KRITIK terhadap Kepolisian RI sehubungan dengan dugaan ketidaknetralan institusi keamanan tersebut dalam Pemilu 2024, terutama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), masih terus berjalan. Sejumlah politikus PDI P bahkan sampai membuat istilah “Partai Coklat” untuk menamakan korps Bhayangkara itu.
“Kader-kader PDI Perjuangan begitu banyak tekanan. Di Sulawesi Utara Partai Coklat yang bermain, sama dengan di Jakarta, Jawa Timur, di Sumatra Utara. Partai Coklat super powerful (sangat kuat),” ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dikutip bbc.com, 3 Desember 2024.
Dugaan ketidaknetralan Kepolisian itu bahkan sampai menimbulkan wacana reformasi Kepolisian. Ada sejumlah pihak yang mengusulkan Kepolisian ditempatkan di bawah TNI seperti era ABRI dulu, ada pula yang mengusulkan Kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Kendati Kepolisi selalu menampik tudingan praktik politiknya dengan mengatakan Polri tetap netral, publik kadung meragukannya. Toh, dalam sejarah republik ini peran politik Kepolisian telah ada sejak era Kapolri pertama Jenderal Raden Said Soekanto.
Baca juga: Beda Cara Polisi Dulu dan Sekarang dalam Berpolitik
Pasca-keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara Jenderal Soekanto menentang keras rencana Presiden Sukarno untuk menggabungkan Kepolisian Negara dan Tentara Nasional Indonesia dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Memasukkan polisi ke angkatan bersenjata menurut Soekanto akan membuat polisi menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Satjipto Rahardjo dalam Membangun Polisi Sipil, Perspektif hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, Soekanto ingin membangun polisi Indonesia yang menjauh dari watak kolonial seperti di zaman Hindia Belanda. Polisi Indonesia dalah polisi Indonesia dari negara merdeka yang demokratis.
Pada tahun 1959 itu, Soekanto –yang menjabat kepala Polisi Negara sejak 1946– ditentang sebagian perwira menengah polisi. Kedinasannya kerap dikait-kaitkan dengan kedekatannya dengan kebatinan di samping Soekanto dianggap tidak tegas saat terjadi Peristiwa PRRI/Permesta dan sikap anti-komunisnya “menyalahi” semangat Nasakom bersatu.
Soekanto tidak tinggal diam. Terhadap tujuh perwira yang menghadap KSAD/Menteri Keamanan Nasional Jenderal Nasution lalu Presiden Sukarno guna menuntut retooling kepala kepolisian, Soekanto mengambil tindakan tegas dengan memanggil mereka namun tak satupun yang mematuhi. Soekanto akhirnya menyiarkannya pandangannya lewat pidato RRI pada 14 Desember 1959.
“Ada sekelompok kecil pejabat Kepolisian yang mengingkari tekad dan kesatuan paham serta bermaksud merusak disiplin dan hierarki yang secara tidak jujur dan rendah dengan menikam tubuh Kepolisian dari belakang,” ujar Soekanto dalam pidato tersebut, dikutip Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan dalam Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo: Bapak Kepolisian Negara RI Peletak Dasar Kepolisian Nasional yang Profesional dan Modern.
Soekanto akhirnya tetap saja terdongkel dari posisinya sebagai orang nomor satu di kepolisian.
Baca juga: Soekanto Dikudeta di Tengah Prahara
“Tanggal 15 Desember 1959 jabatan Menteri Muda Kepolisian Negara RS Soekanto diganti oleh pejabat baru Sukarno Djojonegoro,” catat Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian.
Setelah Soekanto terdongkel, Kepolisian menjadi Angkatan Kepolisian sebagai salah satu dari matra ABRI. Ini baru dapat diwujudkan karena sebelumnya Soekanto selalu menolak kendati peraturannya telah ada mulai dari Penetapan Dewan Pertahanan tanggal 1 Agustus 1947 No. 112 tentang Militerisasi Polisi Negara hingga PP No. 10 Tahun 1958. Semasa di bawah ABRI, kepangkatan perwira menengah, perwira pertama, bintara hingga kopral dalam Kepolisian mirip kepangkatan tentara.
Kebetulan polisi punya Brigade Mobil dan Resimen Pelopor yang dilatih ala ranger Amerika Serikat dalam menghadapi komunis. Dengan dua kesatuan tempur itu, Kepolisian lalu menjadi organisasi militer yang bertindak seperti tentara.
Baca juga: Ketika Resimen Pelopor Menyerang Markas RPKAD di Cijantung
Setelah era Demokrasi Terpimpin, kerja-kerja polisi lebih banyak terganggu oleh politik. Dalam Gerakan 30 September, beberapa personelnya bahkan terlibat. Maka setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) keluar, Kepolisian di bawah Soetjipto Joedodihardjo juga diperintahkan melakukan pembersihan personelnya dari pengaruh G30S yang berimbas pada berkurangnya jumlah polisi. Dalam Militer dan Politik di Indonesia, Harold Crouch mencatat terdapat 713 anggota polisi yang ditendang, kebanyakan polisi rendahan. Dua di antaranya adalah perwira tinggi (jenderal) dan 35 perwira menengah (kolonel-letnan kolonel-mayor). Selain itu, Resimen Pelopor juga dibubarkan.
Di masa Orde Baru, kendati polisi dan tentara aktif tak punya hak pilih, para personel keempat matra ABRI punya wakil di DPR. Mirip dengan Angkatan Darat yang punya Bintara Pembina Desa (Babinsa), Kepolisian juga punya Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang menjadi tingkat terbawah dari struktur teritorial Kepolisian.
Sebagaimana pendahulunya bernama Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas), Bhabinkamtibmas juga dimaksudkan sebagai upaya mendekatkan polisi dengan masyarakat. Sejak lama, Kepolisian telah punya konsep soal pembinaan masyarakat. Kepolisian, misalnya, pernah punya proyek Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Desa (Babinkamtibdes) yang mirip Babinsa milik Angkatan Darat. Menurut Satjipto Rahardjo dalam Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, proyek Babinkamtibdes dirintis di Jawa Tengah lalu diterapkan di seluruh Indonesia.
“ABRI mengontrol desa melalui Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan KAMRA (Keamanan Rakyat), Kepolisian negara mengontrol desa melalui Polisi Pembina Masyarakat,” tulis Tabrani Rusyan dalam Membangun Desa Berprestasi.
Bersama Babinsa yang menjadi tangan terbawah ABRI dalam politik hingga membuat Golongan Karya (Golkar) selalu menang tiap Pemilu semasa Orde Baru, Polisi Pembina Masyarakat akhirnya harus menghentikan aktivitas politiknya begitu gerakan Reformasi menumbangkan rezim Orde Baru. Reformasi mengembalikan tentara ke barak dan menetralkan polisi dari politik kendati belakangan gelagat main politik polisi tercium publik dalam Pemilu 2024.