STUDI tentang revolusi Indonesia acapkali merujuk pada karya sepasang Indonesianis terkemuka: George Mcturnan Kahin dan Bennedict Anderson. Keduanya adalah guru dan murid yang sama-sama berkhidmat di Cornel University. Karya mereka disebut-sebut sebagai kitab babon dalam kajian sejarah Indonesia periode 1945-1949 maupun nasionalisme di Asia Tenggara.
Kahin dalam disertasinya, Nationalism and Revolution in Indonesia (alih bahasa: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia), menekankan peran elite nasional seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir dalam menentukan arah perjuangan revolusi Indonesia. Sementara itu, Ben Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (alih bahasa: Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944—1946) lebih menonjolkan lakon kelompok-kelompok revolusioner pemuda, militer, dan partai politik di panggung revolusi. Berbeda dari dua pendahulunya, John Sidel, yang masih muridnya Ben Anderson, dalam karya terbarunya Republicanism, Communism, Islam: Cosmopolitan Origins of Revolution in Southeast Asia (alih bahasa: Republikanisme, Komunisme, Islam: Asal-usul Kosmopolitan Revolusioner di Asia Tenggara), menawarkan perspektif yang baru.
“Bukan pembentukan negara modern dan kebangkitan nasionalisme, tapi perdagangan internasional lintas samudra, perkembangan kapitalisme, dan koneksi atau keterhubungan kosmopolitan yang berperan sebagai motor pendorong sejarah, pendorong perubahan, dan asal mula revolusi,” terang Sidel dalam diskusi dan peluncuran bukunya yang diselenggarakan Islami.co di Outliar Cafe, Tangerang Selatan (9/7).
Baca juga: Ben Anderson, Pakar Asia Tenggara Penutur Banyak Bahasa
Dalam analisisnya menyoal revolusi di Indonesia, Sidel berangkat dari perspektif global dan komparatif. Dia menekankan kemelekatan Nusantara dalam sirkuit ekonomi dunia serta bentuk-bentuk keterhubungan yang menalikannya secara kultural, intelektual, dan politik dengan negeri-negeri lain di seluruh Asia Tenggara, Samudra Hindia, dst. Keterhubungan kosmopolitan itu bermula dari transformasi infrastruktur yang mempermudah mobilisasi hingga mendatangkan diaspora India, Cina, dan Arab dari Hadramaut pada pertengahan abad ke-19. Dari integrasi tersebut kemudian lahir jaringan kosmopolitan Islamisme dan Komunisme yang menjadi pendorong revolusi pasca-kolonial di Indonesia.
Memasuki dekade kedua abad ke-20, jaringan kosmopolitan Islam sudah sedemikian mapan. Ia ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan pesantren maupun organisasi politik seperti Sarekat Islam (SI). Dalam konteks sosial dan politik, kosmopolitan lama itu menyediakan akses untuk menghubungkan desa dengan kota, kota dengan kota, termasuk Indonesia dengan negeri lain. Sementara itu, pada saat bersamaan, muncul pula pembentukan kelas sosial di tengah masyarakat Hindia Belanda antara kelas kapiltalis lokal yang berasal dari peranakan Cina dan kelas pekerja. Petani kecil, kuli perkebunan, buruh keretaapi yang didominasi rakyat pribumi memperlihatkan gejala proletariat klasik dalam pola pikir Marxis.
“Kondisi ini memungkinkan bentuk dan pola kegiatan serta mobilisasi atas nama Islam di satu sisi, dan Sosialisme dan Komunisme di sisi lain yang jauh lebih mengesankan daripada yang ada di negeri lain di Asia Tenggara,” kata Sidel.
Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia
Sidel berpendapat bahwa Islam dan Komunisme menjadi penyangga krusial jalannya revolusi Indonesia. Siginifikansi itu terbukti dari komposisi dan kepemimpinan pemerintahan Republik selama periode 1945-1949. Kabinet pemerintahan begitu kentara isinya dengan orang-orang dari Masyumi --yang waktu itu merepresentasikan Muhammadiyah juga Nahdlatul Ulama– dan sayap kiri besutan Amir Sjarifuddin, yang mengklaim keanggotaan dalam PKI.
Di lapangan aksi, terbentuk pula barisan kelaskaran yang berafiliasi dengan kekuatan partai Islam maupun gerakan sayap kiri. Di beberapa daerah di Jawa dan Sumatra, mereka bahkan memimpin revolusi sosial yang jadi tonggak keruntuhan kuasa aristokrasi lokal. Di luar Indonesia, Islam dan Komunisme menjadi dasar untuk simpati, solidaritas, dan dukungan bagi revolusi Indonesia. Seperti misalnya di Australia, Singapura, dan Mesir yang menyatakan pengakuan atas kedaulatan Indonesia maupun reaksi penolakan terhadap agresi Belanda.
“Bahwa Komunisme dan Islam, serta organisasi turunannya bukanlah pengkhianat revolusi seperti digambarkan dalam sejarah resmi Indonesia, tapi justru unsuran kunci yang sangat penting,” ungkap Sidel. ”Tanpa Islam dan tanpa Komunisme, perjuangan Republik untuk kemerdekaan itu jauh lebih lemah.”
Baca juga: Pasal Karet Larangan Penyebaran Komunisme
Namun, paduan kekuatan kosmopolitan itu terputus setelah melewati babakan revolusi. Kontestasi politik antara keduanya turut mewarnai riak dan gejolak di dalam negeri. Kekuatan Islam yang semula menjadi ikon kosmopolitan lama beralih jadi medioker karena terasosiasi dengan radikalisme pemberontakan di sejumlah daerah. Sementara itu, Komunisme melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat melesat sebentar hingga akhirnya hancur sebagai ideologi dan pengikutnya habis ditumpas oleh negara lewat alatnya yang bernama militer.