BANYAK orang percaya Presiden RI pertama Sukarno punya kekuatan lebih dari manusia biasa. Ada yang mempercayainya sebagai orang sakti mandraguna hingga ada yang menyebutnya titisan Gadjah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit abad ke-14. Ketokohan Sukarno sebagai pejuang dan proklamator kemerdekaan Indonesia membuat namanya tak luput dari kultus individu. Sukarno sendiri dalam otobiografinya tak menampik hal itu.
“Banyak yang percaya bahwa aku seorang Dewa, mempunyai kekuatan-kekuatan sakti yang menyembuhkan,” kata Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Dari sekian banyak pengkultusan itu, yang paling meresahkan Sukarno barangkali ketika dirinya disebut sebagai seorang nabi. Klaim tersebut datang dari Agama Djawa Asli Republik Indonesia (ADARI). Sekte ini sudah didirikan semasa awal Republik Indonesia berdiri. Selain menabikan Sukarno, ADARI juga berasaskan Pancasila.
Baca juga: Paus Yohanes Paulus II Terpukau Pancasila
Menurut sejarawan Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, ADARI didirikan di Yogyakarta pada 1946. Meski masuk kategori gerakan kebatinan, sekte ini larut dalam politik yang dibuktikan dengan pengakuan terhadap sosok Sukarno sebagai nabi baru.
“Menjamurnya gerakan kebatinan berlanjut setelah kemederkaan, dan masih banyak yang bermunculan sesudah itu. Beberapa di antaranya agaknya diwarnai politik seperti Agama Djawa Asli Republik Indonesia (ADARI) yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1946, dan menganggap Sukarno sebagai nabi baru,” catat Lombard.
Struktur kepengurusan ADARI Pusat, seperti diwartakan dalam Kedaulatan Rakjat, 18 Januari 1957, diketuai oleh Ki S.W. Mangunwidjojo alias Djojowolu dan Ki Martowijono. Ki S Herukusumo sebagai penasihat; Madijodjongko dan Hardjowardjojo sebagai penulis; Suijohartono sebagai bendara; Kromodjumeno sebagai pembantu umum.
Mangunwidjojo disebut-sebut sebagai pendiri gerakan ADARI. Dikisahkan, sewaktu mendekam dalam Penjara Wirogunan, Yogyakarta, Mangunwidjojo mendapat ilham. Dari perenungannya di penjara, Mangunwidjojo memperoleh petunjuk bahwa Gusti yang Maha Esa telah menitis ke dalam sosok Sukarno. Dalam kepercayaan ADARI, Sukarno adalah orang yang “kemasukan” Tuhan untuk mencapai kemerdekaan bangsa dan negara Indoesia.
“Menurut ajaran ADARI, Gusti yang Maha Esa telah manunggal, menjadi satu dalam diri Bung Karno Presiden Republik Indonesia. Bung Karno adalah titisan Gusti yang Maha Esa, yang berarti bahwa Bung Karno adalah titisan Tuhan dan sama dengan Tuhan, maka apa yang dikatakan dan dilakukannya adalah tidak lain sebagai kata dan perbuatan Tuhan,” terang antropolog Hilman Hadikusuma dalam Antropologi Agama: Pendekatan Budaya Terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Cu di Indonesia.
Baca juga: Jejak Sufi, Pembawa Ajaran Islam ke Nusantara
Dalam doktrin ADARI, Sukarno dinobatkan sebagai nabi, kedudukan tertinggi dalam sekte tersebut. Pada paruh pertama 1950, klaim agama-agama baru maupun gerakan aliran kebatinan yang bernabikan Sukarno mulai menggema. Menurut Mingguan Istimewa, 8 Desember 1957, selain Gerakan Pancasila, ADARI termasuk sekte yang menonjol dalam pengkultusan Sukarno sebagai nabi.
“ADARI berdasarkan hidup gotong-royong melaksanakan Pancasila, dan juga dianggap 'nabi' nya ialah Bung Karno,” lansir Istimewa. “Keterangan seperti itu juga pernah diberikan oleh lain-lain ketua ilmu kebatinan di Jawa Barat, Tengah, dan Timur.
Bung Karno sendiri menolak klaim nabi yang dialamatkan pada dirinya. Dalam pidatonya di berbagai kesempatan, Sukarno menekankan sisi kemanusiannya yang tidak berbeda dengan orang lain. Sebagai seorang Muslim, Sukarno hanya mengakui Allah sebagai Tuhan. “Dalam kalbu Bung Karno,” sebut Istimewa, “Kalau dilepas kulit lapis luarnya akan terlihat kalimah syahadat.”
Baca juga: Kala Napoléon Dianggap Putra Nabi
Sementara itu, gerakan ADARI juga berkali-kali menawarkan gelar nabi bagi Bung Karno dalam sebuah upacara pelantikan. Tawaran yang sudah barang tentu tidak digubris oleh Sukarno. Karena sudah menjurus ke arah bidah, Bung Karno menegaskan bahwa dirinya tidak menerima diangkat sebagai nabi oleh kelompok manapun. Penolakan itu diteruskan kepada Kementerian Agama untuk disiarkan kepada masyarakat.
Menurut Mingguan Istimewa, 24 Mei 1959, Kepala Bagian Kerohanian Kementerian Agama Asnawi Hadisiswojo menerangkan kepada Harian Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta, bahwa Presiden Sukarno telah menolak keras pengakuan dirinya sebagai nabi dari ADARI. “Presiden Sukarno minta agar Kementerian Agama bagian gerakan kebatinan yang bersangkutan agar hal itu tidak terjadi lagi,” demikian Asnawi Hadisiswojo.
Belakangan, ADARI menanggalkan gelar nabi atas diri Sukarno. Kendati demikian, ADARI tetap menjunjung Sukarno sebagai pemimpin agung. Penyematan gelar baru itu dinyatakan dalam peringatan “Jogja Kembali”, seperti diberitakan dalam Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1964.
Baca juga: Atas Nama Ideologi Negara
Dalam otobiografinya yang terbit pada 1965, Sukarno kembali menekankan bahwa dirinya adalah manusia biasa. Jauh dari sosok kenabian atau pemegang wahyu ilahi. Sebagai manusia, dia mengakui punya kelemahan dan tak luput dari kesalahan.
“Aku bukan manusia yang tidak mempunyai kesalahan. Setiap makhluk membuat kesalahan,” ungkap Sukarno, “Bukankah aku bersifat manusia seperti juga setiap manusia lainnya. Bahkan kalau engkau melukai seorang kepala negara, ia akan lemah.”