CATATAN buruk PSIS di Liga 1 musim 2024-2025 pada periode “Boxing Day” berlanjut hingga bikin salah satu basis suporter fanatiknya, Panser Biru, prihatin. Usai keok 1-3 dari Malut United di kandang sendiri, Stadion Jatidiri, pada 22 Desember 2024, klub besutan Gilbert Agius asal Malta itu hanya memetik hasil imbang 0-0 kala bertandang ke Barito Putra di laga penutup akhir tahun, Minggu (29/12/2024).
Maka jangankan bermimpi juara seperti halnya era Tugiyo cs. pada 1999, untuk mencapai target empat besar saja berat buat PSIS. Klub berjuluk Laskar Mahesa Jenar itu di peralihan tahun hanya meraih sekali kemenangan dalam lima partai terakhir hingga terpaksa masih berkubang di urutan 13 klasemen alias hanya berjarak dua posisi dari zona degradasi.
Sejatinya, bukan kali ini saja prestasi klub yang seolah tiada peningkatan memantik keprihatinan, protes, hingga gejolak di kalangan suporter. Dari semula protes, aksi berlanjut pada kritik hingga boikot. Membuat suporter dipolisikan CEO PSIS, Alamsyah Satyanegara Sukawijaya alias Yoyok Sukawi, pada akhir Oktober 2024.
“Baru diperiksa dua kali tapi sampai sekarang enggak ada kelanjutannya,” ujar ketua Panser Biru Kepareng alias Wareng kepada Historia.ID.
Baca juga: Bobotoh, Suporter Militan yang Patut Dicontoh
Lantas aksi boikot dan unjuk rasa itu sempat berujung pada kericuhan. Aparat bereaksi dengan menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa suporter yang memboikot pertandingan dan berunjuk rasa di luar Stadion Jatidiri saat PSIS menjamu Maluku United pekan lalu.
“Itu karena mungkin di luar panas ya. Kalau aksi di stadion sebenarnya sudah dua kali. Itu aksi yang kedua. Yang pertama tanggal 11 Desember, itu sama panpel dan kepolisian janji memediasi, dipertemukan dengan Yoyok Sukawi tapi ditunggu sampai tanggal 22 (Desember) kemarin enggak ada (pertemuan),” terang Wareng.
Para pemrotes dan pendemo manajemen klub itu nyatanya tidak hanya Panser Biru. Snex, basis suporter fanatik PSIS lainnya yang lazim “berperang dingin” dengan Panser Biru, pun turut serta. Kali ini jadi satu dalam tuntutannya kepada klub.
“Iya sama Snex jadi satu. Korban (luka penembakan gas air mata) itu anak Snex. Ini gara-gara (perseteruan) dengan Yoyok ini jadi bagus Panser Biru-Snex. Tahun lalu masih musuhan sebenarnya. Ya enggak sampai tawuran tapi ya enggak satu visi-misi. Tapi kemarin ini dengan kejadian ini malah jadi satu,” tambahnya.
Baca juga: Akar Seteru Suporter Oranye dan Biru
Tragedi Solo dan Gedung Berlian
Stadion Citarum di kota Semarang sore menjelang Hari Natal itu “dipayungi” mendung dengan rintik gerimis yang masih jarang. Di ujung deretan ruko stadion, sebuah ruko begitu menonjol dengan pintu biru, mencerminkan warna kebesaran Panser Biru sang kelompok fanatik terbesar PSIS.
Warna biru itu ternyata juga jadi penanda “markas” mereka. di sanalah Sekretariat DPP Panser Biru berkantor. Di tempat itulah Historia.ID menyambangi Wareng sang ketua. Suasana hatinya semendung langit di luar lantaran prestasi klub kesayangannya sedang jauh dari kata membanggakan.
“Stagnan sekarang. PSIS menurun terus, enggak jadi (target) empat besar,” ujar pria kelahiran Klaten tapi sudah mencintai PSIS sejak usia SD itu.
Baca juga: Salam Satu Nyali, Wani!
PSIS merupakan satu dari sedikit klub tertua di Indonesia yang masih eksis. Meski PS Sport Stal Spieren (PS SSS) yang jadi cikal bakal PSIS sudah lahir pada 1930, kelompok suporternya yang terkoordinir baru ada 24 tahun silam. Panser Biru namanya, berdiri pada 25 Maret 2001.
“Panser Biru lahir melalui proses yang panjang. Ketika PSIS menjadi juara (Liga Indonesia, red.) pada tahun 1999, sebetulnya sudah banyak penggemar Semarang dan sekitarnya yang mendukung pejuang Mahesa Jenar, tetapi saat itu belum terkoordinasi,” kata Sigit Sant dalam buku Mengenal Lebih Dekat PSIS Semarang: Prestasi, Supporter, Skandal dan Sejarah.
Hal itu diamini Wareng yang sudah pindah dari Klaten ke Semarang di usia SMP. Sejak itu dia mulai sering menonton langsung laga-laga kandang PSIS ketika sudah bermarkas di Stadion Jatidiri.
