PARTAI tandang timnas Indonesia ke Bahrain pada 10 Oktober 2024 lalu masih menyisakan pahit. Wasit Ahmed al-Kaf asal Oman yang memimpin laga diduga berat sebelah menguntungkan tuan rumah gegara tetap meneruskan laga kendati mestinya sudah berakhir di menit ke-90+6.
Kontroversi itu terjadi saat timnas Bahrain menjamu Indonesia di partai ketiga Grup C, babak ketiga kualifikasi Piala Dunai 2026 zona Asia di Bahrain National Stadium, Riffa. Hingga 90 menit waktu normal, Indonesia unggul 2-1 berkat gol Ragnar Oratmangoen di menit ke-45+3 dan Rafael Struick di menit ke-74. Kedua gol itu membalikkan keadaan setelah sempat tertinggal lewat gol Mohamed Marhoon di menit ke-15.
Saat 90 menit waktu habis, ofisial pertandingan memberi tambahan waktu 6 menit. Namun seperti tak mengindahkan protes pelatih Indonesia Shin Tae-yong (STY) dan ofisial timnas di tepi lapangan, wasit Al-Kaf tetap meneruskan laga ketika tambahan waktu 6 menit sudah berakhir hingga terciptalah gol kedua Marhoon di menit ke-90+9. Setelah gol itu disahkan, yang lagi-lagi tanpa mengindahkan protes tim Indonesia untuk mengecek VAR (video assistant referee), barulah wasit Al-Kaf membunyikan peluit terakhir untuk mengakhiri laga. Skor imbang 2-2.
“Kedua tim telah mengerahkan kemampuan terbaiknya sampai peluit terakhir. Tapi saya harus menyebutkan hal yang memalukan terkait keputusan wasit. Jika AFC (konfederasi sepakbola Asia) ingin berkembang maka kualitas wasit juga harus ditingkatkan,” cetus STY pada konferensi pers pasca-pertandingan yang ditayangkan Youtube resmi PSSI, 11 Oktober 2024.
Baca juga: Petualangan Tim Kanguru
Jika merujuk aturan Dewan Asosiasi Sepakbola Internasional (IFAB) terkait tambahan waktu, wasit memang diizinkan memberi kelonggaran tambahan waktu di setiap babak dengan beberapa syarat tertentu. Namun tetap saja keputusan wasit Al-Kaf di laga Bahrain kontra Indonesia itu dianggap kontroversial oleh sejumlah pihak hingga timnas Indonesia merasa kemenangannya “dirampok” wasit.
PSSI pun akan mengajukan surat protesnya kepada AFC. Sementara, induk sepakbola Bahrain, BFA, dalam posting-an Instagram-nya di akun @bahrainfa mengklaim gol kedua mereka terjadi di menit 90+6. Tak ayal mereka menutup kolom komentarnya untuk menghindari serbuan warganet Indonesia yang murka.
Menilik catatan masa lalu, bukan kali ini saja Bahrain memaksa Indonesia menelan pil pahit. Di venue dan ajang serupa di kualifikasi Piala Dunia 12 tahun silam, tim Garuda pernah jadi bulan-bulanan Bahrain, 10-0. Skor yang tercatat sebagai kemenangan terbesar dalam sejarah timnas Bahrain.
Permainan Impor di Masa Jajahan Inggris
Bahrain sebagai negeri pulau yang dikuasai dinasti Al-Khalifa sebelum merdeka pada 1971 merupakan jajahan Inggris dengan status protektorat sejak 1892. Sepakbola sebagai salah satu olahraga “orang Barat” diimpor hampir bersamaan dengan olahraga lain pada 1920-an di masa kepala administratif protektoratnya Sir Charles Belgrave (1926-1957).
“Sepakbola pertamakali datang ke Bahrain ketika pengaruh Inggris begitu kuat di seantero negeri. Sedari 1927 hingga 1957, Sir Charles Dalrymple Belgrave menjadi kepala administrasi dalam kekuasaan Bahrain dan memperluas perkembangan di segala sisi di negeri itu. Salah satunya sepakbola, di mana pada 1928 sudah berdiri klub pertama, Sports Club yang kemudian bertransformasi menjadi Al-Muharraq SC, salah satu klub terbesar dan tersukses Bahrain,” tulis Stuart dan Philip Laycock dalam How Britain Brought Football to the World.
Mulanya, perkumpulan olahraga yang muncul pada 1920-an didominasi militer Inggris maupun para ekspatriat yang bekerja di perusahaan-perusahaan asing di Bahrain. Arsip “The Administration Report for the Bahrain Agency for 1933” menginformasikan, Bahrain Sports Club berdiri tahun 1928 di Muharraq dengan menaungi beberapa cabang olahraga: hoki, kriket, tenis, golf, dan sepakbola. Khusus tim sepakbolanya, kemudian berubah menjadi Al-Muharraq Sports Club.
Baca juga: Si Kulit Bundar di Saudi
Hingga 1933 –menurut arsip di atas, berangsur-angsur lahir enam klub sepakbola lain. Di antaranya tim Bahrain Petroleum Company dan tim RAF (Angkatan Udara Inggris). Namun perlahan tapi pasti, sejumlah “anak negeri” juga mulai tertular demam sepakbola dan mendirikan klub-klub bumiputera, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah.
“Gairah terhadap sepakbola makin meluas lagi setelah perang (Dunia II). Pada 1957 asosiasi sepakbolanya didirikan dan pada 1959 tim nasionalnya mulai dibentuk,” lanjut Laycock.
