Marie Antoinette, Let Them Eat Cake, dan Revolusi Prancis
Ungkapan “Let them eat cake” dikaitkan dengan Ratu Marie Antoinette yang dieksekusi mati dalam Revolusi Prancis. Benarkah sang ratu pernah mengungkapkan kalimat tersebut?
UNGKAPAN “Let them eat cake” yang dalam bahasa Indonesia berarti biarkan mereka makan kue merupakan kutipan paling terkenal yang dikaitkan dengan Ratu Marie Antoinette di tengah gejolak Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Dikisahkan, kalimat tersebut diungkapkan sang ratu Prancis sebagai respons atas kondisi rakyatnya yang kelaparan karena kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga memicu terjadinya Perang Tepung di sejumlah wilayah Kerajaan Prancis pada 1775.
Menurut Cynthia A. Bouton dalam The Flour War, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusuhan ini terjadi, di antaranya panen gandum yang buruk pada 1774 hingga memicu kenaikan harga kebutuhan pokok yang tak terelakkan, serta kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan yang diberlakukan pihak kerajaan terkait dengan aturan perdagangan biji-bijian.
Sementara itu, Christopher Cumo menulis dalam Foods That Changed History, pada tahun-tahun sebelum revolusi, kegagalan panen gandum hitam menyebabkan harga roti gandum dari biji-bijian meningkat. Seperti halnya roti gandum ataupun kue, masyarakat Prancis yang sebagian besar masuk dalam golongan kelas menengah bawah tak mampu lagi membeli makanan tersebut untuk mengisi perut yang kosong. Akibatnya, kelaparan terjadi di mana-mana hingga menyebabkan kerusuhan di sejumlah kota Prancis.
“Di sisi lain, status kentang menjadi masalah yang rumit. Kendati seorang dokter dan apoteker Prancis telah menganjurkan penanamannya sejak tahun 1770-an, transisi pertanian seringkali membutuhkan waktu yang lama,” tulis Cumo. “Seandainya orang Prancis mengadopsi kentang dengan cepat, krisis roti mungkin tidak akan terjadi,” tambahnya.
Meski begitu, tak ditemukan bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Ratu Marie Antoinette pernah mengungkapkan kutipan kontroversial tersebut sebagai respons terhadap bencana kelaparan yang dialami rakyatnya. Selain itu, frasa bahasa Prancis ungkapan tersebut adalah Qu'ils mangent de la brioche, yang diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi Let them eat cake. Hal ini dapat dipahami karena brioche, roti beragi yang mengandung telur dan mentega, banyak ditemukan di Prancis.
Menurut Antonia Fraser dalam Marie Antoinette: The Journey, alih-alih mengungkapkan Qu'ils mangent de la brioche, sang ratu justru melontarkan sebuah refleksi tentang tanggungjawab seorang bangsawan dalam korespondensi dengan sang ibu, Maria Theresa, satu-satunya penguasa wanita dalam sejarah Habsburg. “Sudah sepatutnya, bahwa dengan melihat orang-orang yang memperlakukan kita dengan sangat baik meskipun mereka mengalami kemalangan, kita lebih berkewajiban untuk bekerja keras demi kebahagiaan mereka,” tulis sang ratu. Sikapnya ini sangat berlawanan dengan frasa yang dikaitkan kepadanya, di mana Marie Antoinette digambarkan sebagai ratu yang tidak berperasaan dan tidak peduli terhadap rakyatnya.
Sambutan hangat yang ditunjukkan rakyat Prancis kepada Marie Antoinette di masa-masa awal kedatangannya ke Prancis dan pada saat upacara penobatan sang suami, Louis XVI, sebagai raja Prancis sangat menyentuh hati sang ratu. “Seperti yang dikatakan Marie Antoinette kepada ibunya setelah itu, ia terpengaruh oleh ‘sambutan yang paling menyentuh’ dari rakyat dan pengabdian yang nyata yang ditunjukkan kepada raja dan ratu,” tulis Fraser.
Jauh sebelum kalimat Let them eat cake menjadi populer karena dikaitkan dengan Marie Antoinette, sebuah kalimat serupa pernah diungkapkan oleh putri Spanyol Marie Thérèse (1638-1683) yang menikah dengan Louis XIV dari Prancis, satu abad sebelumnya. Kala itu, ia mengungkapkan “jika tidak ada roti, biarkan orang-orang makan kerak (croûte) pâté”.
Selain itu, kalimat serupa juga pernah diungkapkan seorang anggota kerajaan lainnya yaitu Madame Sophie, pada 1751, sebagai respons terhadap saudara laki-lakinya, Dauphin Louis Ferdinand, yang diganggu dengan teriakan “roti, roti” saat berkunjung ke Paris. Di sisi lain, Comtesse de Boigne, yang lahir dan dibesarkan di Istana Versailles sebelum Revolusi Prancis, mengaitkan perkataan itu dengan anggota keluarga kerajaan yang lain yakni Madame Victoire.
“Namun bukti paling meyakinkan bahwa Marie Antoinette tidak bersalah datang dari memoar Comte de Provence, yang diterbitkan pada tahun 1823. Ia mengatakan bahwa makan pâté en croûte selalu mengingatkannya pada perkataan nenek moyangnya, Ratu Maria Thérèse,” tulis Fraser.
Besar kemungkinan ungkapan inilah yang menginsipirasi filsuf Prancis Jean-Jacques Rousseau menuliskan frasa Qu'ils mangent de la brioche ke dalam buku keenam Les Confessions yang ia tulis sekitar tahun 1767. Dalam bukunya itu Rousseau mengisahkan sebuah cerita yang mengaitkan frasa tersebut dengan “seorang putri yang agung”. Meski pada saat itu Marie Antoinette telah lahir di Wina, Austria, wanita kelahiran 1755 itu masih anak-anak, sehingga kecil kemungkinan ia adalah putri yang dimaksud Rousseau.
Beragam rumor mengenai kebiasaan dan perilaku Ratu Marie Antoinette memicu sentimen negatif dari masyarakat. Sang ratu disebut gemar berpesta dan memiliki perilaku boros, sementara rakyatnya berjuang untuk bertahan hidup dari berbagai kebijakan kerajaan yang memberatkan. Pada akhirnya revolusi menjadi tak terhindarkan. Para bangsawan yang sebelumnya tak tersentuh jatuh ke dalam pengadilan rakyat hingga berujung eksekusi mati dengan pisau guillotine.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar