Ben Anderson, Pakar Asia Tenggara Penutur Banyak Bahasa
Kelebihan Ben adalah penguasaan bahasa dari negeri yang dia kaji. Jeli dalam melihat persoalan
SAYA mengenal Ben Anderson secara pribadi. Dengannya, saya biasa ngobrol tentang banyak hal, misalnya bahasa, politik, masak memasak dan terutama musik klasik. Ben Anderson paling suka karya Richard Strauss berjudul Vier Letzte Lieder dinyanyikan oleh Lisa della Casa, tapi paling benci Beethoven. Berikut kenangan saya tentang seorang sobat yang ditulis cepat-cepat.
Benedict Richard O’Gorman Anderson (1936-2015) kita kenal sebagai seorang Indonesianis, pakar Indonesia yang pertama mempertanyakan versi Soeharto dalam peristiwa G30S. Tulisan yang dimuat di dalam Cornell Paper itu menyebabkannya dilarang masuk ke Indonesia selama seperempat abad lebih oleh rezim Orde Baru. Lantaran, atau lebih tepat lagi berkat pencekalan itu, Ben Anderson melebarkan sayap, beralih menekuni Thailand dan Filipina.
Kepakarannya atas tiga negara Asia Tenggara itu terbukti dengan bukunya yang terbit tahun 1998, berjudul The Spectre of Comparisons. Dalam buku itu Ben membentangkan betapa dia benar-benar teliti dan ahli dalam tiga negara Asia Tenggara, masing-masing Indonesia, Thailand, dan Filipina. Bab-bab dalam buku itu menguraikan hal-hal yang belum pernah dipikirkan dengan matang oleh pakar Indonesia (tentang berakhirnya pendudukan Orde Baru atas Timor Leste), pakar Filipina (tentang bagaimana bapak bangsa Jose Rizal memperoleh gagasan dalam menulis dua novelnya) dan pakar Thailand (tentang lemahnya borjuasi negeri itu walaupun Thailand tidak pernah mengalami penjajahan).
Tidak ketinggalan dalam buku itu Ben Anderson tentunya juga berkisah tentang nasionalisme, topik lain yang begitu ditekuninya. Dan memang dia menjadi terkenal di seluruh dunia karena kajian nasionalisme yang sangat berpengaruh, bukunya Imagined Communities sudah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, terakhir pemimpin Kurdi Abdullah Öçalan konon sangat tertarik pada buku ini.
Kemudian Ben Anderson secara khusus juga menulis buku tentang tiga negara yang dipelajarinya itu. Tentang Indonesia, kita tahu dia menulis Revoloesi Pemuda, buku pertamanya yang terbit pada tahun 1972 (terjemahan Indonesia terbit 1988). Tentang Thailand dia menulis The Fate of Rural Hell (2012) dan tentang Filipina Anderson menulis Under Three Flags (terbitan 2005) yang tahun ini terbit terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Di Bawah Tiga Bendera.
Sebagai orang yang pernah mendesak Ben Anderson supaya segera menerbitkan buku itu, saya punya cerita khusus yang mudah-mudahan menarik untuk diungkapkan. Tetapi sebelum itu ada satu hal yang menurut saya merupakan dasar penting bagi Ben Anderson untuk bisa benar-benar menjadi pakar Indonesia, Thailand dan Filipina secara bersamaan. Apalagi karena tidak ada satupun ilmuwan di mana-mana yang bisa memiliki kepakaran dobel-dobel seperti itu.
Menurut saya dasar bagi kepakaran Ben Anderson yang tak tertandingi oleh siapapun ini adalah kefasihannya dalam berbahasa Indonesia, Thai dan Tagalog. Dalam hal ini Ben memang seorang polyglot tulen, apalagi kalau mengingat bahwa selain tiga bahasa itu dia juga masih fasih berbahasa Inggris (bahasa ibu), bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Prancis dan terakhir yang dipelajarinya sendiri, bahasa Spanyol. Dia juga mengaku pernah belajar bahasa Rusia. Di Bangkok, kalau keluar makan berdua (atau bertiga tapi yang Asia cuma saya), maka pelayan restoran selalu mendekati saya, tanya mau pesan apa. Tentu saja karena mereka menganggap bahwa saya bisa berbahasa Thai. Pada saat itu Ben akan nyeletuk dalam bahasa Thai yang lucu bahwa pelayan rumah makan harus datang ke dia, karena saya yang didekati oleh sang pelayan adalah Thai gadungan, begitu guraunya. Tentu saja si pelayan terpingkal-pingkal. Dari sini saya paham betapa fasih Ben berbahasa Thai.
