Marie Antoinette, Ratu Prancis yang Mati Tragis
Di awal kehadirannya di Prancis, Marie Antoinette dipuji karena kecantikannya. Namun, perilaku sang ratu yang boros membuatnya menjadi sasaran kemarahan publik yang berujung pada kematiannya di masa revolusi.
RATUSAN tahun sejak kematiannya, Marie Antoinette masih menjadi salah satu tokoh yang kerap diperbincangkan. Ratu Prancis itu memang dikenal memiliki paras cantik dan selera fesyen yang memukau. Akan tetapi pembahasan mengenai sosoknya lebih banyak dikaitkan dengan Revolusi Prancis yang berujung pada jatuhnya kekuasaan sang suami, Louis XVI, dan berujung keduanya dieksekusi mati.
Lahir di Wina, Austria tahun 1755, Marie Antoinette masih begitu muda ketika mengetahui dia akan menikah dengan calon raja Prancis. Sejumlah sejarawan menyebut putri pasangan Kaisar Romawi Suci Francis I dan permaisuri Habsburg yang berkuasa, Maria Theresa, itu baru berumur 14 atau 15 tahun ketika dinikahkan dengan Pangeran Louis, cucu Raja Prancis Louis XV, yang juga masih remaja dan berusia sekitar 16 tahun pada 16 Mei 1770. Pernikahan itu dianggap sebagai pernikahan politis karena bertujuan untuk memperkuat hubungan Prancis dengan Habsburg.
Upacara pernikahan kedua remaja tersebut menjadi salah satu pernikahan yang paling banyak diperbincangkan. Pernikahan yang diselenggarakan di kapel kerajaan di Versailles itu berlangsung mewah dan mengundang lebih dari 5.000 tamu. Penampilan sang pengantin wanita juga mencuri perhatian banyak orang. Menurut Munro Price dalam The Fall of the French Monarchy: Louis XVI, Marie Antoinette and the baron de Breteuil, kecantikan Marie Antoinette membuat banyak orang berdecak kagum dan memuji parasnya.
“Secara lahiriah, putri mahkota yang baru ini memiliki semua yang dibutuhkan untuk menyenangkan opini publik. Ia lincah dan cantik, dengan mata biru yang besar, dahi yang tinggi dan hidung mancung…Kulitnya bagus dan tangan serta lengannya begitu anggun dan berbentuk bagus,” tulis Price. “Meski dia masih sangat muda, karakternya tampak menjanjikan. Ia lincah, penuh semangat, dan berperangai baik, dengan sifat yang lugas dan spontan,” tambahnya.
Lambat laun pujian-pujian kepada Marie Antoinette mulai berganti menjadi kritikan pedas setelah suaminya naik takhta menjadi raja. Kala itu, sentimen negatif terhadap kebijakan yang diterapkan kerajaan tumbuh subur di kalangan masyarakat imbas pemerintahan Raja Louis XV yang tidak pro rakyat.
Menurut Steven L. Kaplan dalam Bread, Politics and Political Economy in the Reign of Louis XV, sentimen negatif ini juga berdampak pada Raja Louis XVI. “Hanya beberapa minggu setelah ia menjadi raja, Louis XVI mendapati dirinya dituduh oleh ‘rakyat’ karena ‘mengambil bagian seperti kakeknya’ dalam keuntungan ilegal dari monopoli biji-bijian,” tulis Kaplan.
Kendati orang-orang terdekat Marie Antoinette menyebut sang ratu memiliki kepekaan terhadap kehidupan rakyat dan orang-orang di sekitarnya, namun perhatian Ratu Prancis itu terhadap mode dan keindahan dianggap berlebihan hingga membuatnya dicap boros. Pada 1776 misalnya, sang ratu menghabiskan biaya mencapai 100.000 livre hanya untuk aksesoris. Jumlah ini hampir menyamai anggaran untuk seluruh lemari pakaiannya yang diperkirakan sebesar 120.000 livre.
Jonathan Beckman menulis dalam How to Ruin a Queen: Marie Antoinette and the Diamond Necklace Affair, pada tahun-tahun awalnya di Prancis, Rose Bertin “Menteri Mode” dan Leonard, penata rambut sang ratu, merakit pouf yang memungkinkan rambut Ratu Marie Antoinette tertata rapi mengarah ke atas. Semua itu dihiasi dengan pita, bunga, bulu dan benda-benda seni berhiaskan permata. Sang ratu juga kerap menghabiskan waktu di arena pacuan kuda yang membuatnya kehilangan hampir 500.000 livre pada 1777. Selain itu, ia tak segan memberikan bantuan dan bersikap royal kepada orang-orang terdekatnya.
Kebiasaan berpesta sang satu menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Koran dan pamflet beredar luas mengolok-olok perilaku boros ratu dan menyebarkan rumor aneh terkait dirinya. Tak butuh waktu lama hingga masyarakat mulai menyalahkan Marie Antoinette atas semua masalah di Prancis.
Di sisi lain, kesulitan yang terjadi di Prancis sesungguhnya tak serta merta disebabkan oleh sang ratu. Perang kolonial pada abad ke-18, khususnya Revolusi Amerika, di mana Prancis ikut campur tangan atas nama para penjajah, menyebabkan negara menumpuk utang yang sangat besar. Gesekan akibat ketimpangan sosial-ekonomi semakin terasa tatkala para bangsawan dan rohaniwan yang memiliki sebagian besar properti di Prancis umumnya tidak perlu membayar pajak atas kekayaan mereka. Sementara rakyat biasa justru dibebankan dengan pajak yang tinggi.
Di saat banyak rakyat Prancis semakin kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, pengeluaran kerajaan yang begitu besar untuk kepentingan raja dan ratu di tengah krisis ekonomi membuat kemarahan rakyat semakin tak terbendung hingga memicu gelombang aksi revolusi. Pada Oktober 1789, massa wanita Paris yang memprotes mahalnya harga roti dan barang-barang lainnya melakukan longmarch ke Versailles dan meminta seluruh keluarga kerajaan kembali ke Paris, di mana para bangsawan itu menjadi sandera gerakan revolusi.
Terancam oleh revolusi rakyat, Louis XVI dan Marie Antoinette berencana melarikan diri pada 1791. Namun, mereka tertangkap pasukan Revolusioner di Varennes dan dibawa kembali ke Paris. Di tengah kemelut di dalam negeri, posisi sang ratu semakin terdesak ketika Prancis menyatakan perang terhadap Austria, negara kelahirannya, pada April 1792. Marie Antoinette mencoba berbagai upaya untuk mencegah perang itu. Namun, intrik yang dilakukan sang ratu justru membuat rakyat Prancis semakin membencinya hingga menyebutnya sebagai pengkhianat. Hal ini pula yang mendorong terjadinya penyerbuan Istana Tuileries dan penggulingan monarki pada 10 Agustus 1792.
Ratu Marie Antoinette menghabiskan sisa hidupnya di penjara Paris. Setelah suaminya, Louis XVI dieksekusi mati dengan pisau guillotine pada 21 Januari 1793, Marie Antoinette pun dibawa ke hadapan pengadilan revolusi pada 14 Oktober 1793, di mana dua hari kemudian dia menemui ajalnya dengan pisau guillotine.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar