KENDATI batik menjadi warisan budaya Nusantara yang tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, Kota Pekalongan di Jawa Tengahlah yang didapuk sebagai “Kota Batik”. Imej tersebut tergambar begitu semarak di sejumlah destinasi umum di kota tersebut. Dari Taman Jetayu dekat titik nol Pekalongan hingga alun-alun, terlihat banyak penjaja makanan dan minuman yang mengenakan batik, baik kemeja maupun kerudung.
Batik sudah begitu menyatu dengan warga setempat di kota maupun wilayah kabupaten Pekalongan. Maklum, batik Pekalongan sudah menjadi nafas kehidupan warganya sejak sejak awal abad ke-20.
Batik di Pulau Jawa itu sendiri merupakan produk budaya sejak era Kesultanan Mataram (1568-1755). Episentrum budaya Jawanya kemudian merekah di Surakarta dan Yogyakarta. Namun masyarakat Jawa di pesisir kemudian mengembangkan batiknya sendiri, salah satunya di Pekalongan.
“Jadi seperti ada dua tipe batik di Jawa. Yang wilayah-wilayah keraton seperti Solo sama Yogya, itu batik pedalaman yang dominan warna cokelat, hitam, dan putih. Bedanya kalau batik pesisir di Cirebon, Lasem, Pekalongan itu warnanya warna-warni, warna-warna cerah,” terang Adi Putro, pemandu di Museum Batik Pekalongan, kepada Historia.ID.
Baca juga: Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I)
Warna-warna itu, lanjut Adi, tak lepas dari pengaruh para pendatang, baik itu orang-orang Belanda, Tionghoa, Arab maupun India. Kendati di kota-kota pesisir hampir semua sama, corak dan motif kemudian jadi pembeda di antara batik-batik pesisir.
Salah satu motifnya adalah motif “Buketan Kelengan” yang terdapat di Ruang Pamer 1 Museum Batik. Kain batik itu berwarna dasar putih dengan berhias tumbuhan, kembang, serta kupu-kupu dan burung walet berwarna biru yang halus.
“Biru itu salah satu warna khasnya (motif) Pekalongan. Yang batik ini namanya batik (motif) Buketan Kelengan karena motif buketan salah satu motif khas juga dari Pekalongan, selain motif jlamprang dan motif negeri dongeng. Buketan unsurnya flora dan fauna dan Buketan Kelengan ini jadi teknik pewarnaan tertua dengan dicelup dan warnanya cuma dua: biru-putih atau pink-putih. Warna-warnanya yang soft atau halus,” sambungnya.
Menurut Adi Kusrianto dalam Batik Filosofi, Motif, dan Kegunaan, motif buketan sejatinya merupakan perkembangan dari salah satu pola batik Tionghoa yang kemudian mendapat pengaruh budaya Eropa sejak awal abad ke-20. Para pengusaha batik Tionghoa mengembangkan motif buketan semata untuk membaca situasi pasar di mana para konsumen Eropa menggemari pola-pola buketan alias tumbuhan dan bunga.
Berikutnya motif khas jlamprang. Menurut Komaruddin Hidayat dan Putut Widjarnarko dalam Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, motif jlamprang dipengaruhi kultur Tionghoa, India, Arab, dan Belanda.
“Motif geometris atau kotak-kotak dengan warna yang mencolok. Tata warnanya yang cerah seperti merah terang dan hijau terang, tidak jarang pula menggunakan warna oranye,” tulis Komaruddin dan Putut.
Baca juga: Batik Romusa dari Banten Selatan
Motif itu mirip dengan motif-motif nitik di Yogyakarta atau Solo yang coraknya juga geometris. Bedanya, motif nitik dominan warna cokelat dan putih.
“Batik motif nitik di Keraton Yogyakarta dan Surakarta biasanya dibuat dari sutera atau kain halus sebagai bahan celana raja, selendang, atau sarung bantal. Sedangkan di Pekalongan, batik motif nitik (jlamprang) ini tetap berkembang hingga sekarang. Sampai saat ini terdapat kurang lebih 70 batik motif nitik,” kata Yohanes Primus Supriono dalam Ensiklopedia The Heritage of Batik: Identitas Pemersatu Kebanggaan Bangsa.
Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), berkembang motif Jawa Hokokai. Menurut Yohanes, motif itu lahir dari para pembatik Tionghoa tapi menyesuaikan keperluan bagi orang-0rang Jepang.
“Motif dan warna batik ini dipengaruhi budaya Jepang yang dikembangkan dari motif batik keraton. Ragam hias pada batik Jawa Hokokai biasanya berupa bunga sakura, krisan, dahlia, dan anggrek dalam bentuk buketan atau lung-lungan. Meski kemudian Jepang takluk dan angkat kaki dari Indonesia, motif-motif batiknya terus berkembang,” tambah Yohanes.
Salah satu hasil perkembangannya adalah motif Jawa Baru. Batik ini menggunakan motif jlamprang, tirtareja, dan parang sebagai isen latar tapi warnanya disesuaikan dengan selera masyarakat Indonesia sejak 1950-an.
