BADAN Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menghiasi laman portal berita sepekan terakhir. Lembaga yang bernaung di bawah Presiden ini dibentuk sejak Mei 2017. Badan itu menjadi unit kerja yang membantu Presiden Joko Widodo dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Sejumlah tokoh masyarakat dan intelektual tergabung di dalamnya.
Sorotan mengarah ketika besaran gaji yang diterima tim BPIP tersingkap ke publik. Beberapa kalangan menilai, jumlah yang dialokasikan kelewat besar bahkan lebih tinggi daripada presiden dan jajaran pejabat tinggi negara lainnya. Perkembangan terakhir datang dari ketua pelaksana BPIP, Yudi Latif yang memutuskan mengudurkan diri. Beragam tanya pun kian bergulir terhadapl urgensi dan kinerja BPIP.
Menilik sejarahnya, lembaga ideologi seperti BPIP pernah eksis pada dua rezim. Di era Sukarno dikenal indoktrinasi Manipol-USDEK. Sementara di zaman Orde Baru, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) pernah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana sepakterjang keduannya dalam mengawal ideologi negara?
Indoktrinasi Ala Sukarno
Bermula ketika Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menjadi tonggak Demokrasi Terpimpin. Ideologi negara dirumuskan kembali. “Dia (Sukarno) menyerukan dibangkitkannya kembali semangat revolusi, keadilan sosial, serta perlengkapan kembali lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesimbungan,” ujar sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.
Sukarno menguraikan ideologi negara dalam Manifestasi Politik (Manipol). Manipol adalah isi pidato Sukarno yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959. Intisari Manipol terdiri dari lima unsur yang disebut USDEK, yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
“Upaya Sukarno menjadikan Manipol USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi ‘ideologi negara’ yang bersifat resmi dan tunggal,” tulis Roy B.B. Janis dalam Soeharto Murid Soekarno. “Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan hanya untuk mengenal dan ‘mengamalkan’ pengertian resmi itu sambil menolak segala paham yang tidak berkesesuaian dengannya.”
Setelah ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), doktrin Manipol USDEK diperkenalkan ke segala lini kehidupan. Adalah lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang berperan sebagai alat indoktrinasi. DPA beranggotakan 45 orang dari berbagai golongan yang bertugas memberikan masukan bagi Presiden. Namun dalam kinerjanya, DPA lebih berfungsi sebagai wadah think thank pengejawatahan Manipol-USDEK.
Manipol USDEK menjadi materi yang disisipkan melalui kurikulum sekolah tingkat dasar hingga universitas. Indoktrinasi juga meliputi pegawai negeri dan karyawan perusahaan negara. Indonesianis terkemuka. Herberth Feith dalam Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin menyebutkan setiap partai politik, organisasi massa, dan pers diwajibkan mendukung dan menerima Manipol-USDEK sebagai pedomannya. Dalam praktiknya, indoktrinasi ini tak cukup sebagai pembina ideologi. Ia juga menjadi alat politik yang beririsan dengan hegemoni kekuasaan.
“Beberapa redaktur yang pro-Masjumi dan pro-PSI menolak melakukannya, dan suratkabar mereka pun dilarang terbit,” tulis Ricklefs.
Strategi Soeharto
Politisasi ideologi kembali terulang di masa Orde Baru. Pada 1975, Presiden Soeharto mencanangkan Eka Prasetya Panca Karsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Gagasan ini disahkan MPR dalam Sidang Istimewa dengan TAP MPR No II/MPR/1978.
“Secara bertahap dibentuk bahan-bahan yang saya tugasi untuk memikirkan bahan bahan penataran, memberi arah dan melaksanakan penataran itu, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah,” kata Soeharto dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, Tindakan Saya.
Untuk mengawal jalannya program ideologi ini, Soeharto membentuk lembaga khusus: Tim Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P-7 (BP-7). Program penataran diperuntukan bagi seluruh warga negara, terutama pegawai negeri dan aparat ABRI. Dalam P-4, wujud pengamalan Pancasila dirinci dalam butir-butir nilai yang berjumlah 36.
Semua pegawai pemerintah dan anggota militer wajib ambil bagian dalam penataran itu. Pada setiap permulaan tahun ajaran baru SMP, SMA, dan universitas baik negeri ataupun swasta turut menyelenggarakan P-4. Tak dapat dimungkiri bahwa pelaksanaan penataran P-4 menyedot biaya besar dari dana negara dan rawan sebagai proyek manipulasi anggaran.
Menurut Galih Hutama Putra, kebijakan P-4 merupakan pengimplementasian tujuan pemerintah Orde Baru untuk menjalankan Pancasila secara murni, konsisten, dan konsekuen. Namun kebijakan ini tak luput dari tuaian kritik. Pasalnya, P-4 berujung kepada penetapan Pancasila sebagai asas tunggal yang kemudian menimbulkan kisruh politik. Sebagian kalangan masyarakat menilai kebijakan ini memaksakan ideologi dari pemerintah sekaligus strategi Soeharto untuk memperkuat kekuasannya. Mereka yang menolak antara lain seperti kelompok Petisi 50 dan kelompok agama yang diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Kebijakan P-4 dan Asas Tunggal adalah sebuah upaya Soeharto dalam memperkuat kekuasannya,” tulis Galih dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan Asas Tunggal: Kebijakan Soeharto tahun 1978-1985”. “Meskipun dalam pelaksanaannya mendapat kritikan dan reaksi yang cukup gencar dari berbagai kalangan masyarakat, namun Soeharto berhasil mengatasinya dan tetap menjalankannya selama hampir 20 tahun.”
Kedua lembaga ideologi Orde Lama dan Orde Baru bubar seiring dengan jatuhnya kekuasaan rezim. Indoktrinasi Manipol USDEK terhenti setelah meletupnya prahara politik 1965 yang mengakhiri pemerintahan Sukarno. Pun demikian, penataran P4 mengalami nasib yang sama. Dalam Sidang Istimewa November 1998, MPR mencabut TAP MPR No II/MPR/1978 tentang P-4. Pertimbangannya, materi muatan dan pelaksanaan P4 tak sesuai dengan perkembangan kehidupa negara.
Baca juga:
Soeharto: Mau Ganti Presiden? Jangan Ngotot
Wawancara DN Aidit: "PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila"