Masuk Daftar
My Getplus

Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian II – Habis)

Berdiri sejak 1934, stadion tertua di Semarang ini memiliki keunikan berupa velodrome. Pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. 

Oleh: Randy Wirayudha | 13 Jan 2025
Tampak dalam Stadion Diponegoro yang unik dengan lintasan velodrome-nya (Randy Wirayudha/Historia.ID)

SEPERTI halnya kota-kota besar di Jawa, Semarang punya banyak stadion yang dari masa ke masa pernah jadi markas PSIS. Namun ketimbang Stadion Citarum (1986) dan Stadion Jatidiri (1991) yang masih dalam kondisi baik, stadion tertuanya, Stadion Diponegoro, justru kondisinya memprihatinkan. 

“Yang tertua itu Stadion Diponegoro. Ada dokumentasi foto ketika (Bapak Pandu Dunia) Lord Baden-Powell berkunjung tahun 1934, tertulis jelas (papan nama) ‘Stadion Semarang’. Setelah masa kemerdekaan menjadi Stadion Diponegoro,” terang eks-jurnalis senior Suara Merdeka dan penggiat sejarah Johanes Christiono kala berbincang dengan Historia.ID. 

Penulis buku Semarang dalam Lorong Waktu (2020) itu juga menguraikan bahwa meski bentuk stadionnya sederhana, Stadion Diponegoro memiliki velodrome (intasan balap sepeda) pertama di Hindia Belanda. Hal itu terkonfirmasi ketika Historia.ID menyambangi stadion yang terletak di Jalan Ki Mangunsarkoro Semarang itu.

Advertising
Advertising

Bagian tribun utama stadion itu masih terawat baik, terlepas dari debu-debu yang menyelimutinya. Kerangka besi dan baja yang menopang atap juga masih begitu kokoh meski beberapa bagian seng di atasnya sudah gompal-gompal. 

Baca juga: Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian I)

Menariknya, velodrome di pinggir lapangan masih dalam kondisi baik. Menurut Muhammad Suyatno dari pihak pengelola stadion, velodrome masih kerap digunakan untuk latihan dan lomba balap sepeda. 

“(Stadionnya) sudah dari zaman Belanda dan sudah masuk (kategori bangunan) cagar budaya. Ini velodrome-nya juga aslinya sudah lama. Masih dibuat lomba (balap sepeda),” ujarnya. 

Penampakan tribun Stadion Diponegoro (Randy Wirayudha/Historia.ID)

Nyaris Dilikuidasi dan Dirobohkan 

Sebagaimana diungkapkan pada artikel sebelumnya, pembangunan kawasan olahraga di Kota Semarang sudah diwacanakan sejak 1928. Menurut harian Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië edisi 27 September 1928, gagasannya dientaskan sebuah perkumpulan olahraga sepeda, NV Tropical, yang ingin adanya venue olahraga “terintergrasi”. Tidak hanya untuk balap sepeda, tapi juga atletik, sepakbola, senam, hingga balap motor. 

Hal itu kemudian berkelindan dengan wacana pengembangan kota oleh Gemeente (kota praja) Semarang kurun 1923 dan 1924. Lahan stadion yang bertempat di kawasan Peterongan itu sebelumnya sempat ingin dijadikan kawasan perumahan. Meski begitu, tata kotanya kemudian diubah. Kawasan Peterongan, tepatnya di selatan Bhe Biauw Tjoanweg (kini Jalan Mayjen DI Pandjaitan), justru akan dijadikan kawasan olahraga oleh arsitek Thomas Karsten. 

Penataan kawasan kemudian dirancang Karsten meski venue pusat olahraga dan stadionnya kemudian dirancang arsitek lain, J. J. van Leeuwen dari Firma Arsitektur Ooiman en van Leeuwen.

Baca juga: Cerita dari Stadion Gelora 10 November Surabaya

Lahan di selatan Bhe Biauw Tjoanweg tempat berdirinya stadion itu sendiri bukan milik pemerintah kota. Menukil suratkabar De Locomotief edisi 27 April 1934, lahan partikelir di kawasan Peterongan itu sejak Februari 1930 adalah milik De Javasche Bank (DJB, kini Bank Indonesia) cabang Semarang. Lahannya dikelola melalui Administratiekantoor Peterongan. 

“Di masa itu (1930) kami belum tahu lahannya mau diapakan dan eksploitasi macam apa yang ingin dilakukan. Rencana untuk membangun stadion, apalagi dengan trek sepedanya baru muncul kemudian,” ujar Mr. Van Waveren, pejabat DJB cabang Semarang itu di harian tersebut. 

Ide yang muncul di kepala Van Leeuwen pada 1931 mulanya belum berupa stadion sepakbola, melainkan velodrome, seiring rencana pemerintah kota dalam mengembangkan kota atas rancangan Karsten. Van Leeuwen pun awalnya ingin membuatnya di sebuah lahan di belakang Stasiun Tawang. Tetapi lahan milik pemerintah kota di lokasi itu kurang padat untuk bisa dibangun sebuah arena olahraga karena sering terkena banjir.

“Sebenarnya sudah sejak 1923 saya sudah sering menggambar rancangan untuk trek balap sepeda bermaterial kayu, sejak saya bertemu dan berdiskusi dengan seorang arsitek Belgia. Ide itu sempat terpendam tapi muncul lagi seiring demam sepeda pasca-Olimpiade Amsterdam 1928 ketika melihat sebuah arena sepeda yang begitu indah. Kenapa kemudian direncanakan dibangun di dekat stasiun karena di kawasan Peterongan masa itu masih terdapat permukiman warga,” kata Van Leeuwen di harian yang sama. 

Momen peresmian dan pembukaan Stadion Semarang (De Locomotief, edisi 2 Mei 1934)

Ketika Februari 1930 lahannya diakuisisi DJB cabang Semarang, permukiman di kawasan Peterongan itu sudah direlokasi. Maka ide Van Leeuwen itu dimodifikasi lagi dengan menghadirkan sebuah stadion sepakbola yang tak hanya terdapat trek atletik tapi juga velodrome. Sebuah visi –yang menurut Indra Fibiona, pamong budaya ahli pertama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X (BPK Wilayah X/DI Yogyakarta dan Jawa Tengah), belum ada yang menyamainya. 

“Pembuatan stadion waktu itu tidak ada bandingannya di Hindia Belanda, mengingat baru di Semarang dibuat stadion lengkap dengan velodrome. Van Leeuwen dianggap memiliki visi jauh ke depan serta perhatian penuh terhadap perkembangan olahraga. Orang-orang Eropa juga berpandangan jika Hindia Belanda memiliki lebih banyak orang seperti Van Leeuwen, maka olahraga di Hindia Belanda pasti akan berkembang pesat,” ungkap Indra dihubungi Historia.ID. 

Tidak hanya ditanggung pemilik lahan, pembiayaan pembangunannya juga disokong perusahaan trem NV Samarang-Joana Stroomtram Maatschappij (SJS). Pembangunan oleh pihak swasta ini mengisi “kekosongan” dalam pengembangan tata kota oleh pemerintahm kota. 

“Kami memang tidak memasukkan rencana (pembangunan stadion) lagi karena terbatasnya ketersediaan lahan (milik pemerintah kota) menjadikan rencana pembangunan kawasan olahraga tidak memungkinkan. Lagi pula di masa itu juga tidak ada anggarannya,” aku Burgemeester (walikota praja) Mr. A. Bagchus. 

Baca juga: Cerita dari Stadion Andi Mattalatta

Peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan pada pertengahan November 1933. Stadion yang direncanakan berkapasitas 12 ribu penonton itu juga dilengkapi fasilitas terbaik kamar mandi, sejumlah ruang ganti, dan menara lampu. 

Tibalah pada 29 April 1934, di mana arena yang bernama Stadion Semarang itu resmi dibuka. Walikota A. Bagchus turut hadir dan menyambut baik hadirnya stadion yang bisa diperuntukkan buat sepakbola sekaligus sejumlah olahraga lain. Baginya, stadion itu akan mendatangkan devisa dan peningkatan pajak pendapatan kota jika ramai pengunjung dari mancanegara, sebab velodrome di Stadion Semarang jadi yang pertama tidak hanya di Hindia Belanda tapi juga Asia Tenggara. 

“Trek sepeda (velodrome) seperti itu belum ada di manapun di seantero Timur Jauh (Asia, red). Stadion modern itu juga jadi pelengkap bagi kota Semarang yang selama ini minim pusat olahraga,” sambung Van Leeuwen. 

Tampak velodrome atau lintasan balap sepeda yang masih tersisa (Randy Wirayudha/Historia.ID)

Kendati begitu, Stadion Semarang bukanlah aset pemerintah kota melainkan aset pihak swasta. Stadionnya kemudian dikelola NV Semarangsche Stadion, perusahaan yang khusus didirikan untuk mengelola stadionnya. 

