PASCA-wafatnya Ricky Yacobi pada Sabtu, 21 November 2020, hampir semua media serempak menyematkan julukan “Paul Breitner dari Indonesia” kepadanya dalam obituari-obituari mereka. Namun, julukan yang populer di publik sepakbola Indonesia itu tak berlaku bagi eks-pemain dan pelatih Persiba Balikpapan berdarah Jerman, Timo Scheunemann.
“Dia (Breitner) gelandang, beda dengan Bang Ricky. Tidak mirip sama sekali. Mungkin karena (gaya) rambut panjang,” ujar Timo singkat kepada Historia.
Menurut Irfan Sudrajat, pemerhati sepakbola dari TopSkor, publik mendekatkan Ricky Yacobi dengan Paul Breitner tak lain karena sama-sama punya spesialisasi tendangan jarak jauh. Utamanya lewat gol ikonik Ricky lewat tendangan voli ke gawang Uni Emirat Arab di perempatfinal Asian Games 1986. Breitner juga acap menorehkan gol dari jarak jauh semasa membela Bayern Munich, Real Madrid, serta Timnas Jerman Barat sepanjang kariernya pada 1970-1983.
“Hal lainnya, jika melihat rekam pengakuan para mantan bintang Indonesia, dari sosoknya, baik itu postur, gayanya dengan rambut sedikit panjang, serta karakternya yang tegas dan keras seperti yang diungkapkan sejumlah legenda hidup, ada kesamaan. Tampaknya ketika itu mereka langsung teringat dengan Brietner ketika melihat Ricky Yacobi,” ungkap Irfan via pesan singkat.
Baca juga: Gol Terakhir Ricky Yacobi
Irfan melihat fenomena penjulukan pemain dengan pemain lain tak lebih dari puncak kekaguman yang bersumber dari peran si pemain dalam sepakbola Indonesia. Ricky Yacobi hanya satu di antaranya.
“Kita seringkali memberikan kesan terhadap seorang yang membuat kita kagum dari sudut pandang berbeda. Bagi generasi muda, untuk mengungkap julukan ‘Breitner-nya Indonesia’ saja, kita harus kembali ke era kariernya, suasananya, kesaksian para legenda hidup. Mungkin kita tidak akan benar-benar bisa mendapatkan poin yang tegas antara Ricky dan Brietner. Tapi kita semua senang dengan julukan itu dan bangga bahwa kita pernah memiliki Ricky Yacobi,” tandasnya.
Breitner di Persimpangan Kiri Jalan
Sebagaimana karakter banyak pesepakbola Jerman, sikap tegas dan keras jadi ciri Breitner yang lahir di Kolbemoor, Bavaria, Jerman Barat (Jerbar) pada 5 September 1951. Karakter itu sudah ditunjukkannya sejak meniti karier di klub junior SV-DJK Kolbermoor dan ESV Freilassing pada 1957.
Ditambah kecakapannya mengolah si kulit bundar, sikap itu membuatnya direkrut Bayern Munich pada 1970. Prestasi Breitner sepanjang berseragam Bayern (1970-1974 dan 1978-1983) bukan “kaleng-kaleng”. Ia turut mempersembahkan lima gelar Bundesliga, dan satu European Cup (kini Liga Champions). Prestasi itu dia pertahankan ketika di Real Madrid (1974-1977). Dua titel La Liga dan satu trofi European Championship (Euro) 1972 turut dia persembahkan.
Di timnas (1968-1982), Breitner ikut serta membawa Jerbar menjuarai Piala Dunia 1974. Buat Breitner pribadi, FIFA mengakuinya sebagai satu dari tiga pemain yang mampu mencetak gol di dua final berbeda selain Vavá dan Pelé ( di kemudian hari ditambah Zinedine Zidane).
Baca juga: Zidane dan Lima Muslim Pionir Sepakbola Prancis
Namun di balik beragam gelar itu, kisah bek dan sayap kiri legendaris itu sarat kontroversi. Semua bersumber dari pemikirannya di luar sepakbola. Tumbuh di era 1960-an, Breitner mengaku tidak bisa bersikap apatis terhadap situasi politik di negerinya.
Era di mana Breitner tumbuh diwarnai dengan tingginya tensi Perang Dingin, masifnya aksi 68er-Bewegung atau gerakan pelajar beraliran kiri pada 1968, munculnya teror Rote Armee Fraktion (RAF) sebagai dampak dari penentangannya terhadap otoritarianisme pemerintah federal Jerman Barat, dan reinkarnasi golongan sayap kanan seiring berdirinya Nationaldemokratische Partei Deutschlands (NDP). Realitas itu membuat Breitner bersimpati pada gerakan perlawanan. Dia bahkan mengidolakan dua tokoh revolusioner kiri, Mao Zedong dan Ernesto ‘Che’ Guevara.
“Saat berusia 16 tahun, kematian Che Guevara memberikan dampak besar terhadap saya. Kejadian itu menjadi fase yang sangat penting bagi perkembangan (pemikiran) saya,” ujar Breitner saat diwawancara The New York Times awal 1970-an, dikutip ESPN, 2 Oktober 2012.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Akibatnya, Breitner acap membawa simbol sikap politik kirinya ke lapangan. Menurut Michael Herron dalam Holding the Line: 25 Great Defenders and How They Changed Football, selain selalu memajang gambar Che Guevara di kamarnya, Breitner acap membawa buku saku merah Ketua Mao saat latihan. Dia tak peduli teguran dari ofisial klub maupun timnas.
“Walau Breitner tak secara langsung terlibat aktivitas politik atau dengan partai politik apapun, dia selalu lantang melontarkan opini terkait isu-isu sosial. Hal ini menimbulkan kemarahan sejumlah fans Jerman, utamanya mereka yang menjadi klub rival Bayern,” tulis Herron.
Baca juga: Sepp Herberger dan Bayang-bayang Nazi
Hal itu antara lain ditunjukkannya ketika diwawancara Die Zeit, 7 Juli 1972. Kepada reporter dia tak segan memberi jawaban provokatif.
“Siapa yang paling Anda kagumi?” tanya reporter.
“Mao (Zedong),” jawab Breitner.
“Buku apa yang Anda baca?”
“(Karl) Marx.”
“Apa keinginan terbesar Anda?”
“Kekalahan Amerika di (perang) Vietnam.”
Breitner tak pernah menyesali sikap itu hingga masa senjanya.
“Saya tertarik dengan gagasan-gagasan Mao dan Che Guevara tetapi saya bukan seorang Maois atau komunis. Sebagai anak muda saya harus punya minat untuk belajar, untuk berbuat kesalahan dan untuk melakukan hal yang lebih baik,” aku Breitner kepada The Sun, 7 Mei 2018.
Jiwa Bebas
Rambut gondrong dan brewok lebat bak tokoh revolusioner kiri idolanya, Che Guevara, menjadi cermin dari jiwa bebas Breitner. Jiwa bebas itu juga terbawa ke dalam sepakbola. Breitner kerap bentrok dengan para petinggi Bayern karena tak setuju dengan kebijakan mereka yang ingin para pemain bersikap penuh wibawa.
Ulrich Hesse dalam Tor! The Story of German Football mengisahkan, ketika klub tengah menggelar pesta perayaan gelar juara Bundesliga musim 1972-1973, Breitner bereuforia seenak perutnya. Ia menari sambil bugil dekat kolam renang seiring dentuman musik di pesta itu. Kelakuannya itu terekam kamera fotografer dan tersebar luas. Presiden klub Wilhelm Neudecker yang dibuat malu langsung mendampratnya, mendenda besar, hingga melontarkan niatnya ingin menjualnya ke klub lain.
Breitner jelas tak suka atas respon pimpinan. Dia memprotes, sebagaimana dikutip Hesse, “Di klub sialan ini, mereka bahkan tak bisa merayakan dengan bersenang-senang.”
Hasrat menjadi manusia bebas pula yang membuat Breitner pernah berusaha mangkir dari wajib militer Bundeswehr. Tindakan itu diambilnya sebagai protes karena sebelumnya Breitner mendapat jaminan dari manajer Bayern, Robert Schwan, bahwa dia takkan dipanggil wajib militer.
“Schwan memastikan bahwa saya tak harus wajib militer ke Bundeswehr. Namun kemudian tiba-tiba saya diwajibkan dan saya menentangnya,” kenang Breitner kepada Bild, 3 September 2011.
Baca juga: Fritz Walter dari Perang Dunia ke Piala Dunia
Penolakan wamil itu membuat Breitner berurusan dengan aparat. Urusan itu lebih dari sekadar pemanggilan ke kantor berwajib.
“Saya tinggal satu apartemen dengan (rekan setim) Uli Hoeneß, dan ketika polisi militer datang jam dua pagi, Uli yang menahan mereka di pintu dan saya kabur ke gudang batubara bawah tanah untuk bersembunyi. Selama beberapa malam mereka selalu datang. Akhirnya mereka memasang poster ‘buronan’ bergambar saya dan saya bisa ditangkap di ketika di jalan. Jadi akhirnya saya memilih masuk barak,” tambahnya.
Breitner terpaksa ikut latihan dasar kemiliteran selama beberapa pekan. Itu mengakibatkannya harus absen di beberapa pertandingan Bundesliga. Tetapi kemudian manajemen Bayern bisa bernegosiasi untuk menariknya dari barak lantaran jelang satu pertandingan, Bayern tengah krisis pertahanan.
“Setelah pertandingan, mood saya membaik dan saya menghampiri Robert Schwan untuk bicara bahwa dia harus mengatur beberapa hal dengan Bundeswehr –kalau tidak, saya akan bicara kepada pers tentang hal itu. Lantas esoknya semua urusannya sudah beres,” lanjut Breitner.
Baca juga: Legenda Indonesia yang Ingin seperti Beckenbauer
Meski dikenal sebagai simpatisan kiri dan berjiwa bebas, keputusan Breitner tetap sering kontradiktif. Bukti paling nyata yakni ketika dia menerima pinangan Real Madrid pada 1974. Madrid dikenal sebagai klub kesayangan diktator Spanyol Francisco Franco, lawan politik utama kaum kiri.
Di Madrid pula laku Breitner berubah menjauh dari laku ideal kaum kiri yang sama rata sama rasa. Dengan gaji 800 ribu dolar Amerika per tahun, jauh di atas 300 ribu deutsche mark yang diterimanya dari Bayern, taraf kehidupan Breitner melesat. Makin lama gaya hidupnya kian berdekatan dengan hedonisme dan kemauan pasar. Breitner membeli rumah dan mobil mewah, main film Montana Trap (Potato Fritz) pada 1976, hingga menjadi bintang iklan berbagai produk, mulai dari rokok hingga waralaba restoran cepat saji Amerika McDonald’s.
Kontradiksi dari sikap Breitner itu antara lain ditunjukkannya ketika, menjelang Euro 1982, menerima tawaran membintangi iklan produk kosmetik. Dia dibayar 150 ribu deutsche mark untuk mencukur brewoknya menggunakan produk dan alat kosmetik itu. Padahal, sebelumnya brewok itu bersama rambut gondrongnya jadi penanda bahwa ia sosok pemberontak.
“Brewok saya bukan menjadi hal yang sangat penting buat saya. Saya memeliharanya hanya karena istri saya menyukainya,” kata Breitner berkilah.
Semenjak gantung sepatu pada 1983, Breitner lama menghilang dari panggung sepakbola. Baru pada 1998 namanya mencuat lagi ketika ditunjuk jadi pelatih Timnas Jerman. Namun, karier kepelatihannya itu hanya berumur 17 jam karena dia bertikai hebat dengan sejumlah ofisial timnas. Sejak itu hingga kini, Breitner lebih sering muncul sebagai komentator di beberapa stasiun TV dan kolumnis suratkabar.
Baca juga: Breitner dan Jajaran Pesepakbola di Layar Perak