertempur sampai peluru terakhir. Hidup der Fuhrer!’ Lalu pada pukul 2.58 (27 Mei), Lutjens yang sudah depresi kembali mengirim sinyal: ‘Kami akan bertempur sampai penghabisan. Kami percaya kepada Fuhrer dengan keyakinan tak tergoyahkan akan kemenangan Jerman’,” sambung Bercuson dan Herwig.
Baca juga: Akagi, Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway
Saat itu keadaan Bismarck sudah terluka oleh sejumlah tembakan dan serangan torpedo dari armada Inggris. Sementara, amunisi untuk membalas tembakan makin menipis. Hitler, lanjut Bercuson dan Herwig, yang menerima kabar itu dari kediamannya di Berghof, akhirnya memberi pesan balasan: “Saya atas nama rakyat Jerman berterima kasih kepada Anda (Lütjens). Segenap Jerman bersama Anda, lakukanlah apa yang masih bisa diperjuangkan. Tugas-tugas Anda telah memperkuat keyakinan rakyat kita.”
Sekira pukul 5 pagi, Lütjens memerintahkan satu pesawat intai Arado 196 diluncurkan ke pantai Prancis untuk menyelamatkan catatan-catatan penting Bismarck. Lalu saat langit makin terang, gempuran armada Inggris kembali bikin luka kapal yang empat meriam utamanya sudah rusak total itu.
Tepat pukul 10 pagi, salah satu muntahan peluru meriam King George V dengan telak menghancurkan lapisan baja anjungan hingga menewaskan ratusan kru Bismarck. Pada pukul 10.35, Rodney dari jarak 2,7 kilometer memuntahkan semua peluru meriamnya dan sejumlah torpedo untuk menghabisi Bismarck hingga posisinya terbalik.
Bismarck akhirnya karam. Tidak satupun kru yang meninggalkan kapal. Lütjens dan Lindemann ikut tewas dan terbawa ke dasar laut. Dari lebih 2.200 kru, hanya 110 penyintasnya yang kemudian ditawan. Operasi Rheinübung jadi satu-satunya misi ofensif Bismarck. Kehancuran Bismarck membuat Hitler melarang semua kapal perang permukaannya yang tersisa untuk melakoni patroli di Atlantik.
Baca juga: Kapal Perang Jerman Karam di Sukabumi?