Bos Sawit Tewas di Siantar
Bos onderneming Dolok Senoembah ini dicegat gerombolan bersenjata di masa gencatan senjata Indonesia-Belanda. Karel Catharinus namanya.
PERANG mengubah banyak aspek kehidupan. Hal itulah yang dialami Karel, orang Belanda kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 22 Maret 1910, saat Perang Dunia II pecah. Hal-hal mengerikan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, menjadi bagian dari hidupnya.
Karel bernama lengkap Willem Gideon Catharinus. Dia putra dari Willem Christoffel Catharinus dan Elisabeth Pauline Hendrika Geraerds Thesingh. Ibunya adalah orang Belanda Lumajang. Namun, dalam kartu tawanan perangnya, Karel menyebut dia berasal dari Perlanaan.
Perlanaan adalah sebuah desa di Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Di daerah perkebunan Perlanaan terdapat stasiun kereta api ke kota Medan. Stasiun di ketinggian 33 meter dari permukaan laut ini sudah ada sejak 1915. Keluarga Catharinus sepertinya lama mencari penghidupan di daerah perkebunan ini.
Setelah dewasa, Karel mencari hidup dengan berkebun. Bukan sebagai petani penggarap, melainkan sebagai pengurus (planter) pada sebuah onderneming (perkebunan). Dia bekerja di bawah Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), perusahaan perkebunan besar Belanda yang eksis sejak 1878 dan punya banyak lahan di Hindia Belanda. Perkebunannya, Onderneming Dolok Sinoembah, menanam kepala sawit yang waktu itu belum populer. Kota terdekat dari perkebunan itu adalah Pematang Siantar.
Dengan pekerjaan yang mentereng di zamannya itu, pada akhir 1930-an Karel menikah dengan Bertha Marianne Dumm. Bertha kelahiran Rejang, 13 Juni 1915. Dari perkawinan itu, menurut arsip OGS, lahir Laura pada 15 Agustus 1935 di Balimbingan; Constane Irene pada 4 Juni 1937 di Dolok Sinumbah, dan Vera Louise pada 7 November 1939 di Balimbingan. Semunya bernama belakang Catharinus. Keluarga ini tinggal di Onderneming Dolok Sinoembah sekitar Perlanaan juga.
Setelah Perang Dunia II meletus di Eropa lalu di Asia, nasib bisnis perkebunan penghasil kas bagi Kerajaan Belanda maupun orang Belandanya di Nusantara berada dalam bahaya. Karel lantas jadi serdadu kelas dua tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dengan nomor stamboek 6410. Dia ditempatkan di batalyon garnisun di Sumatra Utara.
Setelah Belanda kalah, Karel dan kebanyakan orang Belanda di sana jadi tawanan perang. Karel lalu terpisah dari istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Karel sempat dikirim ke Burma untuk dipekerjakan membangun rel keretaapi. Banyak tawanan kulit putih terbunuh di sana.
Setelah Agustus 1945, barulah Karel bebas dan kemudian bisa kembali lagi ke Sumatra Utara. Setelah Agresi Militer Belanda Pertama (21 Juli 1947), banyak perkebunan yang dulu dijalankan orang Belanda dikuasai lagi oleh militer Belanda. Karel pun bisa kembali ke Onderneming Dolok Sinoembah lagi.
Namun, daerah perkebunan yang direbut Belanda itu belum tentu aman dari gangguan gerilyawan anti-Belanda. Maka di perkebunan dipekerjakan kombatan yang disebut Onderneming Wachter (OW) untuk menjaga perkebunan. Kombatan itu dipersenjatai seperti tentara, namun ada kalanya anggota OW itu kabur dari pihak Belanda.
Bentrok di perkebunan sering terjadi. Karel mengalami itu pada 10 Oktober 1949 kendati Oktober 1949 adalah bulan gencatan senjata antara militer tentara Indonesia dan militer Belanda sebagai hasil Perundingan Roem-Royen.
“Pada 7 Mei 1949, sebuah perjanjian antara Belanda dan Indonesia ditandatangani oleh JH Van Roijen dan Mohamad Roem. Belanda setuju untuk menarik pasukan mereka dari daerah sekitar Yogyakarta. Sebagai gantinya Republik setuju untuk puas dengan hanya sepertiga dari kursi di majelis perwakilan Indonesia federal masa depan. Pertempuran harus dihentikan di semua lini. Para pemimpin Republik harus dibebaskan, dan diskusi akhir tentang pengalihan kedaulatan harus diadakan –Konferensi Meja Bundar di Den Haag– di akhir tahun,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia.
Karel dan orang perkebunan diserang gerilyawan bersenjata. Koran De Vrije Pers tanggal 12 Oktober 1949 dan Java Bode tanggal 12 Oktober 1949 memberitakan, pada Senin 10 Oktober sore, Karel sedang naik mobil ketika dicegat delapan orang Indonesia. Mereka minta api untuk rokok namun Karel tak punya.
Setelah adegan minta api rokok itu, senjata Karel dirampas gerombolan. Ketika akan melarikan diri, Karel ditembak oleh orang yang merampas senjatanya. Leher Karel terkena tembakan dan akhirnya tewas. Setelah Karel tewas, gerombolan bersenjata itu menghilang dan identitas mereka tak diketahui oleh aparat keamanan. Gerombolan itu hanya membunuh Karel tapi tidak menyerang pusat onderneming tempatnya bekerja. Bertha pun menjanda dan anak-anak mereka jadi yatim.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar