Ironi Pendiri McDonald's dalam The Founder
Intrik dan kontroversi bisnis di balik kondangnya resto cepat saji McDonald’s diangkat ke layar perak bertajuk “The Founder”.
SAMBIL menggendong mixer atau pengaduk otomatis milkshake nan berat, Ray Kroc (diperankan Michael Keaton) berusaha “menjahit” kata-katanya demi meyakinkan seorang pemilik restoran drive-in agar mau membeli alat dagangannya itu. Semua jurus bujuk rayunya sebagai salesman senior pun dikerahkannya. Sial, mixer bermerk White Castle-nya itu tak jua laku.
Silat lidah Kroc menjajakan mixer itu mentah oleh beberapa pemilik restoran di Negara Bagian Illnois. Di medio 1951 itu, alat yang dijajakan Kroc belum familiar digunakan restoran-restoran drive-in. Alhasil Kroc selalu pulang dengan langkah gontai dan pikiran kusut.
Namun, suatu hari, Kroc mendapat telepon dari Richard ‘Dick’ McDonald (Nick Offerman), pengusaha restoran cepat saji di San Bernardino, California. Di ujung telepon, Dick memesan enam mixer sekaligus minta diantarkan langsung ke tempatnya. Kroc sempat ragu, namun akhirnya ia pun mencoba peruntungannya membawa sendiri alat-alat itu. Tak disangka, perjalanan darat sejauh hampir dua ribu mil melewati lima negara bagian itu bakal mengubah masa depannya.
Lewat adegan-adegan itulah sutradara John Lee Hancock membuka film biopik bertajuk The Founder. Film ini mengisahkan bagaimana “kerajaan” franchise McDonald’s bermula dari sekadar restoran kecil di pesisir barat Amerika Serikat.
Bermula dari pesanan mixer untuk milkshake itulah Kroc berkenalan dengan dua bersaudara: Dick dan Maurice ‘Mac’ McDonald (John Carroll Lynch). Kroc terkesima dengan cara restoran hamburger seharga 15 sen dolar itu beroperasi. Tidak hanya soal cita rasa burger yang ia jajal, namun juga dengan kecepatan penyajian pesanannya.
Tak pernah ia melihat restoran dengan sajian pesanan secepat 30 detik di manapun, apalagi jika membandingkan dengan restoran-restoran drive-in yang ditemui Kroc sebelumnya. Sudah lelet penyajiannya, sering tak sesuai pesanannya pula.
Kroc yang terkagum-kagum, diajak tur operasional restoran McDonald’s itu. Ia mendapati rahasianya, yakni efisiensi yang ditopang dua faktor: Pertama, menu sederhana di mana McDonald’s hanya menyajikan burger, kentang goreng, dan soft drink. Hal itu berpengaruh juga pada faktor Kedua, yakni “Speedee Service System” atau sistem operasional ekstra cepat. Jadi kalaupun konsumennya mengular, mereka tak perlu menunggu lama karena punya standar pelayanan berdurasi 30 detik per pesanan.
Kroc lantas mengajukan ide agar McDonald’s membuka franchise. Tetapi ide itu ternyata sudah pernah dijalankan Dick dan Mac yang berujung kegagalan. Perkara utamanya adalah quality control. Tetapi Kroc tak menyerah. Ia mengaku punya solusi untuk itu. Kroc bahkan rela menggadaikan rumahnya untuk memodali franchise McDonald’s lewat perjanjian hitam di atas putih dengan Dick dan Mac.
Bagaimana kelanjutannya? Seperti apa intrik-intrik culas namun sukses yang dilakoni Kroc hingga franchise McDonald’s berkembang pesat tak hanya karena bisnis kuliner tapi juga properti? Jauh lebih asik Anda tonton sendiri The Founder, yang sebetulnya sudah rilis pada 20 Januari 2017 namun hanya bisa disimak sebagai tontonan di rumah akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) imbas pandemi corona, di layanan daring berbayar Netflix dan CATCHPLAY+.
The Founder bisa jadi suguhan pas untuk memuaskan diri tanpa harus melanggar PSBB. Tak hanya memanjakan dengan suasana era 1960-an sebagai latarbelakang, The Founder juga cermat menyajikan set gambar dan properti yang detail. Lebih jauh, iringan music scoring retro Carter Burwell juga membangkitkan nostalgia.
Dari Kedai Hotdog hingga Kerajaan Fast Food
Nostalgia serupa, meski berwajah beda, yang dirasakan ratusan pelanggan setia McDonald’s Sarinah saat membuat kehebohan dengan seremoni penutupan McD tertua itu pada 10 Mei 2020, tak peduli di ibukota tengah diberlakukan PSBB. Hampir setiap pelanggan punya kenangan masing-masing.
Alhasil, pengelola outlet McDonald’s pertama yang beroperasi sejak 14 Februari 1991 itu didenda Rp10 juta karena melanggar Pergub DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam penanganan COVID-19.
Baca juga: McDonald's Sarinah Akhirnya Punah
Yang tak disajikan secara mendetail The Founder adalah bagaimana dua bersaudara Dick dan Mac McDonald pontang-panting membangun restoran fast food kondang itu dari nol. Mengutip Marcia Chatelain dalam Franchise: The Golden Arches in Black America, bisnis kuliner dua bersaudara itu merupakan warisan dari ayahnya, Patrick McDonald sejak 1937.
“Patrick McDonald membuka kedai ‘The Airdrome’ dekat Bandara Monrovia, California sejak 1937. Ia menyajikan paketan hotdog dan jus jeruk yang dibanderol 10 sen. Menu burger jadi tambahan dalam paketan senilai sama di kemudian hari,” tulis Chatelain.
Tiga tahun berselang, bisnis itu diwariskan kepada Dick dan Mac yang kemudian mengumpulkan modal untuk membangun sebuah restoran barbecue. Dick dan Mac memulainya pada 1940 di San Bernardino, California dengan restoran bernama “McDonald’s Bar-B-Que” dengan 25 pilihan menu.
Restoran itu kurang moncer dan baru pada Oktober 1948 Dick dan Mac menyadari bahwa mereka terlalu banyak menyajikan pilihan menu sehingga berimbas pada terbuangnya bahan-bahan baku sejumlah menu yang tak laku. Selain itu, lamanya waktu penyajian bikin para pelanggan tak sabar.
“Pada 1948 itulah McDonald bersadara menyadari bahwa ternyata produk mereka yang paling laris hanya menu burger. Mereka juga mengubah konsep restorannya dari restoran drive-in atau carhops menjadi restoran cepat saji dengan model ‘Speedee Service System’,” ungkap Quentin R. Skrabec dalam The 100 Most Significant Events in American Business: An Encyclopedia.
“Sistem servis itu membatasi menu hanya berupa burger, kentang goreng, susu kocok dan soft drinks. Mereka meminjam sistem cepat saji itu dari pionir yang juga pemilik resto cepat saji White Castle, Walter Anderson. Tetapi McDonald’s bersaudara mendesain ulang dapur mereka yang sama sekali berbeda dari White Castle untuk mendongkrak kecepatan dalam hal persiapan pesanan,” lanjutnya.
Setelah berkenalan dan bekerjasama dengan Kroc pada 1951, resto cepat saji itu mulai diglobalkan. Kroc juga memasukkan McD ke pasar saham sehingga dia bisa lebih leluasa mencari investor.
Lewat sejumlah program pemasaran yang ia buat, McDonald’s sudah punya 100 outlet di dalam negeri pada 1959. “Pertumbuhan demografi di sejumlah kawasan pinggiran kota juga jadi faktor yang membantu franchise McDonald’s. Namun di sisi lain, Kroc dan McDonald bersaudara mulai berselisih sampai pada 1961 Kroc berhasil memaksa McDonald bersaudara menjual hak franchise-nya senilai USD2,7 juta,” imbuhnya.
Setelah jual-beli di atas kertas itu, Kroc bersaing dengan McDonald bersaudara. Kroc dengan cepat membenamkan bisnis mereka. Resto McDonald’s di San Bernardino yang didirikan McDonald bersaudara, tak lagi jadi resto nomor satu. Kroc mengklaim resto McDonald yang ia dirikan di Des Plaines, Illnois pada April 1955 sebagai resto nomor satunya, yang tetap mempertahankan nama franchise McDonald’s-nya.
“Namanya tetap akan jadi milik mereka dan saya yakin 100 persen nama itu sangat mudah untuk dipromosikan. Buat saya, rasanya nama itu catchy buat publik. Saya juga punya intuisi yang kuat bahwa nama McDonald’s sudah sangat pas. Saya tak bisa menggantinya,” aku Kroc dalam bukunya, Grinding It Out: The Making of McDonald’s.
Soal logo, mulanya McDonald’s menggunakan ilustrasi kartun seorang koki yang wajahnya mirip Mac McDonald tengah memegang papan harga “15¢”. Pada 1962, logo itu digantikan logo baru berupa sepasang gerbang lengkung emas (The Golden Arches) yang bersinggungan hingga membentuk huruf “M”.
“The Golden Arches” sejatinya bermula dari cetak biru desain gedung baru rancangan Dick McDonald, namun belum kesampaian, termasuk ketika mereka berkenalan dengan Kroc pada 1951. Desain itu pertamakali digunakan pada bangunan franchise McDonald’s di Phoenix, Arizona pada Mei 1953.
Ketika Fred Turner, bawahan Kroc, diperintah mengerjakan desain baru pada 1962, ia membuat sketsa berbentuk huruf “V”. Sketsa itu lalu disempurnakan Jim Schindler, kepala Teknisi dan Desain McDonald’s Corporation, dengan menambahkan dua garis sehingga membentuk huruf “M” sebagaimana yang digunakan hingga zaman kiwari.
Baca juga: Kriuk Sejarah Kerupuk
Hal terakhir yang membuat McDonald’s mengglobal adalah maskotnya, Ronald McDonald. Maskot itu berupa badut ramah berambut merah dan mengenakan kaos bergaris putih-merah dibalut jumpsuit kuning. Sebagai penguat identitas selain logo “M”, patung Ronald wajib dihadirkan di setiap franchise McD. Meski Ronald sering tampil ditemani maskot lain seperti The Hamburglar, Mayor McCheese, Birdie the Early Bird, dan The Fry Kids, karakter Ronaldlah yang diakui paling merepresentasikan McDonald’s. Ronald bahkan jadi karakter kedua yang paling dikenal anak-anak di Amerika setelah Sinterklas.
Ronald diklaim sebagai ciptaan Willard Scott. Ia presenter radio asal Washington DC yang juga acap nongol sebagai performer program anak-anak “Bozo the Clown” di WRC-TV. Dalam otobiografinya, Joy of Living, Scott sebagai badut Bozo sering diminta tampil di iklan pada tiga televisi yang dipasang franchise McDonald’s area Washington DC milik Oscar Goldstein.
“Saat itu saya sedang terkenal sebagai Bozo tapi kemudian saya merasa ada sesuatu tentang kombinasi antara hamburger dan Bozo yang menarik perhatian anak-anak. Kemudian manajemen lokal McDonald’s (franchise Washington DC) minta saya membuat karakter baru untuk menggantikan Bozo. Jadi saya duduk di meja untuk mendesain ulang hingga menciptakan Ronald McDonald, si badut hamburger yang bahagia sejak 1963,” tandasnya.
Baca juga: Menyorot Tradisi Maskot
Tambahkan komentar
Belum ada komentar