SUATU hari pada November 1939 di Bashkiria, Uni Soviet, Agustín Gómez de Segura Pagóla masih sibuk mengikuti penataran di sekolah intelijen khusus. Ketika anak-anak pegungsi Basque lain yang ditampung di Eropa Barat sudah direpatriasi pasca-Perang Saudara Spanyol (1936-1939), Gómez jadi satu dari ribuan anak-anak eksil Basque yang tak bisa ikut dipulangkan karena kebijakan diktator Soviet Josef Stalin.
Lahir di Errenteria di wilayah Basque, Spanyol pada 18 November 1922 dari orangtua loyalis kiri dan pemerintah Republik Spanyol, Gómez terpaksa dievakuasi keluar Spanyol menjelang kota Bilbao direbut pasukan pemberontak Nasionalis pimpinan Francisco Franco medio 1937. Pemerintah Basque pun meminta pertolongan pada negara-negara lain untuk mengirim kapal-kapal dan menampung ribuan anak pengungsinya.
Prancis, Inggris, Meksiko bahkan Soviet membuka pintu bagi para pengungsi itu. Salah satunya lewat evakuasi dengan kapal SS Habana yang berangkat dari Bilbao menuju Bordeaux, Prancis pada Juni 1937. Dari Prancis, ribuan anak dibawa lagi untuk ditampung ke Inggris hingga Meksiko, dan hampir 1.500 lainnya dikirim ke Soviet yang kemudian rombongan anak-anak pengungsi ini disebut Niños de Rusia. Gómez adalah salah satunya.
“Pada 1937 di usia 15 tahun, ia (Gómez) ikut dievakuasi dalam ekspedisi 1.489 anak-anak pengungsi yang dikirim pemerintah Basque ke Uni Soviet untuk melarikan diri dari perang. Ia datang hanya dengan pakaian yang ia kenakan tanpa bisa bicara satu pun kata bahasa Rusia dan tanpa mengerti konflik yang ia tinggalkan di negerinya,” tulis Mitxel Ezquiaga di kolom majalah Oarso no. 27 tahun 1992, “Agustin Gomez de Segura, El Vasco Legendario”.
Baca juga: Teror di Negeri Matador
Berkat keterikatan Partai Komunis Spanyol PCE dan Soviet dalam Comintern (Komunis Internasional), pemerintah Stalin menyediakan hingga 16 asrama Casa de Niños yang tersebar di beberapa kota dari ibukota Moskow hingga wilayah Odessa dan Ukraina. Selain menerima pendidikan serupa dengan anak-anak Soviet, mereka masih diperbolehkan beraktivitas olahraga sebagai pelepas penat.
Gómez cukup menonjol dalam sepakbola di lingkungan asramanya di Odessa. Sebelum mengungsi ia sudah sering bermain sepakbola jalanan. Tak ayal ia sering diajak ikut tanding sepakbola seiring agenda tamasya ke Obninsk dekat ibukota Moskow.
“Kami anak-anak yatim korban perang sering dibawa tamasya ke ibukota. Kami bermain sepakbola di Obninsk dengan para kompatriot Basque. Di sanalah saya pertamakali bertemu Gómez. Ia begitu menonjol dengan ketenangan dan keterampilannya,” kenang Ruperto Sagasti dikutip Yuri Petrov di kolom mingguan Futbol, no. 48 tahun 1995, “Red Square Agustin Gomez”.
Baca juga: Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid
Tetapi seiring perubahan situasi menjelang Perang Dunia II (PD II) dengan naiknya pemerintahan fasisme Franco di Spanyol, Soviet kian ketat mengawasi anak-anak pengungsi itu. Bahkan ketika Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa memulangkan anak-anak pengungsi itu ke Spanyol mulai musim panas 1939, hal yang sama tak dialami anak-anak eksil di Soviet.
Gómez dan Sagasti jadi sedikit dari anak-anak itu yang akhirnya memilih bergabung ke Tentara Merah ketika PD II pecah sembari meniti karier sepakbola di klub amatir Krasnaya Roza. Jika Sagasti ditugasi ke unit brigade senapan bermotor, Gómez dikirim ke sekolah intelijen.
“Sebelum menjadi pemain bintang berdarah Spanyol di Soviet dan jadi figur masyhur di Partai Komunis Spanyol, Gómez sempat dikirim ke sekolah intelijen khusus di bawah naungan Comintern selama Perang Dunia II di Bashkiria,” tulis Sergey Brilev dalam artikel “A Football Player, A Party Man, A Spy? Some Touches to the Portrait of Agustin Gomez” di jurnal Latinskaya Amerika edisi ke-3, tahun 2020.
Baca juga: Sepakbola Soviet Era StalinAntara Sepakbola dan Telik Sandi
Posturnya tidaklah tinggi, hanya 169 cm. Namun, ia terbukti mampu jadi tembok tangguh di lini pertahanan sebagai bek kiri setiap tim yang dibelanya. Setelah mengurai simpul kariernya di tim amatir Krasnaya Roza dan kemudian Krylya Sovetov Moskva, ia memetik kebintangannya di FK Torpedo Moskva mulai 1947, tak lama setelah “dinaturalisasi”.
“Selama ia di Moskow sejak bermain untuk Krylya Sovetov pun gemuruh tepuk tangan penonton selalu tertuju untuk Gómez. Ia adalah gabungan antara pria sejati dan pemain cerdas di lapangan. Kemudian jalan kami terpisah. Ia direkrut Torpedo Moskva, sementara saya ke Spartak (Moskva) bersama Sagasti,” kenang Nikita Simonyan dikutip Petrov.
