Pemerintah Belanda telah beberapa kali meminta maaf kepada korban perang kemerdekaan di Indonesia. Terakhir, pada Maret 2020, Raja Belanda Willem-Alexander bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. Di depan media, ia menyatakan permintaan maaf atas kekerasan perang kemerdekaan periode 1945–1949.
Pada 17 Agustus hingga 16 September 2021, Historia.id bekerja sama dengan harian Belanda, De Volksrant, melakukan survei atau jajak pendapat tentang persepsi penjajahan Belanda di Indonesia. Survei ini dilakukan secara daring terhadap 1.604 responden yang tersebar di 34 provinsi, yang di antaranya meminta pendapat mengenai permintaan maaf raja Belanda berkaitan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan tentara Belanda pada perang kemerdekaan di Indonesia.
Hasilnya, sebanyak 74,06 persen responden mengetahui perihal permintaan maaf raja Belanda itu, dan 25,94 persen responden tidak tahu. Ini menandakan sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui berita tentang permintaan maaf raja Belanda.
Lalu, apakah responden merespons positif permintaan maaf Raja Belanda Willem-Alexander? Hasilnya, lebih dari 70 persen responden belum merespons positif. Sebanyak 31,67 persen responden menjawab permintaan maaf raja Belanda itu dibutuhkan.
Baca juga: Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
Sementara itu, responden yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 25,94 persen; 22,69 persen menjawab sudah terlambat; tidak perlu sebanyak 5,17 persen; 2,62 persen menjawab permintaan maaf sudah tepat waktunya; dan 0,37 persen menganggap terlalu dini. Sedangkan 11,53 persen responden menjawab dengan jawaban lain, seperti harus mengakui semua kesalahan yang pernah dilakukan dan membayar segala kerugian yang dialami bangsa Indonesia.
Pernyataan permintaan maaf dari kerajaan atau pemerintah Belanda sudah beberapa kali dilakukan. Pada 2013, bertepatan dengan peringatan peristiwa pembantaian Rawagede (sekarang Desa Balongsari) di Karawang, Jawa Barat, Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd De Zwaan menyatakan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian Rawagede. Indonesia menyatakan korban pembantaian Rawagede berjumlah 431 orang, namun pihak Belanda mencatat 150 orang.
Permintaan maaf Dubes Zwaan itu dilakukan setelah Kejaksaan Negeri Belanda memutuskan kasus tuntutan para janda Rawagede yang suaminya dibunuh oleh tentara Belanda. Selain permintaan maaf, pemerintah Belanda juga harus memberikan kompensasi kepada sepuluh janda yang telah berjuang di pengadilan Belanda sejak 2011 sebesar 20.000 euro atau saat itu nilainya sekitar Rp270 juta.
Baca juga: Pengadilan Pembantaian Rawagede: Kemenangan dari Masa Lalu
Kompensasi kepada sepuluh janda korban pembantaian Rawagede itu dianggap setengah hati. Pandangan ketidakpuasan tercermin dari hasil jajak pendapat ini. Sebagian besar responden (77,06 persen) berpendapat bahwa Belanda harus membayar ganti rugi kepada Indonesia atas seluruh penjajahan. Sisanya 22,94 persen responden berpendapat tidak harus membayar ganti rugi.
Dasar pertimbangan ganti rugi, menurut 47,26 persen responden, karena penjajahan Belanda telah mengakibatkan kerugian material dan nonmaterial. Sedangkan bagi 19,64 persen responden, Belanda harus membayar ganti rugi karena telah menjajah selama lebih dari 3,5 abad. Cukup besar responden (22,94 persen) yang tidak tahu atau tidak menjawab dasar pertimbangan Belanda harus membayar ganti rugi.
Kejahatan Perang
Permintaan maaf pemerintah Belanda, seperti disampaikan Raja Belanda Willem-Alexander hanya untuk periode perang kemerdekaan Indonesia (1945–1949), juga dianggap belum cukup. Responden meminta pengakuan “kejahatan perang” dan permintaan maaf atas seluruh penjajahan Belanda. Sebab, responden (32,04 persen) menganggap tindakan kekerasan militer Belanda pada perang kemerdekaan 1945–1949 bukanlah satu-satunya periode terburuk penjajahan Belanda.
Bahkan, sebagian besar responden (37,97 persen) berpendapat periode terburuk penjajahan Belanda adalah pelaksanaan tanam paksa pada abad ke-19. Periode terburuk penjajahan Belanda lainnya yang dipilih oleh 11,16 persen responden adalah pembunuhan massal di Pulau Banda pada 1621. Sedangkan 9,60 persen responden menyebut kekejaman perang pada penaklukkan Aceh dan wilayah lain pada abad-19.
Baca juga: Tanam Paksa Periode Terburuk Penjajahan Belanda
Apa yang terjadi di Hindia Belanda terus menjadi kegelisahan di kalangan politikus, veteran, dan pejabat pemerintahan Belanda. Praktik kekerasan dan kekejaman militer Belanda kepada penduduk sipil meninggalkan jejak trauma hingga saat ini.
Sejarawan Belanda Geert Oostindie mengungkapkan bahwa dilema “kejahatan perang” kolonial itu telah menjadi polemik dan perdebatan di kalangan politisi Belanda pada 1969. Bahkan, Perdana Menteri Belanda Piet de Jong, yang mantan Angkatan Laut, menerangkan dengan tegas masalah “ekses-ekses” dalam aksi militer di Hindia Belanda. Para korban sipil yang jumlahnya ribuan itu dipandang karena “ekses” atau situasi tak terkendali yang dihadapi dalam peperangan.
Baca juga: Mencari Titik Temu Dua Sudut Pandang Sejarah
Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah, Geert Oostindie mengungkapkan sikap Belanda yang masih menutup persoalan periode buruk perang dekolonisasi di Indonesia pada 1945–1949, seperti yang dikutipnya dari pernyataan surat De Jong kepada Tweede Kamer (Majelis Rendah) pada 29 Januari 1969:
“Pemerintah menyesalkan bahwa telah terjadi ‘ekses-ekses’ tetapi pemerintah mempertahankan pandangannya bahwa seluruh angkatan perang Belanda di Indonesia telah berperilaku benar. Data-data yang dikumpulkan menegaskan bahwa di masa itu tidak ada tindakan kekejaman sistematis.”
Baca juga: Van Mook, Tokoh Belanda Kontroversial dalam Memori Orang Indonesia
Butuh waktu lama, sekitar 40 tahun lebih, persoalan “kejahatan perang” dibuka dan diperbincangkan di publik dalam negeri Belanda. Sejak dikabulkannya tuntutan janda-janda Rawagede oleh Kejaksaan Negeri Belanda, bergulirlah penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh peneliti dan sejarawan Belanda terkait kekerasan, kejahatan kemanusiaan, perkosaan dalam perang dekolonisasi, untuk membuka fakta-fakta tentang kejahatan perang yang dilakukan tentara Belanda.
Berikut ini kesaksian seorang veteran perang Belanda yang diungkap oleh Remy Limpach, sejarawan Belanda dan bekerja di Institute Sejarah Militer Belanda (NIMH), dalam disertasinya setebal 870 halaman, yang versi pendeknya terbit dalam bahasa Indonesia pada 2019 berjudul Kekerasan Esktrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia pada 1945–1949.
“Butuh beberapa waktu sebelum saya menyadari apa yang dilakukan Belanda di sana betul-betul salah. Dengan artileri brengsek milik kita itu […] kampung-kampung yang penuh perempuan dan anak-anak dihujani tembakan sehingga rata tanah … malah juga pada awalnya itu kita anggap indah: kembang api! Christus, Kennedy, dan Cruijff digabung bersama.”
Baca juga: Trauma Serdadu Belanda dalam Perang Kemerdekaan Indonesia