“Sama anak-anak kampung tahun 1990-an itu suka numpang truk atau angkot buat nonton PSIS. Dulu nontonnya sudah di (stadion) Jatidiri. Sebelumnya PSIS kan kandangnya di Stadion Citarum, (stadion) Diponegoro, sama (stadion) Sidodadi. Tapi waktu itu belum ada suporter, masih spontan. Enggak beratribut juga. Cuma kalau keluar (laga tandang) disebutnya suporter Mahesa Jenar begitu yang belum terorganisir,” sambung Wareng.
Baca juga: Macz Man, Pelopor Suporter Kreatif Anti-Barbar
Proses panjang lahirnya Panser Biru berkelindan dengan kericuhan yang berujung bentrokan antar-suporter pada sebuah laga menentukan Divisi Utama Liga Indonesia antara Pelita Solo kontra PSIS di Stadion Manahan, Solo pada 11 Juni 2000.
“Awal berdirinya itu tahun 2000 setelah kejadian bentrok dengan (suporter Pelita) Solo itu. Suporter PSIS kan enggak ada koordinasinya waktu ke Solo. Kalau mereka kan sudah ada suporternya, Pasopati. Jadi kita (waktu itu) kocar-kacir dan kepengin menjadikan satu suporter Semarang. Kan dulu kalau (laga tandang) ke mana-mana enggak terkoordinasi,” terang Wareng.
Setelah PSIS yang juara bertahan itu terdegradasi ke Divisi I Liga Indonesia, sekira 15 pentolan pendukung fanatik duduk bersama di Gedung Berlian Semarang alias Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah. Mereka di antaranya Benny Setiawan, Duryanto “Pesek”, Arief Pamungkas, dan Ari Sudrajat, lalu mendirikan Forum Peduli PSIS pada 22 Oktober 2000.
“Seiring degradasi PSIS, beberapa pendukung ingin membentuk organisasi yang mengkoordinir pertama di Semarang (dengan) baik dan rapi. Mereka kemudian melanjutkan dengan konferensi pada 29 Oktober 2000 yang dihadiri sekitar 35 orang,” tambah Sigit.
Baca juga: Menyingkap Makna Ndas Mangap
Pertemuan demi pertemuan berlanjut hingga November 2000 dan akhirnya mereka sepakat mendirikan kelompok suporter yang menangungi komunitas-komunitas kecil –Fan Bos (Fans Bocah Semarang), Bosnia (Bocah Semarang Mania), Anak Banyumanik, SAS, dll., yang dipimpin para pentolan tadi untuk menjadi satu. Ditetapkan berdiri pada 25 Maret 2001 dengan nama Panser Biru. Lema “Panser” merupakan akronim dari “Pasukan Suporter Semarang” dan lema “Biru” merujuk pada warna kebesaran PSIS. Mereka juga menetapkan motto “Salam Loyal tapi Pintar”.
“Dari beberapa komunitas dari tiap kampung kumpul di depan Gedung Berlian di Jalan Pahlawan tempat mereka biasa kumpul. Dari banyak nama yang diusulkan di forum, terpilih satu nama itu (Panser Biru) dari usulan Mas Benny. Tahun 2001 itu juga DPP (dewan pimpinan pusat) sudah terbentuk dan pimpinan dibentuk, tiap tiga tahun sekali ada pemilihan ketua umum. Di bawah DPP, per wilayahnya ada korwil. Sampai sekarang pemegang kartu anggota kita sudah sekitar 17 ribu orang dari 180 korwil. Enggak hanya di Semarang. Ada juga di Sumatera sampai Papua,” jelas Wareng.
Wareng sendiri baru masuk kepengurusan Panser Biru medio 2005. Tak lama setelah heberapa suporter PSIS memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri, Snex (Suporter Semarang Extreme).
“Saya dulu masuk (jadi anggota) pengurus 2005, itu awal-awal bentrokan dengan Snex. Jadi Semarang juga pecah jadi dua, zaman waktu itu suporter isinya masih ribut-ribut saja, tho, sama suporter Semarang sendiri,” lanjut Wareng.
Baca juga: Bonek dan Stigma Kekerasan Suporter Fanatik
Lazim bila stigma kekerasan (negatif) acapkali melekat saat suporter fanatik baru berdiri. Panser Biru di awal-awal berdirinya tak hanya kerap bentrok dengan sesama kelompok fans PSIS yang berujung pada jatuhnya korban, tapi juga kelompok suporter klub lain seperti The Jakmania (suporter Persija), Aremania (suporter Arema Malang), Viking (suporter Persib), Banaspati dan The Jet Man (suporter Persijap), hingga Bonek (suporter Persebaya).