Gómez memang tak pernah tercatat menyumbang gol. Tapi ketenangan dan kepemimpinannya membawanya dipercaya jadi kapten dan sukses membawa Torpedo Moskva dua kali merengkuh trofi Piala USSR (1949 dan 1952). Ia lalu diikutsertakan ke timnas Soviet di Olimpiade 1952 Helsinki hingga menerima Merit Master of Sport of the USSR di tahun yang sama.
Tetapi kian melejitnya nama Gómez juga membuat dinas intelijen Soviet KGB meliriknya. Terlebih, di masa perang ia sudah dididik intelijen khusus.
“Bekerja jadi telik sandi membuatnya terpaksa absen di musim (Soviet Top League) 1954. Dengan Soviet membangun tirai besi di Eropa Timur pasca-Perang Dunia II, Gómez dan beberapa agen lain dikirim ke Venezuela dan beberapa negara Amerika Selatn lain dengan nama samaran untuk mengorganisir dan mendukung partai-partai komunis,” ungkap Carles Vila Rovira di kolom Historias de Outsiders, 8 April 2022, “Agustín Gómez Pagola: El futbolista español del KGB”.
Baca juga: Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah
Namun dengan catatannya sudah menjadi warga negara Soviet dan mantan eksil itulah yang dipermasalahkan otoritas Spanyol ketika Gómez di usia 34 tahun “mudik” ke Spanyol medio 1956 dalam rangka memenuhi undangan trial di Real Madrid. Ia kembali ke Spanyol dengan kapal SS Krimea berbarengan dengan sejumlah bekas anak-anak pengungsi lain yang akhirnya diperbolehkan direpatriasi kembali pasca-Stalin wafat.
“Repatriasi ke Spanyol mulai dilakukan pada 1956 dan dalam setahun berikutnya hampir setengah dari para niños kembali ke daerah asalnya masing-masing. Tapi mereka diperlakukan dengan buruk akibat kecurigaan otoritas Spanyol dalam banyak hal,” tulis Lewis H. Siegelbaum dan Leslie Page Moch dalam Making National Diasporas: Soviet-Era Migrations and Post-Soviet Consequences.
Ketika tiba di Pelabuhan Castellón pada Oktober 1956 bersama istri dan anak-anaknya, Gómez jadi sasaran screening ketat aparat polisi. Tapi karena terindikasi komunis, Real Madrid yang dekat dengan rezim Franco batal mengundangnya untuk uji coba.
Tetapi Gómez belum pasrah dengan karier sepakbolanya. Ia sempat diterima tim ibukota lainnya, Atlético Madrid. Namun, kemudian tekanan publik membuat manajemen klub harus melepasnya setelah hanya sekali berseragam rojiblancos (merah-putih) di laga persahabatan kontra tim Jerman Fortuna Düsseldorf di Stadion Metropolitano, 8 Desember 1956.
Baca juga: Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu
Sorakan dan cacian terdengar di stadion bukan karena performanya yang buruk atau kesalahannya saat memainkan bola tapi karena kebencian atas apa yang mewakili imejnya sebagai orang Basque dan komunis yang baru pulang dari Uni Soviet. Kariernya sebagai pesepakbola pun tamat.
“Gómez akhirnya kembali ke San Sebastián dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan mesin listrik. Memang ia sudah pensiun sebagai pemain tapi ia masih menyambi jadi staf pelatih di tim kecil,” sambung Ezquiaga.
Gómez beralih ke tepi lapangan jadi staf pelatih di Real Unión dan kemudian Tolosa FC. Di klub terakhir inilah ia sempat melatih Periko Alonso, ayah dari bintang legendaris timnas Spanyol Xabi Alonso.
Baca juga: Berkah Xabi Alonso dan Momentum Bayer Leverkusen
Tetapi rupanya pekerjaan sebagai pegawai perusahaan mesin listrik dan staf pelatih sekadar jadi cover aktivitas Gómez sebagai pengurus PCE. Setelah aktivitas kirinya tepergok aparat, Gómez diciduk di Donostia dan ditahan di Penjara Carabanchel di Madrid.
Penyiksaannya di penjara jadi sorotan dunia internasional. Tekanan-tekanan internasional, terutama dari Soviet, membuat rezim Franco membebaskannya dan mengasingkannya ke Prancis. Namun menariknya, kevokalan Gómez soal invasi Soviet ke Cekoslovakia pada 1968 membuatnya berfriksi dengan para petinggi PCE lain hingga Gómez dipecat pada 1969.
Maka setelah karier sepakbolanya tamat dan karier politiknya juga kemudian habis, Gómez memilih kembali ke Soviet dan menghabiskan hidupnya bekerja di sebuah pabrik truk Avtozavod. Penyiksaannya di Madrid kemudian menimbulkan dampak pada kesehatannya yang terus menurun hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Moskow pada 16 November 1975 atau empat hari sebelum diktator Franco wafat.
“Saya mendengar kabar kematiannya ketika menemani timnas (sepakbola) Olimpiade di Australia. Kesehatannya memburuk sebagai dampak luka di kepala selama interogasi dan penyiksaannya. Ia dimakamkan di Permakaman Danilovskoye dengan dilepas ratusan buruh Avtozavod serta para kerabatnya,” tandas Simonyan.
Baca juga: Paul Breitner si Pemain Kiri