“Lapangan sepakbolanya sendiri akan menjadi lapangan (yang disewa) SVV Semarang dan (klub Tionghoa) Djien Gie. Ada banyak lagi cabang olahraga seperti korfball, hoki, atletik yang akan menggunakan stadion ini untuk tempat latihan. Dan tentunya balap motor dan balap sepeda. Kompetisi sepeda akan digelar di hari-hari kerja pada malam hari,” tukas Van Waveren yang kemudian merangkap Presiden-Komisioner NV Semarangsche Stadion. 

Ketika stadionnya diresmikan, memang belum langsung dibarengi dengan laga sepakbola. Sepakbola baru pertamakali dimainkan di stadion anyar itu sepekan kemudian. 

“Pembukaan stadion (untuk sepakbola) dilakukan tanggal 3 Mei 1934 dengan perhelatan pertandingan antara (tim) Semarang dengan Solo. Animo masyarakat begitu tinggi, dibuktikan dengan banyaknya penonton dan penjualan tiket di tribun penonton,” sambung Indra. 

Baca juga: Sengkarut Sengketa Stadion Andi Mattalatta

Stadion Semarang kemudian tidak hanya mendapat kehormatan jadi salah satu venue persinggahan Bapak Pandu Dunia Lord Baden-Powell pada 1934. Di tahun yang sama, stadion ini juga turut disambangi klub sepakbola asal Austria, Grazer Athletiksport Klub (Grazer AK). 

Pada pertengahan 1934, Grazer AK jadi klub Eropa pertama yang menggelar turnya ke Hindia Belanda. Selain Semarang, Grazer AK juga melakoni laga-laga eksebisi melawan tim-tim campuran Belanda di Bogor, Bandung, Solo, Malang, Surabaya, dan tentunya Batavia (kini Jakarta). Di Semarang, Grazer AK dua kali tercatat merumput di Stadion Semarang saat ditantang tim Semarang XI dan tim Tionghoa, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) XI. 

“Tim olahraga Grazer yang melawat ke Jawa pada 1934 mendedikasikan sebuah catatan khusus mengenai tur mereka. Mengenai Semarang, mereka menuliskan: ‘Semarang patut berbangga memiliki stadion paling indah di Jawa. Tuan Van Leeuwen begitu sukses membangun stadionnya’,” tulis suratkabar Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië edisi 11 Januari 1935. 

Baca juga: Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I)

Namun, ketika dekade berganti, pihak pengelola justru mengalami kesulitan ekonomi. Masih samar penyebabnya, tapi menurut laporan Bataviaasche Nieuwsblad edisi 6 Agustus 1941, aset stadionnya disebutkan akan terkena likuidasi. Pemerintah kota berusaha mengambilalihnya dengan menebusnya senilai 60 ribu gulden walau pihak pengelola bersikeras di angka 125 ribu gulden. 

“Ada kemungkinan pemerintah kota akan membangun stadion sendiri dengan anggaran 60 ribu (gulden) di lahan milik pemerintah kota di Semarang Timur atau lahan lain dekat pusat kota. Jika stadion ini tidak dirobohkan maka Semarang akan jadi kota yang unik karena menjadi kota yang memiliki dua stadion,” tulis harian itu. 

Pada akhirnya Stadion Semarang memang urung dirobohkan. Hingga medio 1942 ketika militer Jepang menguasai Jawa, stadionnya masih berdiri. Usai revolusi kemerdekaan, namanya diubah menjadi Stadion Diponegoro. 

“Pada saat pendudukan Jepang, stadionnya digunakan tetap sebagai pusat olahraga, jenis olahraga Jepang seperti gulat (sumo), kendo. Pada awal era revolusi fisik, Stadion Semarang dijadikan sebagai pusat kegiatan militer di bawah pengelolaan Gubernur Wongsonegoro. Penamaan (stadion) Diponegoro erat kaitannya dengan pembentukan Kodam Diponegoro (Teritorium Jawa Tengah) yang menggunakan lapangan tersebut dalam pengangkatan stafnya,” tandas Indra.

Baca juga: Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis)

TAG

stadion semarang sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Hoegeng di Pekalongan Ayah Patrick Kluivert Legenda Sepakbola Suriname Kiprah Toni Pogacnik, Pelatih Timnas Indonesia asal Kroasia Mengenal Lebih Dekat Patrick Kluivert Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian I) Serba Pertama dari Goodison Park Gemuruh Sejarah Panser Biru Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi