KENDATI pertempuran yang memakan korban ribuan jiwa terjadinya di Surabaya, bayangan penderitaan rakyat sangat memengaruhi nurani Presiden Sukarno di Jakarta. Setelah kawat-kawat protesnya terhadap para pemimpin Sekutu bertepuk sebelah tangan, Sukarno meluapkan amarahnya melalui corong-corong pers pada 12 November 1945 atau dua hari sejak Surabaya dibombardir Inggris.
“Surabaya telah ditembaki dan dibom secara kejam oleh tentara Inggris. Nyata ribuan mati dan luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak. Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern yang ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk melawan. Saya mintakan dengan ini perhatian seluruh dunia terhadap pembunuhan secara besar-besaran. Tentara Inggris di Surabaya berpendapat ia mempunyai alasan yang kuat untuk memusnahkan penduduk Surabaya. Saya sangsikan kekuatan dari alasan itu, maka saya berpendapat bahwa pembalasan atau represaille itu adalah sangat berlebihan dan dunia mestilah menghakimi apakah aksi oleh Inggris ada seimbang dengan alasan-alasan itu,” seru Sukarno kepada pers di Jakarta, dikutip Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda.
Sejak Inggris sebagai perwakilan Allied Forces of Netherlands East Indies (AFNEI) masuk ke Surabaya medio Oktober 1945, gesekan-gesekan yang berujung baku tembak dengan pihak-pihak pemuda, badan-badan perjuangan, dan Tentara Keamanan Rakjat (TKR) acap terjadi. Apalagi kedatangan Inggris itu turut dibocengi Belanda NICA (Nederlands Indie Civil Administratie).
Baca juga: Ketika Brigadir Mallaby Bertemu dengan "Menteri Pertahanan RI"
Namun, bara di Surabaya tak serta-merta padam kendati Presiden Sukarno sudah mendatangi Surabaya pada 29 Oktober 1945 untuk menegosiasikan gencatan senjata dengan pasukan Inggris. Sehari pasca-kesepakatan gencatan senjata, Komandan Brigade Infanteri ke-49 British India Brigadier Aubertin Walter Sothern Mallaby meregang nyawa dalam sebuah insiden di depan Gedung Internatio. Pengganti Mallaby, Mayjen Eric Carden Robert Mansergh, menuntut pertanggungjawaban kepada pemerintah setempat pada 6 November 1945.
“Jenderal Mansergh yang menggantikan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby selaku komandan Brigade ke-49 Sekutu menyatakan ingin bertemu dengan Gubernur Jawa Timur Surio (Ario Soerjo, red.). Sikapnya angkuh sekali. Rupanya karena waktu itu Inggris sudah mendaratkan 24.000 prajurit baru di Surabaya menyusul pertempuran tanggal 30 Oktober 1945 di sekitar gedung Internatio yang menewaskan Mallaby,” kenang Roeslan Abdulgani dalam Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia: Kisah Singkat tentang Kejadian-Kejadian di Kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d Akhir November 1945.
Sayangnya komunikasi antara Gubernur Soerjo dan Jenderal Mansergh via surat-menyurat lewat perantara Biro Kontak Indonesia di Jalan Jakarta, Surabaya, mengalami kemacetan. Mansergh menuding bahwa sebagai kelanjutan dari insiden di Gedung Internatio, Indonesia telah mengerahkan tank-tank dan serdadu untuk berperang melawan Inggris. Tudingan itu jelas dibantah Gubernur Soerjo.
Jakarta Bereaksi
Terlepas dari gagalnya gencatan senjata pasca-tewasnya Mallaby, Presiden Sukarno di Jakarta merasa terusik dengan laporan-laporan yang ia terima terkait perilaku-perilaku “Pasukan Amerika Serikat Gadungan” alias serdadu-serdadu Belanda yang mengenakan seragam dan peralatan perang Amerika. Pada 9 November, bersamaan dengan dikeluarkannya ultimatum Jenderal Mansergh kepada rakyat dan militer republik di Surabaya, Presiden Sukarno mengirim kawat protes pertamanya pada Presiden Amerika Harry S. Truman.
“Goodwill bangsa Asia terhadap Amerika terancam oleh kenyataan bahwa Belanda masih terus memakai uniform Amerika dan membawa tempat air dengan cap ‘U.S.A’. Mereka masih saja menggunakan motor gerobak Amerika. Serdadu-serdadu Belanda yang tak dikenali menembaki orang-orang Indonesia yang tak bermaksud apa-apa terhadap orang Amerika yang sedang melakukan pekerjaannya yang sah di sini. Kepentingan Amerika sekarang tersangkut dalam perjuangan kita. Diminta supaya goodwill Amerika dipertahankan dan berusaha supaya semua orang Belanda yang mencapai usia militer dilucuti senjatanya dan jika perlu dipindahkan,” Sukarno memprotes dalam telegramnya, dikutip Pramoedya Ananta Toer, dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia 1 (1945).
Sukarno juga tak kalah terusik dengan ultimatum Mansergh yang disebarkan lewat pamflet-pamflet dari udara. Bunyinya: setiap orang di Surabaya yang menyandang senjata harus menyerahkannya dengan tangan terangkat ke atas. Jika tidak, Inggris akan menggempur kota dari laut, darat, udara.
Baca juga: Respons Sekutu Usai Proklamasi
Ultimatum itu dikeluarkan pasukan Inggris di Surabaya tanpa terlebih dulu merundingkannya dengan Contact Comittee dan Biro Kontak Indonesia sebagai perantara Sekutu dan pemerintah Indonesia di Jakarta. Situasi yang panas itu dilaporkan anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya, Abdoel Adhiem alias Doel Arnowo, via sambungan telepon ke Jakarta pada malam itu juga, 9 November 1945.
Menanggapi kontak dari Doel Arnowo, Presiden Sukarno meminta setiap pihak di Surabaya menahan diri sembari Sukarno menginstruksikan Menteri Luar Negeri Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo untuk menemui Wakil Panglima SEAC Jenderal Philip Christison yang berkedudukan di Jakarta. Sialnya, diplomasi Menteri Soebardjo kandas karena Jenderal Christison menolak membatalkan ultimatum itu.
“Saya tidak dapat menilai keadaan di Surabaya, kalau saudara berpendapat dapat mempertahankan kota itu, pertahankanlah,” ungkap Soebardjo yang menyerahkan keputusan akhir ultimatum itu pada Gubernur Soerjo, sebagaimana yang tertuang dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi.
Lewat pidatonya, Gubernur Soerjo menyeru kepada segala lapisan masyarakat di Surabaya dan sekitarnya untuk bersiap bertempur atas nama menegakkan kedaulatan republik. Maka, pecahlah Pertempuran Surabaya seiring gempuran-gempuran Inggris dari laut, darat, dan udara seiring fajar menyingsing pukul 6 pagi tanggal 10 November 1945.
Presiden Sukarno di Jakarta nyaris tanpa daya. Dalam keprihatinannya, ia hanya bisa kembali mengirim telegram tidak hanya kepada Presiden Truman di Washinton DC tapi juga kepada Perdana Menteri (PM) Inggris Clement Attlee pada 11 November 1945.
Baca juga: Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir
Menurut Richard Wevill dalam Britain and America After World War II: Bilateral Relations and the Beginnings of the Cold War, kebetulan saat pasukan Inggris menggempur Surabaya pada 10 November 1945, PM Attlee juga baru tiba di Washington DC. PM Attlee diagendakan untuk mengikuti sebuah konferensi mengenai energi atom bersama Presiden Truman dan PM Kanada Mackenzie King pada 11 November 1945.
“Berhubung dengan konferensi tuan berdua di Washington, saya memprotes serangan besar-besaran yang dilakukan Inggris atas bangsa Indonesia di Surabaya. Atas nama kemanusiaan dan prikeadilan, harap tuan suruh hentikan serangan itu, terutama untuk mencegah pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak,” tulis kawat Sukarno, dikutip Pram dkk.
Lagi, tuntutan Sukarno itu kembali diabaikan Presiden Truman, begitupun PM Attlee. Pertempuran Surabaya pun terus membara selama lebih dari sebulan sampai 2 Desember 1945. Menurut Indonesianis Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since c. 1300, korban tewas penduduk sipil dan militer Indonesia sekitar 6.300 jiwa. Adapun Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia mencatat korban tewasnya hingga 15 ribu jiwa.
“Aku mengajukan protes ke PBB (Amerika, red.). Aku mengirimkan telegram kepada Presiden Truman untuk meminta jasa-jasa baiknya, karena tentara (Inggris) yang membunuhi rakyat kami memakai perlengkapan dan truk-truk dengan tanda Amerika Serikat, hal mana menimbulkan kecurigaan yang wajar dari rakyat Indonesia yang tidak memusuhi Amerika. Tak seorang pun menolong,” kenang Sukarno dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang dituliskan Cindy Adams.
Baca juga: Akhir Pertempuran Surabaya