Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Media Amerika Memberitakan Sukarno dan Dukun

Presiden Sukarno kerap menjadi sorotan media asing. Tak hanya mengupas perannya sebagai presiden, media Amerika juga membahas kehidupan pribadinya di antaranya terkait dukun dan ramalan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 11 Des 2024
Presiden Sukarno melambaikan tangan saat menyapa sejumlah orang di tengah kunjungannya ke Washington D.C., Amerika Serikat di tahun 1956. (Warren K. Leffler/www.loc.gov.com).

SEJAK Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, negara ini tak pernah lepas dari sorotan berbagai media asing. Selain memberitakan beragam kebijakan di dalam maupun luar negeri, aktivitas para pejabat negara juga tak luput dari sorotan. Pemberitaan media asing terhadap para pemimpin Indonesia beraneka rupa, terkadang memberi pujian tetapi kerap pula berisi kritik yang mengarah pada kehidupan personal kepala negara.

Hal inilah yang menjadi pemberitaan dalam surat kabar Istimewa tanggal 30 Maret 1958. Tabloid yang terbit setiap hari Minggu itu melaporkan bahwa beberapa media asing seringkali memberitakan pemimpin Indonesia secara negatif. Pemberitaan itu diketahui oleh Presiden Sukarno.

TIME dan NEWSWEEK berulang-ulang dibeslah oleh alat negara karena memuat berita-berita berkenaan dengan Presiden Sukarno yang mengandung hal-hal yang menyeleweng dan memalukan tokoh besar kita. Bahkan, pada 20 November 1958, ketika Presiden Sukarno mengunjungi Medan untuk meresmikan Universitas Sumatera Utara sebagai Universitas Negara, ketika turun di lapangan terbang Polonia, Presiden mengatakan: Bacalah TIME tanggal 18 November, untuk mengetahui apa yang dikupas oleh majalah itu berkenaan dengan perjuangan bangsa Indonesia dan perjuangan Bung Karno,” tulis Istimewa.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Sukarno vs Majalah Time

Dalam kesempatan yang sama, Bung Karno memandang pemberitaan media-media asing itu dapat menjadi indikator untuk melihat respons pihak luar terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia.

“Kalau majalah luar negeri mengecam kita, itu tandanya kita berjalan di atas rel kebenaran, sebaliknya kalau kita dipuja-puji, tandanya kita telah menyeleweng dari batas-batas kenasionalan,” ungkap Bung Karno sebagaimana dikutip oleh Istimewa.

Dalam laporan TIME yang dipublikasikan pada 18 November 1957, disebutkan bahwa kondisi Indonesia tengah tidak menentu, salah satunya disebabkan oleh situasi perpolitikan dalam negeri yang sedang memanas di antara beberapa pihak. Artikel berjudul “Indonesia: Bad and Worse to Come” itu dibuka dengan kritik terhadap Presiden Sukarno.

“Presiden Indonesia yang sombong, Sukarno, hampir tidak pernah melepaskan peci hitamnya di depan umum: ia tidak suka mengungkapkan fakta bahwa ia semakin botak seiring bertambahnya usia. Namun, pakaian pelindung bukanlah satu-satunya benda yang ada di dalam perlengkapan politik Sukarno. Jika Indonesia berada dalam kesulitan ringan, Sukarno menyalahkan ‘kolonialisme Barat’; jika kesulitan-kesulitan negara mulai menimbulkan kekhawatiran di dalam negeri, ia membuat cerita-cerita yang menghebohkan tentang sabotase Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat; dan jika keadaan benar-benar memburuk, dia mengungkit-ungkit isu Irian Barat yang sudah usang namun selalu bisa digunakan,” tulis majalah mingguan itu.

Selanjutnya, majalah Amerika yang pertama kali terbit pada 3 Maret 1923 itu menyoroti kondisi Indonesia yang memburuk setelah bertahun-tahun merdeka. Sentimen negatif terhadap orang asing, khususnya Belanda, belum hilang seiring dengan gencarnya Indonesia menuntut Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Majalah ini juga melaporkan bahwa biaya hidup di Indonesia semakin tinggi sehingga menyulitkan rakyat dan menumbuhkan rasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah.

Pemberitaan lain terkait persona Sukarno muncul dalam artikel berjudul “Indonesia: Djago, the Rooster” yang dipublikasikan TIME pada 10 Maret 1958. Selain menjadikan lukisan wajah Sukarno sebagai sampul majalah, artikel sepanjang lima halaman itu juga membahas kehidupan pribadi presiden disertai situasi di Indonesia.