“Sebenarnya permusuhan itu tidak statis ya. Dulu Bonek juga tidak akur dengan Panser Biru. Tapi perlahan bisa berubah, kami sudah bisa akur. Saya sempat ikut proses perdamaian dengan Pasoepati dan suporter Lamongan. Teman-teman pendahulu kami juga sudah bisa proses damai dengan (suporter) PSIS,” timpal dedengkot Bonek, Andi Peci, kepada Historia.ID medio 2018.
Wareng mengamini fakta tersebut. Pucuk pimpinan Panser Biru, menurutnya, perlahan juga berkenan untuk saling akur dengan kelompok suporter lain.
“Sekarang sudah baik, enggak ada (bentrok) atau setidaknya jarang. Dulu musuhan sama Persija, sama Bonek. Tetapi sudah baik (hubungannya) semua. Yang masih agak panas kemarin dengan Persib tapi musim ini saya ke sana sudah menyambut. Ada pengaruh (Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022) itu juga. Kalau kita sih ya paling psywar, musuhan 2x45 menit saja,” Wareng menanggapi.
Namun, belakangan justru hubungan antara Panser Biru dan manajemen klub yang tidak baik. Wareng sendiri sampai dilaporkan ke Polrestabes Semarang atas dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian melalui media sosial.
“Sebenarnya hubungannya baik (dengan klub) tapi memanas itu sejak musim lalu. Sebelumnya aspirasi diterima baik. Sebelum protes-protes itu, manajemen biasanya bikin sarasehan, bikin diskusi dengan teman-teman suporter. Tapi setelah kejadian (musim lalu) kok menjauh-menjauh, ya teman-teman berontak juga, tho. Mulai dari situ sih,” terang Wareng.
Pemicunya adalah urusan politik. Sebagaimana kelompok suporter lain yang secara langsung maupun tidak, terlibat dalam kancah perpolitikan. Yoyok sang CEO dan pemegang saham terbesar PT Mahesa Jenar Semarang (PT MJS) yang menaungi PSIS, mencalonkan diri lagi sebagai anggota DPR RI Dapil I Jawa Tengah di Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
“Yoyok di kampanye pilegnya kebetulan ngangkatnya itu PSIS masih peringkat dua. Yoyok menjanjikan PSIS bisa lolos empat besar. Tapi setelah coblosan pemilihan itu, PSIS menurun. Timbul gejolak dari teman-teman menuntut karena pileg janjinya empat besar. Terus mau pilwakot (Semarang), Yoyok mau maju. Terus teman-teman bikin aksi: ‘Ora Empat Besar, Ora Walikota’, untuk mempertegas janjinya tapi kok malah turun lagi peringkat (PSIS). Clash-lah teman-teman sama Yoyok, sebagian besar DPP kontra dengan Yoyok,” aku Wareng.
Baca juga: Jakmania Setia Mengawal Persija
Barisan Panser Biru, lanjut Wareng, tambah dikecewakan dengan keputusan klub melepas sejumlah punggawa andalan. Di antaranya Taisei Marukawa (ke Dewa United) dan Fredyan Wahyu “Ucil” Sugiantoro (ke Malut United). Belum lagi persoalan gaji pemain yang pembayarannya dicicil.
“Akhirnya kami bikin lagi pernyataan bahwa kalau Yoyok sudah tidak sanggup membiayai PSIS, kita suruh fokus Pilwalkot saja, (tapi) PSIS dilepas. Minimal sahamnya dikelola yang lebih profesional. Diprotes itu, terus dia menyetop tiket Panser Biru. Jadi enggak dikasihkan DPP, langsung dikasihkan ke teman-teman korwil. Teman-teman korwil pada enggak mau. Mereka bikin surat pernyataan, intinya tiket (tetap) dikelola DPP Panser Biru,” terangnya.
Kini setelah merasa sudah tak ada jalan lain, Panser Biru menuntut “Yoyok Out”. Walau takkan 100 persen menjamin PSIS bisa juara kembali seperti tahun 1999, pentolan Panser Biru itu meyakini setidaknya PSIS bisa lebih baik dari sekarang.
“Dipegang Yoyok Sukawi sudah 23 tahun lho, tidak pernah juara sama sekali malah pernah degradasi. Bus (tim) enggak punya. Intinya ‘Yoyok Out’, minimal menjual saham mayoritas. Cuma itu awal tuntutan kita. Kemarin dua tahun (2021-2023) sempat dipegang Pak Anto (Junianto) yang masuk dengan 30 persen saham sempat bisa beli bus sendiri, bikin TC (training camp) sendiri, sempat mau bikin stadion sendiri. Tapi (dia) terus keluar enggak mau mengurusi lagi,” cetus Wareng.
Dari membandingkan kepemimpinan dua sosok itulah Wareng lalu mengambil sikap tegas. “Yoyok Out” harga mati.
“Ya 23 tahun bus saja enggak punya, boro-boro TC. Jadi tetap yakin bisa lebih baik karena kan dibuat ajang politik. Kalau Pak Anto kan murnis bisnis, enggak ada sangkut-pautnya dengan politik,” tandasnya.
Baca juga: Jakmania Milik Semua Masyarakat Ibukota