TAK pernah terpikir oleh Kardinal Louis de Rohan bahwa surat yang selama ini ia terima tak berasal dari Ratu Marie Antoinette. Surat-surat tersebut ditulis oleh Rétaux de Villette yang didiktekan Jeanne de Valois-Saint-Rémy, seorang wanita yang mengaku memiliki hubungan dekat dengan sang ratu Prancis.
Dalam salah satu surat yang dikirimkannya kepada de Rohan, Marie Antoinette meminta bantuan sang kardinal untuk membeli kalung berlian senilai 1,6 juta livre. Ratu palsu itu mengatakan bahwa ia tertarik memiliki kalung mewah tersebut. Akan tetapi, ia tak dapat membelinya secara langsung karena kondisi negara tengah sulit dan meluasnya sentimen negatif di kalangan rakyat Prancis yang menganggapnya boros. Oleh karena itu, ia berharap de Rohan mau membantunya melakukan transaksi jual beli dengan Boehmer dan Baesenge, perajin perhiasan tersebut, atas nama sang ratu.
De Rohan setuju membantu Marie Antoinette palsu. Ia menemui Boehmer dan Baesenge untuk mengatur pembelian yang telah disetujui serta diberi tanda “Marie Antoinette de France”. Dalam transaksi itu, de Rohan setuju membayar kalung berlian dengan mencicil selama beberapa bulan. Pria yang pernah menjabat duta besar untuk Wina itu menyerahkan kalung mewah yang diidamkan Marie Antoinette kepada seorang pria yang mengaku pelayan ratu pada 1 Februari 1785. Tanpa disadari de Rohan, pria yang menemuinya adalah Villette, kaki tangan Jeanne.
Baca juga:
Marie Antoinette dan Skandal Kalung Berlian yang Menyulut Revolusi Prancis (Bagian I)
Ketika kalung mewah itu berada di tangan Jeanne, wanita yang dikenal dengan julukan Countess de La Motte-Valois tersebut, mempreteli berlian pada kalung dan menjualnya di pasar gelap Paris dan London. Namun, keberuntungan Jeanne tak berlangsung lama. Sejarawan Sarah Maza menulis dalam Private Lives and Public Affairs, pada Juli 1785 para perajin kalung berlian mengirimi Ratu Marie Antoinette sebuah catatan samar yang menyebutkan “permata terindah di dunia”, dan pada 3 Agustus 1785, kasus penipuan itu terungkap setelah Boehmer berbicara dengan salah satu dayang sang ratu, Mme. Campan.
“Pada 15 Agustus [1785], Prancis dikejutkan oleh penangkapan Kardinal de Rohan di Versailles ketika ia sedang bersiap-siap untuk memimpin sebuah acara keagamaan, dengan mengenakan pakaian kebesaran kepausan. Beberapa hari kemudian, Jeanne dan kaki tangannya ditangkap, dan persiapan dimulai untuk pengadilan yang paling sensasional pada masa pemerintahan tersebut,” tulis Maza.
Penangkapan de Rohan dan Jeanne membongkar sejumlah fakta dalam kasus penipuan yang menyeret nama Ratu Marie Antoinette. Selain meminta bantuan Villette, Jeanne juga membayar seorang pelacur bernama Nicole Le Guay untuk berpura-pura menjadi ratu dan menemui de Rohan di taman-taman Istana Versailles. Tak hanya menuai sorotan dari masyarakat Prancis, skandal ini juga mengejutkan Raja Louis XVI dan istrinya yang namanya dicatut dalam kasus penipuan ini. Di hadapan sejumlah pejabat kerajaan, Ratu Marie Antoinette mengatakan kasus ini merugikan dirinya, “saya dituduh; dibicarakan di depan umum sebagai orang yang menerima kalung dan tidak membayarnya. Saya ingin tahu kebenaran tentang insiden ini dan saya berharap agar kardinal ditangani sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Saya ingin masalah ini dikirim (ke pengadilan),” kata sang ratu sebagaimana ditulis Jonathan Beckman dalam How to Ruin a Queen: Marie Antoinette and the Diamond Necklace Affair.
Pada 5 September 1785, Raja Louis XVI mengeluarkan maklumat yang secara resmi mengalihkan kasus ini ke parlemen Paris. Sembilan bulan penuh ketegangan terjadi selama proses penangkapan dan persidangan. De Rohan yang menjadi sasaran kemarahan Ratu Marie Antoinette tidak hanya dituduh mencuri salah satu perhiasan paling berharga di Eropa, tetapi juga mencatut nama ratu untuk memuluskan niat jahatnya. Tuduhan yang dihadapinya adalah lèse-majesté atau menyinggung martabat kerajaan, sebuah pelanggaran yang jauh lebih serius daripada pencurian.
Baca juga:
Napoléon Sang Pahlawan Revolusi Prancis
Pergeseran fokus diperlukan untuk menghukum sang kardinal. Jaksa Agung Joly de Fleury yang dekat dengan kerajaan mengarahkan kesalahan de Rohan pada ketidaksopanannya –anggapan bahwa ratu adalah tipe orang yang akan menugaskan seorang pria yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berbicara dengannya untuk memenuhi, tanpa sepengatahuan suaminya, selera kemewahannya yang tak terkendali. Di sinilah letak kejahatan lèse-majesté yang berarti melecehkan martabat raja atau ratu.
“Gagasan lèse-majesté mencakup segala bentuk pencemaran terhadap keagungan dan otoritas raja: hal ini dapat berarti pengkhianatan karena raja adalah perwujudan dari negara; dan penistaan karena raja juga menjadi representasi perwakilan Ilahi,” tulis Beckman.
Kasus ini mendapat perhatian publik yang besar dan pendapat mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka menyasangsikan de Rohan tak tahu jika ia ditipu oleh Jeanne. Akan tetapi, tak sedikit juga yang menuding sang ratu ikut andil dalam skandal ini. Desas-desus yang tersebar luas menjadi liar dan tak sedikit merupakan fitnah yang merugikan banyak pihak.
Paul R. Hanson dalam Historical Dictionary of the French Revolution menyebut meski Ratu Marie Antoinette sepenuhnya tak bersalah dalam kasus ini, reputasinya tercemar dalam debat publik yang menyertai persidangan. “Tidak lama sebelumnya, sang ratu telah membeli château (kastil, benteng, atau kediaman megah, red.) di Saint-Cloud untuk putranya, dan skandal kalung berlian menambah reputasinya sebagai pemborosan yang sembrono,” sebutnya.
Lambat laun mayoritas orang percaya bahwa de Rohan tidak bersalah atas penipuan kalung berlian. Dukungan kepada sang kardinal bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Semakin lama de Rohan ditahan, semakin banyak pula orang bersimpati kepadanya.
Baca juga:
Topi Merah Simbol Perlawanan Rakyat Prancis
Pada 31 Mei 1785, Joly de Fleury membacakan hukuman kepada para terdakwa. Jeanne dihukum cambuk, pencemaran nama baik, dan penjara seumur hidupnya (namun ia kabur dari penjara dengan menyamar menjadi pria dan melarikan diri ke London), sedangkan suaminya dihukum penjara seumur hidup secara in absentia karena tak berada di Prancis. Villette yang menjadi kaki tangan Jeanne diasingkan, sementara pelacur Nicole yang dianggap tidak bersalah dibebaskan.
Kehebohan meletus di pengadilan ketika jaksa penuntut meminta de Rohan dihukum berat karena tidak menghormati raja. Setelah melalui perselisihan sengit yang berlangsung berjam-jam, sebagian besar anggota Grand Chambre of the Parlement setuju bahwa kardinal tidak bersalah dan harus dibebaskan. Keputusan ini disambut meriah oleh banyak orang yang bersorak-sorai mengiringi pembebasan sang kardinal. Ratu Marie Antoinette sangat kecewa dengan keputusan yang diberikan kepada de Rohan. Namun, ia tak bisa mengintervensi keputusan yang telah dibuat oleh parlemen.
Skandal Kalung Berlian turut memantik kemarahan dan ketidakpuasan rakyat Prancis terhadap kepemimpinan Raja Louis XVI. Krisis pangan, ketidakefisienan pengelolaan keuangan negara yang memicu dugaan korupsi dan sikap boros keluarga kerajaan, khususnya Ratu Marie Antoinette, mendorong gelombang perlawanan yang berujung pada Revolusi Prancis.
“Pada 14 Juli [1789], Bastille direbut oleh kerumunan orang. Marquis de Launay, penjaga semua terdakwa dalam Skandal Kalung Berlian, dipenggal kepalanya. […] Pada 26 Agustus [1789], Deklarasi hak-hak manusia dan warga negara disahkan: kedaulatan kini berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja,” tulis Beckman.
Hilangnya pengaruh politik Raja Louis XVI membuat kekuasaannya semakin terbatas. Pada akhirnya sang raja harus melepas jabatan sebagai pemimpin negara dan pada 21 September 1792, monarki di Prancis dihapuskan. Setelah itu, hukuman mati dijatuhkan kepadanya dan dihukum pancung pada 21 Januari 1793.
Beberapa bulan berselang, giliran Marie Antoinette yang menghadapi akhir hidupnya. Hari eksekusinya jatuh pada 16 Oktober 1793. Dengan mengenakan pakaian serba putih dan tangan diikat, ia dibawa ke Place de la Revolution. Kerumunan orang telah menanti kedatangannya. Wanita yang dijuluki Madame Deficit itu dengan tenang menaiki tangga menuju lokasi eksekusi. Di antara teriakan penonton yang memekakan telinga, sayup-sayup terdengar dari mulut sang ratu meminta maaf karena tidak sengaja menginjak kaki seorang algojo. Marie Antoinette meletakkan kepalanya di guillotine. Seiring dengan pisau yang jatuh, berakhirlah hidup wanita berusia 37 tahun itu.*