Baca juga: 

Sukarno dan Majalah Playboy

Ada satu nama dalam artikel tersebut yang menarik perhatian pembaca. Ia adalah Madam Suprapto, atau Istimewa menulisnya Bok Suprapto, seorang dukun yang menyampaikan ramalan-ramalan kepada Bung Karno.

“Sukarno menyukai hal-hal tradisional dalam kehidupan nasionalnya, mulai dari lukisan Indonesia, pertunjukan wayang, hingga dukun. Dukun favoritnya, seorang perempuan tua bernama Madam Suprapto, minggu lalu memberikan ramalan yang sangat gamblang: ‘Bom besar pertama akan jatuh di Indonesia pada bulan Maret. Amerika Serikat akan campur tangan dalam pertikaian antara Padang dan Jakarta, lalu Uni Soviet akan ikut terlibat, dan Perang Dunia III akan terjadi’,” tulis TIME.

Menurut Bok Suprapto, Perang Dunia III akan menyebabkan Amerika, Uni Soviet, dan seluruh Eropa hancur, sementara RRT akan muncul sebagai kekuatan utama dunia. Indonesia, menurut ramalan itu, “akan memainkan peran utama dalam rekonstruksi Asia.” TIME melaporkan bahwa Sukarno memberikan perhatian yang sama besarnya kepada Madam Suprapto seperti halnya kepada para penasihat politiknya.

Laporan TIME mengenai ramalan Madam Suprapto yang disebut “dukun favorit” Sukarno itu ditanggapi tabloid Istimewa tanggal 30 Maret 1958. Artikel berjudul “Bung Karno didampingi oleh ahli ramal bok Suprapto?” mengungkapkan, terlepas dari kebenaran ramalan Bok Suprapto, kebiasaan meramal telah dikenal di Indonesia sejak ribuan tahun silam. Salah satu yang paling tersohor adalah ramalan Jayabaya.

Kepercayaan terhadap hal-hal gaib yang umum di masyarakat Indonesia, baik rakyat biasa maupun penguasa, pernah dibahas oleh Howard Palfrey Jones, diplomat Amerika yang pernah menjadi duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia di masa Orde Lama, dalam Indonesia: The Possible Dream.

Baca juga: 

Sukarno, Majalah Playboy, dan CIA

Menurut Jones, kepercayaan terhadap hal-hal gaib maupun spiritual membuat beberapa orang terbiasa untuk mencari penghiburan atau solusi kepada orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan spiritual tingkat tinggi. Berdasarkan hal ini pula sang duta besar mencoba mencari informasi mengenai pandangan Sukarno terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.

Paul F. Gardner, mantan petugas Dinas Luar Negeri Amerika Serikat yang pernah tinggal di Indonesia selama hampir sepuluh tahun, menulis dalam Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of U.S.- Indonesian Relations, meskipun Jones cenderung melihat Sukarno dalam sudut pandang yang berbeda, ia tidak mengabaikan kemungkinan peran spiritual dalam kehidupan sang penguasa.

“Edward C. Ingraham, seorang petugas politik di Kedutaan pada tahun 1960, mengingat sebuah kunjungan yang ia dan Jones lakukan ke seorang pria yang dianggap sebagai dukun atau penasihat spiritual Sukarno. ‘Jones berharap dukun itu dapat memberikan wawasan baru dalam menghadapi Sukarno’. Namun pria yang dikenal ramah ini tidak lebih dari sekadar membacakan keluhan-keluhan Sukarno yang sudah sangat familiar terhadap Barat,” jelas Ingraham sebagaimana dikutip oleh Gardner.

Kendati kepercayaan terhadap hal-hal gaib maupun spiritual telah umum di masyarakat Indonesia, ramalan-ramalan yang disampaikan “orang pintar” seperti Bok Suprapto sulit dipastikan kebenarannya, mengingat ramalan berkaitan dengan segala hal yang mungkin terjadi di masa depan. Oleh karena itu, seperti disampaikan Istimewa, “ramalan itu ‘tidak boleh dipercaya 100 persen’, karena setiap orang boleh meramal apapun.”*

TAG

sukarno media massa

ARTIKEL TERKAIT

Operasi Pemberantasan Buta Gizi Masa Sukarno Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik ADARI Klaim Bung Karno Nabi Diangkat Jadi Nabi, Bung Karno Tak Sudi Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Saat Pelantikan KSAD Diboikot Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Di Sekitar Indonesia Menggugat Bung Karno di Meksiko