UPACARA pelantikan Kolonel Bambang Utoyo sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat (KSAD) barangkali paling menyedihkan sepanjang sejarah TNI. Seremoni yang sedianya berlangsung di halaman Istana Merdeka secara kebesaran militer, dipindahkan ke aula Istana Negara. Batalion Kehormatan tidak tampak. Kumandang lagu “Indonesia Raya” bukan diiriingi oleh barisan musik militer, melainkan barisan musik dari pasukan pemadam kebakaran.
“Pelantikan KSAD Bambang Utoyo diboikot,” demikian diberitakan Harian Pemandangan, 28 Juni 1956.
Hari itu, 27 Juni 1955, Presiden Sukarno melantik Bambang Utoyo menjadi KSAD menggantikan Jenderal Mayor Bambang Sugeng. Tidak seperti pelantikan KSAD sebelum dan sesudahnya, pelantikan Bambang Utoyo berlangsung secara sederhana. Meski demikian, pelantikan Bambang Utoyo akhirnya rampung juga. Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi mengangkat sumpah Bambang Utoyo secara Islam. Setelah itu, Bung Karno menanggalkan tanda pangkat kolonel pada pundak Bambang Utoyo dan menggantinya dengan pangkat jenderal mayor. Pada tangan kanan Bambang Utoyo, perban putih tampak di ujung menutupi luka cacat permanen semasa Perang Kemerdekaan.
Baca juga: Luhut Tak Sempat Menjabat KSAD
Pelantikan Bambang Utoyo lebih banyak dihadiri pejabat sipil ketimbang perwira militer. Para menteri, ketua mahkamah agung, jaksa agung, para sekretaris jenderal, sejumlah atase militer, beberapa anggota parlemen dan kepolisian turut hadir menyaksikan pelantikan. Dari kelompok militer, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) serta beberapa anggotanya juga tampak di Istana Negara. Sementara itu, dari Angkatan Darat hanya terlihat sekira enam orang opsir dari Kementerian Pertahanan dan beberapa dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).
Bambang Utoyo sendiri telah menduga bakal mendapatkan perlakuan semiris itu sebagai imbas krisis yang terjadi dalam internal Angkatan Darat. Dia juga mempersiapkan diri untuk menghadapi lebih banyak cemoohan dan ejekan dalam kepemimpinannya. Untuk memulihkan kondisi Angkatan Darat, Bambang Utoyo berencana memanggil para panglima daerah untuk berunding.
Diboikot Zulkifli Lubis
Bertumpu pada tangan yang tinggal satu tentu membuat aktivitas Bambang Utoyo tak lagi berjalan normal seperti semula. Untuk alasan kesehatan itulah pada 1952 Bambang Utoyo mengajukan pengunduran diri dari dinas ketentaraan. Permintaan itu semula dikabulkan oleh pemerintah.
Peristiwa 17 Oktober 1952 yang menyebabkan krisis dalam tubuh Angkatan Darat sampai juga ke Sumatra. Pemerintah kemudian meminta Bambang Utoyo untuk kembali memimpin Teritorium II. Ketokohannya sebagai salah satu perwira senior rupanya masih diperhitungkan. Setelah tiga tahun menjadi panglima di Sumatra Selatan, nama Bambang Utoyo masuk sebagai salah satu calon KSAD pengganti Jenderal Mayor Bambang Sugeng. Selain Bambang Utoyo, Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri mengajukan Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Bachrum, dan Kolonel Sudirman.
Baca juga: Nasution dan Lubis Akur, Gatot Subroto Senang
Kabinet Ali dan atas persetujuan Presiden Sukarno menjatuhkan pilihan pada Bambang Utoyo. Namun, penunjukan Bambang Utoyo ditentang keras Kolonel Zulkifli Lubis. Dalam musyawarah para pimpinan Angkatan Darat di Yogyakarta, disepakati bahwa calon KSAD berikutnya harus memenuhi kriteria kecakapan, senioritas, termasuk kesehatan. Bambang Utoyo sendiri turut menghadiri musyawarah tersebut. Kendati demikian, penunjukannya sebagai KSAD juga datang dari pihak yang lebih tinggi, yaitu pemerintah.
“Kita sudah bicara dengan Bambang Utoyo, tetapi dia rupanya patuh kepada pemerintah. Sekarang sudah diberitahukan kepada Menteri Pertahanan, bahwa sebelum soal leiderschap (kepemipinan, red). ini didudukkan, tidak usah dilakukan timbang terima dulu mengenai pimpinan Angkatan Darat,” terang Zulkifli Lubis dalam Indonesia Raya 28 Juni 1955.
Saat pelantikan Bambang Utoyo, Zulkifli Lubis yang menjadi pejabat KSAD sementara menginisiasi gerakan boikot. Meski usianya lebih muda, secara senioritas Zulkifli Lubis lebih senior daripada Bambang Utoyo. Lubis juga mendapat dukungan dari seluruh panglima teritorium untuk menjadi KSAD berikutnya. Selain itu, Lubis menolak pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD mengingat kondisinya fisiknya yang kurang sehat. Harian Indonesia Raya edisi 27 Juni 1955 menyebut Zulkifli Lubis telah mengeluarkan instruksi kepada segenap anggota Angkatan Darat untuk tidak menghadiri pelantikan KSAD Bambang Utoyo.
“Seluruh Angkatan Darat menolak pengangkatan Bambang Utoyo jadi KSAD. Perwira dan pasukan kehormatan tidak hadir pada pelantikan hari ini,” demikian diwartakan Indonesia Raya.
Baca juga: Bambang Sugeng Pengikat Angkatan Darat
Zulkifli Lubis, menurut Boyd Compton dalam analisisnya di “Krisis Tentara di Indonesia” yang termuat di Kemelut Demokrasi Liberal, pada awalnya jadi calon kuat untuk posisi KSAD. Sesuai tradisi senioritas Angkatan Darat, Lubis memang selayaknya menempati jabatan itu. Namun, karena pertimbangan politis, pilihan jatuh kepada Bambang Utoyo. Perubahan tersebut berkaitan dengan kecenderungan Lubis yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), partai yang menjadi oposisi pemerintah. Pemboikotan atas pelantikan Bambang Utoyo mengundang mosi tidak percaya dari parlemen terhadap Kabinet Ali I.
Meski tujuan menaikkan Bambang Utoyo jadi KSAD terwujud, kewibawaan dan kredibilitas Kabinet Ali terus dirong-ring dalam parlemen. Tak lama kemudian, Kabinet Ali jatuh dan menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Hatta, dikarenakan Presiden Sukarno berada di luar negeri menunaikan ibadah haji. Kabinet yang memerintah pun berganti dari Kabinet Ali ke Kabinet Burhanuddin Harahap yang didominasi Partai Masyumi.