PUBLIK sepakbola Indonesia ditinggal pas lagi sayang-sayangnya dengan Sin Tae-yong (STY). Pelatih kebangsaan Korea Selatan itu resmi berpisah dengan Tim Nasional Indonesia setelah PSSI memutus kontrak STY secara sepihak. Kontrak STY seyogianya berakhir pada 2027. Pemecatan Sin Tae-yong diumumkan langsung oleh Ketua Umum PSSI Erick Tohir pada pekan lalu, 6 Januari 2025.
“Tentu apa yang kita lakukan hari ini (pemecatan STY) tidak lain untuk kebaikan tim nasional. Kalau dilihat PSSI 1,5 tahun-2 tahun terakhir mempunyai program yang sangat konsisten,” beber Erick Tohir dalam konferensi persnya.
Sejak melatih Timnas Indonesia pada 2020 silam, STY dianggap telah mengangkat Timnas Indonesia secara signifikan, baik secara permainan maupun peringkat FIFA. Meski belum mempersembahkan trofi, Timnas Indonesia di bawah asuhan STY mencatatkan torehan positif. Mulai dari finalis Piala AFF 2020, medali perunggu SEA Games 2021, finalis Piala AFF U-23 2023, hingga lolos putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Saat ini, Timnas Indonesia berada di peringkat ke-3 Grup C, Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia, dan masih berpeluang untuk lolos.
Baca juga: Piala AFF, Turnamen Para Jawara Asia Tenggara
Dalam sejarahnya, Timnas Indonesia telah dilatih oleh sederet pelatih asing. Selain STY, salah satu pelatih asing yang cukup menonjol dalam melatih Timnas Indonesia adalah Toni Pogacnik. Pelatih asal Krosia (dulu masih bagian dari Yugoslavia) ini didatangkan oleh PSSI pada 1954. Sepanjang satu dekade, Pogacnik melatih Timnas Indonesia sekaligus menjadi yang terlama sepanjang sejarah (1954—1964).
Dilansir Harian Merdeka, Toni Pogacnik melangsungkan penandatanganan kontrak dengan PSSI di Sekretariat PSSI, Jl. Semarang 7, Jakarta, pada 3 Desember 1954. Sebagai saksi turut menandatangani kontrak itu Dr. A. Halim, ketua Komite Olimpiade Indonesia. Dari pihak PSSI, turut menandatangani Ketua Umum Maladi dan Sekretaris Joemarsono.
“Sebagaimana diketahui, Toni Pogacnik sudah berada di Indonesia sejak pertengahan bulan Februari tahun ini,” sebut Merdeka, 4 Desember 1954.
Baca juga: Pele Datang ke Indonesia
Sebelum menjadi pelatih, Pogacnik yang lahir pada 6 Januari 1913, berpengalaman 22 tahun sebagai pemain. Seperti diulas Star Weekly, 5 September 1953, Pogacnik disebut telah memainkan 1450 pertandingan selama karier profesionalnya sebagai pemain sepakbola. Sebagian besar masa aktif bermainnya dihabiskan untuk klub Kroasia, Grandanski Zagreb. Pogacnik juga menjadi andalan di Timnas Yugoslavia. Pogacnik bermain di posisi gelandang, namun kadang-kadang dia juga berposisi di sebelah kiri lapangan tengah. Setelah gantung sepatu, Pogacnik beralih menjadi pelatih. Pada 1950, dia sudah melatih Timnas Yugoslavia.
Sewaktu melatih Yugoslavia, Pogacnik bentrok dengan federasi sepakbola Yugoslavia terkait pemilihan pemain. Pogacnik ingin memainkan pemain yang lebih muda. Sementara federasi tetap ingin mempertahankan pemain-pemain gaek. Perselisihan itu menyebabkan kontrak Pogacnik diputus hingga kemudian dia menerima tawaran untuk melatih Timnas Indonesia.
“Indonesia masih sangat muda dalam olahraga, tetapi Indonesia tampak suka benar pada sepakbola. Di tiap dusun dan lapangan ada saja orang bersepakbola. Pemain-pemain nasionalnya semuanya tampak berbakat baik, hanya kebanyakan dalam tekik mereka kurang berkuasa. Hingga akibatnya tak pernah mereka bermain efektif dan produktif,” kata Pogacnik menyatakan alasan ketertarikannya melatih Timnas Indonesia dalam Olahraga, 5 April 1954.
