MAARTEN HIDSKES tidak menampik jika Piet Hidskes (ayah kandungnya) mengalami trauma dan penyesalan dengan apa yang pernah dia buat puluhan tahun lalu di Sulawesi Selatan. Kendati tidak dihindari, kata “Indonesia” selalu tidak pernah secara mendalam dibahas di rumah mereka.
“Padahal dia pernah menghabiskan salah satu fase hidupnya sebagai seorang prajurit komando di Sulawesi Selatan,” ungkap jurnalis Belanda itu kepada Historia.
Menurut penulis buku Thuis Gelooft Nieman Midj: Zuid Celebes 1946-1947 (diterjemahkan menjadi Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya) itu, tidak hanya sang ayah yang mengalami trauma di masa senjanya, kawan-kawan sesama anggota DST (Depot Pasukan Khusus) banyak mengalami situasi yang sama.
“Bahkan salah satu kawan ayah saya menjadi gila karena tak kuasa menerima trauma itu,” ujar Maarten.
Baca juga: Membuka peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan
Kisah para veteran yang masih mengalami trauma perang hingga masa-masa tuanya memang bukanlah suatu hal yang aneh bagi publik Belanda. Beberapa film dokumenter bahkan pernah mengupas kisah-kisah sedih itu. Sebut saja misalnya film dokumenter berjudul Hoe Nederland met Zijn Geschiendenis Omgaat atau karya yang lebih lawas lagi, Tabeek Toean.
Brutalitas Perang
Kawasan Stasiun Karangsari, Banyumas, 1949. Teng Bartels masih ingat kejadian itu. Sebagai penjaga kereta api jurusan Purwokerto-Bumiayu, dia bersama beberapa kawannya dari Batalyon Infanteri 425 Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) tengah duduk di bagian kereta api yang terbuka berlindungkan karung-karung pasir. Masing-masing menggenggam senjata dalam posisi siaga dan tegang.
Di tengah suasana mencekam itu, tetiba terdengar suara dentuman mitralyur. Kereta api pun dihentikan secara mendadak. Semua melompat keluar. Nampak di depan mereka menghadang barikade yang terdiri dari gelondongan kayu dan potongan besi. Belum sempat melepaskan satu peluru, mereka sudah dikepung dan diserang dari belakang.
Para serdadu bule itu langsung tak berkutik. Dengan mata kepala sendiri, Bartels menyaksikan seorang anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengekesekusi Prajurit Boss. Anak muda itu menggelepar lalu diam.
“Saya shock. Mereka membunuh Boss begitu saja. Ketika melihat saya tak berdaya, mereka memegangi saya dan mengambil semua yang ada di tubuh saya. Saya dan beberapa kawan lalu digiring ke kampung nyaris tanpa pakaian,” kenang Bartels seperti dituturkan kepada rekannya Ant. P. de Graaff dalam Met de TNI op Stap (edisi Indonesianya berjudul: Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI).
Bartels dan ketiga kawannya otomatis menjadi tawanan hingga perang berakhir beberapa bulan kemudian. Kendati mengaku diperlakukan baik oleh TNI, kejadian-kejadian itu kerap menghantuinya seumur hidup. Terutama ketika tidur dan ada dalam situasi sendiri.
Trauma akibat brutalitas perang juga dirasakan J.C. Princen. Anggota KL berpangkat kopral yang kemudian membelot ke kubu TNI itu mengaku tak pernah bisa melarikan diri sepenuhnya dari kejadian-kejadian mengerikan saat terlibat dalam peperangan. Terutama yang terkait dengan orang-orang dekatnya.
“Saya pernah kehilangan istri yang sedang mengandung anak saya di Cianjur. Saya melihat sendiri, kepalanya pecah terhantam peluru Tommy Gun dari seorang letnan KST (Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda),” katanya dalam nada lirih.
Princen mengaku tak pernah bisa melupakan kejadian itu. Dia berhari-hari menangisi kepergian Odah dan merasa marah kepada dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan sang istri. Akibat stres itu, Mayor Kemal Idris (atasan Princen di Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi) sempat mengistirahatkannya di sebuah desa terpencil yang masuk dalam wilayah Kadupandak, Cianjur Selatan.
Baca juga: Dirgahayu, Poncke!
Kekejaman perang yang menumbuhkan trauma pun terungkap dalam beberapa data oral yang dikutip oleh Gert Oostindie dalam Soldaat in Indonesie 1945-1950: Getuggenissen van een Oorlog Aan de Verkeerde Kant van de Geshciedenis (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah). Salah satunya adalah pengalaman seorang kopral bernama Kees.
Dalam catatan hariannya bertahun 1949, Kees menulis bahwa dirinya bukanlah seorang pemuda Belanda yang beruntung karena kerap harus menghadapi situasi yang mengguncangkan jiwanya selama bertugas di Indonesia. Puncaknya terjadi saat dia harus menyaksikan dua gadis kecil tengah menangis seraya memeluk tubuh kaku sang ibu dan adik kecil mereka di sebuah parit dangkal.
“Keduanya terbunuh oleh satu peluru yang sama,” ungkap Kees.
Terapi ke Indonesia
Bartels, Princen, dan Kees hanyalah sebagian kecil dari serdadu-serdadu Belanda yang pernah terluka jiwanya akibat perang. Menurut Oostindie, sesungguhnya masih banyak dari mereka yang mengalami penderitaan psikologis hingga masa tuanya. Itulah yang menjadi jawaban mengapa para veteran Belanda seolah enggan mengatakan apapun tentang pengalaman mereka di Indonesia.
“Terlalu pahit dan cukup ditelan sendiri saja, tak usah anak dan cucu tahu, begitu yang pernah dikatakan oleh para veteran Belanda itu kepada saya,” ujar Iman Sardjono, salah seorang veteran Indonesia yang kemudian menjalin persahabatan dengan para bekas musuhnya itu. Lantas apa yang kemudian dilakukan oleh para veteran tersebut untuk mengobati rasa traumatik itu?
Princen mengungkapkan bahwa satu-satunya jalan adalah berdamai dengan masa lalu. Caranya adalah dengan kembali mengunjungi tempat-tempat yang dulu sempat menorehkan kisah kelam dalam hidup mereka.
“Saat masa-masa tua seperti ini (waktu saya wawancarai pada 1995, dia berusia 70 tahun), saya memerlukan kembali pergi ke masa lalu. Saya pernah datang ke Cilutung tempat istri saya gugur dan kembali menangis sejadi-jadinya saat tiba di tempat itu. Tapi seterusnya saya merasa lega,” ujar Princen.
Baca juga: Seks serdadu Belanda
Hal yang sama juga dilakukan oleh Bartels. Bersama kawan-kawannya yang pernah bertugas di Banyumas, pada 1987 dia menelusuri kembali tempat saat dia ditangkap oleh TNI pada 1949. Ironisnya, di sana dia sempat bertemu dengan Salimin, anggota TNI yang bertempur dengan pasukannya di sekitar stasiun Karangsari itu. Sebuah pertemuan yang menurut Bartels sangat emosional.
“Air mata saya meleleh saat Salimin meminta maaf atas apa yang telah dilakukan kepada kami puluhan tahun yang lalu,” ujarnya.
Selanjutnya mereka mengikrarkan diri menjadi sahabat. Dengan bergandengan tangan, kedua orang tua yang semasa mudanya pernah berhadapan itu menyusuri rel kereta api seraya menceritakan dalam versi masing-masing tentang kejadian itu.
Ternyata itu bukan yang terakhir. Pada 1991, para eks serdadu Belanda itu kembali datang. Kali ini atas undangan resmi dari orang-orang yang dulu pernah menjadi musuhnya: veteran Indonesia. Kendati ditentang oleh organisasi resmi veteran Belanda (VOMI), kunjungan itu tetap berlangsung dalam semangat persahabatan yang erat.
”Saya meminta pengertian kepada mereka yang belum bisa menerima musuh lama kita sebagai sesama manusia. Kami sudah ada di jalan yang benar, karena permusuhan antarsaudara harus berakhir,” demikian menurut F.L. Meijler, salah seorang veteran Belanda yang mengikuti tur tersebut.