Motif-motif khas inilah yang sejak awal abad ke-20 jadi bagian dari kehidupan masyarakat Pekalongan, baik kalangan bumiputera, Tionghoa, maupun Eropa. Menurut Chusnul Hayati dalam artikel “Pekalongan Sebagai Kota Batik 1950-2007” di Jurnal Lensa: Kajian Kebahasan, Kesusastraan, dan Budaya, Vol. 2, No. 1 tahun 2012, batik di Pekalongan tidak hanya tumbuh dari kalangan pebisnis semata tapi juga dari kerajinan rumah tangga kalangan penduduk kelas menengah dan bawah.
“Batik jadi kerajinan tangan yang penting bagi kehidupan ekonomi di Pekalongan. Pada awal abad ke-20, Controleur bij de Centrale Kas Raden Mas Utaryo mengatakan: ‘Pekalongan tanpa industri batik bukanlah Pekalongan.’ Maka batik sebagai identitas Kota Pekalongan tidaklah keliru,” tulis Chusnul.
Baca juga: Patola, Cikal Bakal Motif Batik Masa Kini
Menurut Inger McCabe Elliot dalam Batik: Fabled Cloth of Java, batik beserta perdagangannya mulai tumbuh pada 1850 di wilayah pesisir Pekalongan seperti Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo. Seiring waktu, batik jadi penopang ekonomi 200 ribu masyarakat penduduk daerah-daerah itu.
“Perdagangan batik di Pekalongan tumbuh sekitar tahun 1850. Dari pagi buta sampai tengah malam becak-becak berbaris dekat pasar-pasar untuk mengangkut bahan-bahan kain untuk dililin, dicelup, hingga produk akhirnya dijual yang diangkut dengan truk-truk ke Semarang atau diangkut dengan kapal ke Batavia,” tulis Elliot.
Ketika permintaan komoditas pakaian batik dari negeri Belanda kian melejit, tambah Elliot, pemerintah Hindia Belanda mendirikan pabrik-pabrik sendiri. Pabrik-pabrik itu membutuhkan pasokan-pasokan dari industri-industri rumahan kaum bumiputera, Tionghoa, dan Arab.
“Dari situ pabrik-pabrik Belanda mulai berkembang pesat dari pabrik kecil hingga jadi industri. Itulah yang terjadi di Pekalongan dan itu alasannya mengapa kota itu menjadi ‘Kota Batik’. Motif-motif tumbuhan, bunga, dan burung-burung yang unik juga disukai orang-orang asing di era Victorian,” imbuh Elliot.
Baca juga: Batik Romusa dari Banten Selatan
Imej sebagai “Kota Batik” terus bertahan ketika Indonesia lahir. Menurut Chusnul, Program Benteng pada 1950-an turut memengaruhi industri batik di Pekalongan via koperasi-koperasi yang dimanfaatkan para pembatik di bawah naungan Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan (PPIP).
“Berdirinya PPIP mendorong munculnya koperasi-koperasi batik lain, misalnya Koperasi Batik Setono (KBS) di daerah Setono (kini Pasar Grosir Batik Setono). Lalu Koperasi Batik Tirto di Kecamatan Tirto, dan Koperasi Pekajangan di Pekalongan Selatan. Maka sejak 1950-an hingga pertengahan 1970-an bisa dikatakan menjadi puncak kejayaan dunia koperasi (batik) di Pekalongan,” sambung Chusnul.
Sentra-sentra batik di Pekalongan pun bertumbuhan. Selain Pasar Grosir Batik Setono di bilangan Jalan Dr. Setibudi, ada pula Kampung Batik Kauman di Jalan Hayam Wuruk, Kampung Batik Pesindon di Kelurahan Bendan, dan Kampung Canting Landungsari di Jalan HOS Cokroaminoto.
Namun, kemudian perlahan muncul batik-batik printing dan sablon. Meski harganya lebih murah dari batik tulis maupun batik cap sehingga penjualannya lebih tinggi, batik printing dan sablon dianggap bukanlah batik.
“Kalau yang sablon sama printing itu ya kita menyebutnya kain bermotif batik saja tapi tidak bisa disebut batik karena proses pembuatannya tidak melewati proses dan menggunakan alat-alat khas membatik,” timpal Adi lagi.
Terlepas dari itu, Pemerintah Kota Pekalongan menggunakan simbol motif dan canting sebagai logo pemerintah kota sejak adanya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 1958 dan Surat Keputusan Penguasa Perang Daerah Teritorium IV No. KPTS-PPD/00351/11/1958. Tentu atas dasar faktor historis.
Pamor Pekalongan sebagai “Batik City” kian bersinar seiring disahkannya pengajuan pemerintah Indonesia atas batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi asal Indonesia di UNESCO pada 2008. Batik kemudian turut dihormati lewat Hari Batik Nasional yang jatuh setiap 2 Oktober.
Baca juga: Cinta Mati Batik Betawi