Baca juga: Paman Choo, Pelatih Asing Pertama Timnas Sepakbola Indonesia
Penunjukkan Pogacnik, menurut peneliti sejarah olahraga Dimas Wahyu Indrajaya, dilandasi kesadaran PSSI agar sepakbola Indonesia mesti dilatih lebih lanjut untuk lebih berprestasi. Sebelum Pogacnik, Timnas Indonesia diasuh oleh pelatih asal Singapura Choo Seng Que. Hanya saja kontrak pelatih yang acap dipanggil “Uncle Cho” itu berdurasi pendek. Di bawah besutan Cho, Timnas Indonesia berpartisipasi dalam Asian Games 1951, Tur Singapura, dan Tur Timur Jauh 1953.
“Nah, Pogacnik yang sebelumnya melatih Timnas Yugoslavia B dan melakoni tur sepakbola di Jawa pada 1953 kemudian dipilih Ketua PSSI Maladi. Pogacnik sudah menunjukkan kedekatan sama orang-orang Indonesia, buktinya dia bersedia melatih pemain-pemain klub lokal UMS (Union Makes Strength) di sela-sela kesibukannya mempersiapkan timnya bertanding di Jakarta,” terang Dimas kepada Historia.id.
Toni Pogacnik sempat diragukan menjelang debutnya melatih Timnas Indonesia. Tidak semua publik sepakbola Indonesia setuju pada penunjukkan Pogacnik. Salah satunya persoalannya karena faktor bahasa yang berbeda.
“Tapi, ada lagi orang-orang yang mengemukakan keberatan-keberatan. Katanya soal bahasa, pergaulan dan macam-macam lagi. Apa gunanya, tanya dia. Kita agak kurang mengerti mengapa mereka itu kurang suka akan kemajuan tim PSSI itu,” demikian komentar editorial Olahraga, 1 November 1953.
Baca juga: Cerita di Balik Kedatangan Pele ke Indonesia
Namun, sikap antipati terhadap Pogacnik perlahan berubah menjadi rasa kagum. Di tangan kepelatihannya, Pogacnik membenahi kembali Timnas Indonesia dari dasar. Formasi yang menjadi pakem Timnas di bawah Pogacnik yaitu 2-3-5. Soal permainan, menurut Dimas, Pogacnik tidak begitu suka dengan pemain yang menonjolkan aksi individu atau pemain ala sirkus. Dia lebih menyukai kerja sama tim yang padu. Bermain sepakbola dengan menggunakan otak dan kreativitas. Beberapa nama pemain Timnas Indonesia yang diorbitkan di bawah kepelatihan Pogacnik antara lain: Ramang, Maulwi Saelan, Aang Witarsa, Sian Liong, sampai Kiat Sek.
Hasil gemblengan Pogacnik itu cukup terlihat dalam pola bermain Timnas Indonesia. Kendati tak membawa Timnas Indonesia ke podium tertinggi, anak-anak asuh Pogacnik mampu unjuk gigi di pertandingan penting level dunia. Saat Olimpiade 1956, Timnas Indonesia berhasil menahan imbang 0-0 Uni Soviet yang merupakan salah satu kesebelasan kuat di Eropa. Yang paling membanggakan, Pogacnik berhasil membawa Timnas Indonesia meraih medali perunggu Asian Games 1958.
“Prestasi terbaik Pogacnik sebenarnya adalah membuat masyarakat Indonesia mengerti dasar-dasar bermain sepak bola. Dia paham untuk menang atau sekadar bermain bagus pemain mesti mengerti cara menendang, menjaga lawan, sampai menyambut bola datang dari udara. Selain itu, dia juga berhasil membangun fisik pemain Timnas bermain full time. Saat itu, pesepakbola nasional memang belum terbiasa bermain 90 menit,” ulas Dimas.
Baca juga: Persija Kontra Salzburg di Lapangan Ikada
Pogancnik melatih Timnas Indonesia dalam dua periode. Periode pertama antara 1954—1958. Setelah kontraknya habis, Pogacnik sempat melatih Grasshopper Zurich. Kemudian Pogacnik kembali melatih Timnas Indonesia untuk periode kedua, 1960—1964. PSSI tampaknya puas dengan kinerja Pogacnik selama melatih insan sepakbola Indonesia. Pengalamannya melatih Timnas Indonesia juga terbilang baik dan meninggalkan reputasi yang dihormati.
Perpisahan Pogacnik dengan PSSI pada periode pertama diakhiri dengan kesan manis. Para pemain dan mantan pemain Timnas Indonesia melakukan pertandingan persahabatan sebelum Pogacnik beserta keluarga kecilnya pulang ke Eropa pada 13 September 1958. Sementara, kontrak periode kedua Pogacnik juga berakhir dengan alasan yang patut.
“Pogacnik dilepas karena memang sudah waktunya aja,” ungkap Dimas, “Soalnya PSSI sadar perlu mandiri, perlu pake jasa pelatih lokal.”
Baca juga: Empat Pelatih Asing yang Diapresiasi Positif Negeri Besutannya