KEMARAHAN rakyat Prancis yang berujung pada gejolak revolusi tak hanya mengarah kepada Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette. Sejumlah bangsawan lain yang memiliki hubungan dekat dengan pasangan itu juga turut menjadi sasaran massa, salah satunya adalah Putri de Lamballe, teman dan pelayan yang setia kepada Marie Antoinette.
Putri de Lamballe lahir di Turin, 8 September 1749, dengan nama Marie Thérèse de Savoie-Carignan, putri Pangeran Louis-Victor de Savoie-Carignan. Dia menikah dengan Louis-Alexandre-Stanislas de Bourbon, Pangeran de Lamballe, putra tunggal bangsawan Duc de Penthièvre. Keduanya masih belia saat pernikahan digelar pada 1767, Pangeran de Lamballe berusia 20 tahun, sedangkan sang pengantin wanita baru akan menginjak umur 18. Nahas, pernikahan ini tak berlangsung lama karena Pangeran de Lamballe meninggal dunia.
Antonia Fraser dalam Marie Antoinette: The Journey menyebut pernikahan dengan Pangeran de Lamballe nantinya akan mempengaruhi kedudukan sang putri di Istana Versailles. “Dalam kasus Putri de Lamballe, peringkatnya di istana berasal dari pernikahannya dengan keluarga pangeran yang sah, bukan berdasar pada kelahirannya. Menikah lagi dengan orang yang pangkatnya lebih rendah mungkin akan mengorbankan pangkatnya sendiri,” tulis Fraser.
Baca juga:
Marie Antoinette, Ratu Prancis yang Mati Tragis
Pertemuan Putri de Lamballe dengan Marie Antoinette, tak lama setelah calon Ratu Prancis itu menikah dengan Louis, membawa keduanya menjadi teman dekat. Setelah Louis naik takhta sebagai Raja Louis XVI pada 1774, Marie Antoinette menunjuk sang putri yang memiliki sifat sensitif dan sangat perasa itu menjadi salah satu dayang-dayang utamanya. Besarnya perhatian Marie Antoinette terhadap Putri de Lamballe bahkan membuat sang ratu mengaktifkan kembali jabatan Surintendance yang sebelumnya tidak aktif setelah kematian ratu Louis XV pada 1768 untuk diberikan kepada teman dekatnya tersebut.
Menurut John Hardman dalam Marie Antoinette: The Making of a French Queen, Surintendance adalah jabatan agung dan kuno dengan hak untuk memerintah pengeluaran sendiri (en commandement). Tanggung jawab serta pengaruh besar yang dimiliki pemangku jabatan ini membuat sejumlah bangsawan lain mengkritik keputusan Marie Antoinette untuk mengangkat Putri de Lamballe sebagai pengawas urusan rumah tangga sang ratu. “Sebuah keputusan yang segera disesali oleh Marie Antoinette,” tulis Hardman.
Seiring dengan meningkatnya harga bahan makanan dan kesulitan-kesulitan lain yang dihadapi oleh masyarakat Prancis, kritik tak hanya diarahkan kepada kebijakan kerajaan yang dianggap merugikan masyarakat dan perilaku boros Ratu Marie Antoinette, tetapi juga menyasar hubungan raja dan ratu dengan orang-orang terdekatnya. Beragam rumor liar bermunculan, salah satunya bahkan menyebut Marie Antoinette memiliki hubungan asmara dengan Putri de Lamballe. Fraser berpandangan tudingan ini sesungguhnya tidak beralasan, mengingat hubungan persahabatan yang terjalin di antara kedua bangawasan wanita itu merupakan hal yang umum di kalangan wanita muda ketika itu.
“Ketika Marie Antoinette menyapa Putri de Lamballe (dan banyak orang lain, termasuk saudara iparnya, Madame Elisabeth) dengan sebutan ‘sayangku’ dan memanggilnya ‘malaikat’ atau menuliskan ‘hati yang sepenuhnya milikmu’, ia mengikuti tradisi tokoh utama Rousseau, Julie d'étanges, yang menulis surat kepada sahabat karib dan sepupunya, Claire, yang sangat peka, bukannya sangat sensual,” tulis Fraser.
Jalinan persahabatan ini pula yang menurut Paul R. Hanson dalam Historical Dictionary of the French Revolution mendorong Putri de Lamballe tetap berada di dekat Marie Antoinette meski gejolak revolusi tengah memanas di berbagai wilayah Prancis pada 1790-an. Kala itu beberapa bangsawan memilih untuk menyelamatkan diri dengan keluar dari Prancis. Hal ini pun mulanya akan dilakukan oleh keluarga Louis XVI dan Marie Antoinette. Ketika Raja dan Ratu Prancis akan melarikan diri ke Varennes, pada Juni 1791, Putri de Lamballe berangkat dari Boulogne menuju Britania Raya. Namun, saat ia mendengar kabar keluarga raja ditangkap, sang putri memutuskan kembali ke Paris dan mendampingi Marie Antoinette.
Baca juga:
Marie Antoinette, Let Them Eat Cake, dan Revolusi Prancis
Putri de Lamballe pulang ke Paris karena diminta Marie Antoinette. Kendati apa yang dilakukan Putri de Lamballe dianggap sebagai “tindakan patriotik dan ikrar atas komitmennya”, kembalinya sang putri menjadi penyesalan terbesar bagi sang ratu. Pada pertengahan Agustus 1792, Putri de Lamballe yang sebelumnya berada dalam pengawasan ketat bersama keluarga raja dan ratu Prancis di penjara Temple, dipindahkan ke penjara La Force. Setelah dipenjara selama beberapa waktu, Putri de Lamballe dibawa ke hadapan “pengadilan” darurat pada awal September, di mana ia menolak untuk menghina dan menentang raja serta ratu Prancis.
Massa yang marah segera menghukum Putri de Lamballe. Munro Price menulis dalam The Fall of the French Monarchy: Louis XVI, Marie Antoinette, and the baron de Breteuil, tubuh sang putri ditelanjangi dan dimutilasi. Seakan belum cukup, kepalanya pun dipenggal dan ditancapkan pada ujung tombak untuk diarak menuju Temple, tempat Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette ditahan. Teriakan yang sebelumnya samar-samar mulai terdengar jelas ketika massa semakin dekat dengan tempat penahanan keluarga Raja Louis XVI. Sejumlah petugas yang lebih dahulu melilhat kondisi di luar Temple segera menutup jendela agar tak diketahui oleh raja dan ratu. Namun, suara-suara yang begitu riuh telah lebih dahulu menarik perhatian pasangan tersebut. Marie Antoinette membeku ketakutan dan pingsan setelah mengetahui kondisi kawan karibnya tewas mengenaskan. Setelah peristiwa mengerikan di luar Temple itu, Marie Antoinette kerap kedapatan tengah menangis mengingat nasib yang akan menimpa keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Setelah diarak dan dipertontonkan di depan umum, kepala Putri de Lamballe diselamatkan seorang warga bernama Jacques Pointel yang memintanya untuk dimakamkan di pemakaman untuk anak-anak terlantar. Namun, pada akhirnya Duc de Penthièvre, mertua Putri de Lamballe, berhasil menguburkan tubuh dan kepala menantu yang begitu dikasihinya bersama di tanah keluarganya. “Louis XVI-lah yang berbicara di atas batu nisan untuk sang Putri ketika ia mengatakan bahwa perilakunya ‘yang tetap bertahan di sisi kami selama kemalangan menimpa keluarga kerajaan’ –dan ia mungkin menambahkan, ‘bertahan atas nasib malangnya sendiri’– seakan membenarkan pilihan awal Ratu Marie Antoinette untuk memilihnya sebagai teman,” tulis Fraser.*