Menurut Nelida Fuccaro dalam Histories of City and State in the Persian Gulf: Manama Since 1800, Bahrain Football Association (BFA) didirikan di Manama pada 1957. Asosiasi itu didirikan lewat sokongan 11 klub lokal, di antaranya Al-Muharraq SC, Ahli Al-Riyadh (kini Al-Riyadh SC), dan Ras Rumman. Di tahun yang sama, AFC pun menerima BFA sebagai anggotanya.
Sedangkan timnas Bahrain baru mulai dibentuk pada 1959. Laga internasionalnya baru dilakoni pertama kali dalam pertandingan persahabatan kontra Kuwait pada 1 April 1966 yang berkesudahan imbang 4-4. Di tahun yang sama, tepatnya 7 April 1966, Bahrain mencatatkan kekalahan terbesarnya, 1-10, dari Irak di Baghdad pada ajang Arab Cup 1966. Dua tahun berselang, giliran FIFA yang menerima BFA sebagai anggotanya.
Meski dekat dan sepakbolanya dikenalkan Inggris, dua pelatih pertama timnas Bahrain justru berasal dari Mesir. Timnas Bahrain dilatih Abdul Salam Alam pada 1966 dan Hamada El-Sharqawi pada 1970-1974.
Hasilnya, Bahrain sempat bikin kejutan di kawasan Teluk Persia. Pada perhelatan perdana Arabian Gulf Cup 1970, Bahrain tampil sebagai runner-up meski hanya mencatatkan masing-masing sekali menang, imbang, dan kalah. Hasil serupa juga sempat dicapai tim berjuluk “Dilmun’s Warriors” itu di Arab Cup 1985.
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Selebihnya hingga awal 2000-an, sepakbola Bahrain ibarat jalan di tempat. Bahrain tak lebih dari sekadar tim medioker di berbagai ajang.
Namun setelah itu, Bahrain mengalami masa-masa keemasannya dengan jadi finalis Arab Cup 2002 dan Arabian Gulf Cup 2003. Bahrain juga mencapai babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2006.
Namun gegara Kerusuhan 2011 (14 Februari-18 Maret 2011) yang terjadi ketika kalangan Syiah anti-pemerintah memprotes, hampir semua kegiatan olahraga turut terkena dampaknya. Sepakbola jelas termasuk, sebab banyak dari pemain yang bergelut di kompetisi domestik menganut aliran Syiah.
Sebagaimana dikutip artikel The Economist, 13 Agustus 2011, “A house divided”, beberapa petinggi klub bahkan ikut men-sweeping timnya dari anasir-anasir Syiah yang dianggap anti-pemerintah. Setidaknya 150 pemain, staf, dan perangkat pertandingan (wasit dan hakim garis) dari kalangan Syiah dipecat.
Nasib pahit juga dialami beberapa pemain timnas Bahrain yang penganut Syiah, di antaranya A’ala Hubail dan Mohamed Hubail serta Sayed Mohamed Adnan yang diketahui ikut dalam gelombang protes anti-pemerintah. Mereka ditangkap hingga disiksa aparat pemerintah.
“Hubail bersaudara memang tak bisa berpangku tangan dan berdiam diri di lapangan. Terlebih A’ala Hubail yang bukan hanya pesepakbola tapi juga paramedis bersertifikat. Hubail bersaudara sebenarnya ikut aksi massa hanya untuk membantu para pengunjuk rasa yang terluka,” tulis Dave Zirin dalam Game Over: How Politics Has Turned the Sports World Upside Down.
Baca juga: Selayang Pandang Sepakbola Afghanistan
Aparat yang menciduk mereka tak mengindahkan alasan itu. Bahkan karena tahu mereka pesepakbola, Hubail bersaudara justru dipukuli bagian kakinya.
“Kami seperti hidup dalam mimpi buruk karena rasa takut dan horor yang kami alami. Saya membela negara dengan cinta dan akan terus mencintai negara saya. Tapi saya tak bisa melupakan pengalaman yang menghantui seumur hidup saya,” kenang A’ala Hubail, dikutip Zirin.
Tak ayal pasca-lembaran hitam itu A’ala Hubail dan adiknya, Mohamed, memilih hengkang untuk melanjutkan kariernya di Oman. Sementara Sayed Adnan mencari suaka ke Australia dan melanjutkan kariernya di klub Brisbane Roar.
Timnas Bahrain pun sempat terdampak, namun tak lama. Setahun berselang, Bahrain mencetak rekor kemenangan terbesar, 10-0, atas Indonesia pada kualifikasi Piala Dunia 2014 Grup E Zona AFC di Stadion Riffa, 29 Februari 2012.
“Timnas Bahrain saat itu dibesut Peter Taylor asal Inggris yang sayangnya kurang sukses. Di fase grup, Bahrain kalah 6-0 dari Iran tapi kemudian menang dengan skor mencengangkan, 10-0 atas Indonesia di partai terakhir penyisihan grup. Saat itu Bahrain butuh menang 9-0 dari Indonesia sembari berharap Qatar kalah dari Iran,” ungkap James Montague dalam When Friday Comes: Football Revolution in the Middle East and the Road to Qatar.
FIFA yang curiga kemudian melancarkan investigasinya. Hampir semua pihak diperiksa, termasuk wasit Andre El Haddad asal Lebanon dan pelatih Peter Taylor, atas dugaan pengaturan skor dan intervensi politik.
“Saya tak tahu-menahu soal situasi politik. Saya hanya seorang pelatih yang berwenang atas sebuah tim. Hanya itu, lain tidak,” aku Taylor kepada Montague.
Meski begitu, toh Bahrain tetap gagal lolos ke babak berikutnya karena Qatar bermain imbang 2-2 dengan Iran. Bahrain dan Indonesia sama-sama gagal lolos ke babak keempat kualifikasi.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa