Belanda melancarkan agresi militer kedua atau Operasi Gagak (Operatie Kraai) ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Para pemimpin Republik Indonesia ditawan dan diasingkan. Belanda tidak menyebutnya pengasingan tapi "penjagaan untuk melindungi". Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim diasingkan ke Berastagi, Sumatra Utara, yang tak lama kemudian dipindahkan ke Parapat di tepi Danau Toba.
Sedangkan Mohammad Hatta, Mr. Assaat, Mr. A.G. Pringgodigdo, dan Laksamana Udara Suryadi Suryadarma, diasingkan di sebuah rumah di Gunung Menumbing, dekat Muntok, Pulau Bangka. Rumah itu milik perusahaan tambang timah, Bangka Tin Winning Bedrijf. Di dalamnya kira-kira ada sepuluh kursi dan satu radio, sehingga mereka dapat mendengarkan apa yang terjadi di dunia.
“Kerja kami sehari-hari hanya membaca buku, bermain bridge, dan main catur. Ada pula di situ meja pingpong untuk anak-anak tentara yang menjaga kami, yang juga dapat kami pakai,” kata Bung Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Baca juga: Rumah Sukarno di Berastagi Tanah Karo
Lima hari kemudian, tukang-tukang dari perusahaan tambang timah diperintahkan untuk membuat kerangkeng dengan kawat di luar gedung dan di luar ruang dalam gedung yang dipakai oleh Bung Hatta.
Setelah kerangkeng dalam gedung itu selesai dipasang, datanglah anggota KTN (Komisi Tiga Negara) dari Australia, Thomas Kingston Critchley, untuk menanyakan apakah perundingan dengan Belanda bisa diteruskan.
“Dia kaget menemui kami dalam kerangkeng, bertentangan dengan keterangan wakil Belanda di United Nations (PBB) bahwa mereka di Bangka merdeka bergerak,” kata Bung Hatta. “Dia mengatakan kepada kami bahwa dia akan memprotes kedustaan Belanda itu.”
Baca juga: Politisi Australia Sahabat Indonesia
Setelah dikerjakan selama beberapa hari, seluruh kerangkeng selesai dipasang pada 1 Januari 1949.
“Tanggal 1 Januari 1949, menurut Perjanjian Linggarjati, Indonesia [Serikat] akan merdeka,” kata Bung Hatta. “Apa yang lucu ialah bahwa hari itu datang [Mohamad] Roem dan Ali Sastroamidjojo dan dimasukkan ke dalam kerangkeng itu. Jadinya, dari empat orang, kami enam orang tinggal di dalamnya.”
Mereka pun mencandai Roem.
“Bagaimana Saudara Roem,” kata Bung Hatta. “Dahulu Sjahrir menandatangani Perjanjian Linggarjati bahwa pada 1 Januari 1949 Indonesia Serikat akan merdeka, tetapi sekarang 1 Januari 1949 ketua delegasi dikurung oleh Belanda dalam kerangkeng.”
Semuanya tertawa tergelak-gelak. Termasuk kontrolir Belanda yang mengantarkan Roem dan Ali.
Baca juga: Strategi Diplomat Roem Menghadapi Jimat
Sepertinya Critchley benar-benar protes kepada Belanda sehingga kerangkeng kemudian dibongkar.
Esok harinya, pada 2 Januari 1949, tukang-tukang tambang timah datang untuk membuka kerangkeng itu. Mereka tidak mengerti kenapa perintah bisa berubah dalam beberapa hari saja.
“Mereka terus terang mengatakan kepada kami bahwa baru kemarin selesai dengan kerjanya dan sekarang kerja yang baru selesai itu dibongkar kembali,” kata Bung Hatta. “[Tapi] Mereka gembira dapat perintah membongkarnya kembali.”
Setelah kerangkeng itu dibuka, mereka bebas menerima tamu, mendapatkan uang saku seorang f.10 per hari, dan mendapatkan mobil untuk berkeliling Bangka. Mobil plat BN 10 itu dikenal di mana-mana. “Sopirnya seorang Tionghoa peranakan. Dia gembira sekali menjadi sopir kami,” kata Bung Hatta.
Ketika mereka berkendara ke Pangkal Pinang, mulai dari Muntok banyak rakyat berkumpul di sepanjang jalan dan menyorakkan “merdeka”. “Seolah-olah Bangka menjadi daerah Republik Indonesia yang diduduki Belanda,” kata Bung Hatta.
Sambutan masyarakat Bangka luar biasa. Misalnya, ketika Suryadi Suryadarma berbelanja ke pasar atau toko, pemiliknya tidak mau dibayar. Mereka memberikan dengan cuma-cuma sebagai bantuan kepada “Bapak Republik Indonesia dari Yogyakarta”.
Baca juga: Pejuang Parapat Ingin Culik Bung Karno Secara Terhormat
Pada akhir Januari 1949, Sukarno, Sjahrir, dan Agus Salim dipindahkan dari Parapat ke Bangka untuk bergabung dengan Bung Hatta. Bagi Sukarno, pemindahan ini mungkin pertanda baik.
“Mungkin Belanda bermaksud mengumpulkan seluruh pejabat pemerintahan Republik supaya lebih mudah berunding,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Demikianlah, kata Sukarno, sebuah prosesi panjang perundingan dari para diplomat dan kurir yang pergi-pulang ke Muntok. Van Royen mewakili Belanda setuju mengembalikan para pemimpin Republik. Roem mewakili Indonesia setuju menarik tentara gerilya Republik. Dan kedua belah pihak menyetujui sebuah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, untuk membicarakan pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia.
Baca juga: Harga untuk Kemerdekaan Indonesia
Akhirnya, para pemimpin Republik Indonesia yang ditawan di Bangka selama enam bulan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Pada 9 Juli 1949 Sjafruddin Prawiranegara, ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), kembali ke Yogyakarta dan menyerahkan mandatnya kepada presiden dan wakil presiden. Sehari kemudian giliran Panglima Besar Jenderal Soedirman yang memimpin gerilya bersama pasukannya masuk ke Yogyakarta.
Bung Hatta kemudian memimpin delegasi Republik Indonesia ke KMB di Den Haag, Belanda, yang berlangsung pada 23 Agustus–2 November 1949. Hasilnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat. Namun, pengakuan kedaulatan ini harus dibayar mahal karena Indonesia setuju membayar utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 4,5 miliar gulden atau setara 1,13 miliar dolar.
“Sungguh tidak jujur tuntutan Belanda, membebani suatu negeri bekas jajahannya yang terbelakang dengan jumlah yang demikian besar,” kata Sukarno. “Negeri yang telah mengalami kehancuran yang merata akibat pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun dan empat tahun revolusi.”
Baca juga: Maaf dan Ganti Rugi Belanda atas Penjajahan di Indonesia