DERETAN toko berdinding hijau hampir menutupi sekujur bangunan asli sebuah stadion tua di Jalan Ki Mangunsarkoro, Kota Semarang. Gerbang masuknya menjorok ke dalam, menyempil di antara deretan toko tadi. Sebuah papan nama masih terpampang jelas sekaligus menegaskan siapa pemilik bangunan stadion itu: Stadion Diponegoro.
Pagar besi bercat hijau di gerbang masuk siang itu sedikit terbuka, cukup untuk dimasuki seukuran badan. Historia.ID memberanikan diri melangkahkan kaki untuk melongok ke dalam, di mana terdapat satu papan nama lagi. Kali ini bergambar logo Kodam IV/Diponegoro.
Stadion tua itu memang berada di bawah naungan Kodam IV/Diponegoro, tapi dikelola sebuah perusahaan swasta sebagai pihak ketiga. Begitu kata seorang berseragam loreng yang tengah terduduk di depan pintu dengan plang bertuliskan: Kantor Pengelola Stadion. Ia pula yang lantas memanggilkan salah satu pengurus yang ia sapa Pak Muh.
“Iya, saya yang mengelola di sini. Ini memang milik Kodam IV. Sudah sekitar empat tahun ini dikelola (pihak ketiga),” ujar Muhammad Suyatno memperkenalkan diri.
Baca juga: Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I)
Beruntung Pak Muh, sapaan Suyatno, bersedia mengantar untuk keliling stadion. Cukup dua-tiga langkah sudah membuat suasana bak melalui lorong waktu karena waktu seakan terhenti di stadion ini.
Baik bentuk tribun, atap rangka baja yang masih kokoh meski dengan seng yang sudah gompal-gompal, maupun velodrome (lintasan sepeda) yang mengelilingi lapangannya seakan menceritakan seluk-beluk stadion sejak eksis pada era kolonial. Pak Muh mengklaim segenap bangunannya masih asli.
“Memang sudah dari zaman Belanda,” terang Pak Muh meski dia tak begitu paham stadion ini dibangun tahun berapa. “Sudah masuk (kategori) cagar budaya juga. Hampir setiap tahun masih dikunjungi orang dari cagar budaya untuk melihat-lihat.”
Meski begitu, gairah sepakbola nyaris luntur di stadion yang resmi berdiri pada April 1934 ini. Klub kebanggaan masyarakat kota Semarang, PSIS, dari masa ke masa kerap bergonta-ganti markas. Dari Stadion Sidodadi, Stadion Citarum, hingga Stadion Jatidiri yang lebih modern.
Sebagaimana Stadion Kridosono di Yogyakarta, Stadion Diponegoro di kota berjuluk “Venetie van Java” ini belakangan lebih sering dijadikan venue konser musik. Sedikit geliat olahraga yang masih tersisa yakni stadion tersebut dijadikan tempat latihan atletik dan latihan serta kompetisi balap sepeda seperti Custom Cycling Championship pada akhir Juli 2024 lalu.
“Ini (velodrome) juga sudah lama dan masih bentuk aslinya. Yang di Jawa Tengah hanya dua saja, di Solo dan Semarang. Kemarin-kemarin masih untuk lomba dan kegiatan (balap) sepeda masih dipakai terus,” terang Pak Muh.
Baca juga: Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II)
Stadion yang Menyambut Bapak Pandu Dunia
Mesti tidak banyak sumber yang menyebut tentang riwayat stadion yang mulanya bernama “Stadion Semarang” itu, penggiat sejarah Johanes Christiono punya sedikit cerita itu. Menurutnya, stadion itu sudah berdiri ketika “Bapak Pandu Dunia” Jenderal (Purn.) Lord Baden-Powell datang berkunjung ke Semarang pada awal Desember 1934.
“Yang pasti stadionnya dibangun sebelum 1934 karena waktu Baden-Powell datang ke Semarang tahun 1934 ia disambut di Stadion Semarang itu,” ujar Christiono, jurnalis senior harian Suara Merdeka era 1980-an, kepada Historia.ID.
Mengutip suratkabar De Locomotief edisi 6 Desember 1934, Semarang jadi salah satu tujuan Baden-Powell dalam persinggahannya menuju Melbourne, Australia. Selain Semarang, Baden-Powell ditemani istrinya juga singgah di Batavia (kini Jakarta) dan Surabaya. Kedatangannya ke Semarang dengan kapal SS Marella disambut para petinggi pemerintahan dan organisasi kepanduan Hindia Belanda, di antaranya Dr. Van Rijn, Nyonya Van Ewijk, hingga burgemeester (walikota) Semarang Mr. A. Bagchus.
“Yang disayangkan hanya anak-anak Belanda yang dimunculkan. Anak-anak (kepanduan) bumiputera disembunyikan. Maklum masuk masa kekuasaan Belanda. Menilik dokumentasi foto yang ada, tertulis jelas nama stadionnya, ‘Stadion Semarang’. Setelah masa kemerdekaan menjadi ‘Stadion Diponegoro’,” imbuh penulis buku Semarang dalam Lorong Waktu (2020) tersebut.
Baca juga: Kawasan Gelora Bung Karno untuk Publik
Christiono juga membagikan salinan arsip peta lama kota Semarang tahun 1930 dan sudah terdapat gambar stadion yang berada tak jauh dari kawasan Simpang Lima itu. Ketika ditelisik lebih dalam, pembangunan stadion beserta fasilitas olahraga lain rupanya memang sudah masuk dalam rencana lanjutan pembangunan kota Semarang di akhir 1920-an. Adapun fase pertama pengembangan kota yakni usai Semarang mendapat status gemeente pada 1906.
“Sejak tahun 1906, kota Semarang telah resmi menjadi gemeente (kota praja) yang memiliki wewenang dan otonomi pemerintahan kota sendiri. Sejak itulah pembangunan fisik kota mengalami perkembangan sangat menonjol. Stadion Semarang memiliki velodrome, unik pada zamannya,” kata buku Pasukan T Ronggolawe: Perjalanan Sejarah Sekelompok Pemuda Pelajar Semarang.
Kala itu, menurut pamong budaya ahli pertama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X (BPK wilayah X/DI Yogyakarta dan Jawa Tengah) Indra Fibiona, kota Semarang sebagai kota yang tengah berkembang untuk menjadi kota industri maju memang memerlukan pusat kawasan olahraga sebagai fasilitas publik. Tentu fasilitas publik ini untuk memenuhi kebutuhan warga kulit putih.
Baca juga: Belantara-Rawa yang Sukses Jadi Kota Olahraga
“Pemerintah kolonial di Semarang menunjukkan komitmen terhadap modernitas dan infrastruktur yang mendukung kehidupan urban. Stadion ini tidak hanya melambangkan upaya revitalisasi kota tetapi juga memperkuat posisi Semarang sebagai pusat industri dan budaya yang progresif dengan menyediakan ruang untuk aktivitas olahraga dan rekreasi yang penting,” ujarnya saat dihubungi Historia.ID.
Hal itu berkelindan dengan laporan suratkabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië edisi 27 September 1928. Saat itu Gemeente Semarang sudah mewacanakan pembangunan kawasan olahraga sebagaimana yang lebih dulu ada di Malang, Jawa Timur. Gagasan itu datang dari NV Tropical yang merupakan perkumpulan olahraga sepeda, di masa itu Hindia Belanda mulai dijangkiti demam olahraga sepeda.
“Perkumpulan ini sudah sempat menghubungi sejumlah konglomerat di lingkaran olahraga Semarang. Mereka berniat ingin menggelar kompetisi olahraga yang tak hanya menjadi wadah olahraga sepeda tapi juga sepakbola, atletik, senam, serta balap motor,” tulis suratkabar tersebut.