Satu ketika saya pernah bertemu dengannya di Bangkok (kami tidak pernah bertemu di Indonesia) ketika dia baru tiba dari Manila. Pada saat itu dia berkata kepada saya bahwa dia harus hati-hati berbicara bahasa Indonesia, karena banyak miripnya dengan bahasa Tagalog. Setelah beberapa saat di Manila tentu saja dia sudah terbiasa dengan bahasa ini. Tapi hanya sekali dia salah omong, dan segera dikoreksinya dengan berujar “wrong language”, salah bahasa. Sejak itu tak sekalipun dia salah dalam berbahasa Indonesia dengan saya.
Kami paling sedikit menggunakan tiga bahasa, selain bahasa-bahasa Inggris dan Indonesia, dia selalu minta disegarkan bahasa Belandanya. Nah, kefasihan Ben akan bahasa-bahasa Thai, Indonesia dan Tagalog itu merupakan dasar yang kokoh baginya untuk menekuni tiga negara itu lebih lanjut. Dan selalu dalam penekunannya Ben Anderson menemukan topik-topik baru yang belum pernah ditekuni oleh ilmuwan-ilmuwan setempat.
Yang istimewa adalah bahasa Spanyol, ini tampaknya merupakan salah satu bahasa terakhir yang ditekuninya. Istimewa karena dia belajar sendiri, tanpa guru resmi dan kalaupun ada gurunya maka dia belajar berbicara dengan para penutur asli Spanyol, dari Eropa maupun Amerika Latin. Ben mengaku belajar bahasa Spanyol untuk membaca dua novel karya José Rizal, Noli me tangere dan El filibusterismo. Maklum Rizal menulis kedua novelnya dalam bahasa penjajah awal Filipina, yaitu Spanyol. Yang lebih penting lagi dia tidak puas dengan terjemahan bahasa Inggris kedua karya bapak bangsa Filipina itu.
Beberapa kali Ben mengirim artikel-artikelnya tentang Filipina kepada saya sebelum dipublikasikan. Saya hanya bisa membacanya dan bertanya sana sini, bukan berkomentar karena apalah yang saya ketahui tentang negara tetangga sebelah utara ini. Tapi saya memberanikan diri untuk menulis kepadanya bahwa artikel-artikelnya tentang Filipina itu layak dihimpun dijadikan buku. Tentu saja harus dipikirkan satu kerangka teori tertentu yang bisa merupakan payung untuk mencakupkan beberapa artikel itu dalam satu buku.
Saya memahami pokok pembahasan Ben Anderson dalam masalah Filipina itu sebagai bagaimana orang terjajah di Asia Tenggara belajar teori kiri di negeri induk Eropa. Kalau mulai abad 16 orang Eropa sudah berangkat ke Asia Tenggara untuk menjajahnya, maka pada abad 19 sebaliknyalah yang terjadi: orang Asia Tenggara (dalam hal ini Rizal) berangkat ke Eropa untuk belajar teori-teori anti kolonialisme yang kebanyakan adalah teori-teori kiri, baik itu marxisme, anarkhisme maupun lainnya.
Tapi di sini ada perkecualian yang menarik, karena ternyata ada orang kiri Eropa yang ke Asia Tenggara pada abad 19 itu. Tokoh itu tidak lain adalah penyair Prancis Arthur Rimbaud (1854-1891) yang sempat menjadi penghuni komune Paris yang terkenal itu. Sebagai prajurit bayaran yang harus menaklukkan Aceh, Rimbaud pernah menjalani latihan militer di Salatiga hanya untuk akhirnya melakukan desersi.
Di sinilah terjadi adu pendapat yang cukup seru antara saya dengan Ben Anderson. Pertama karena dia tidak percaya Rimbaud pernah ke Hindia Belanda. Jadi saya harus terlebih dahulu membuktikan kepadanya bahwa memang ada tulisan tentang Rimbaud ke Salatiga. Waktu itu saya tidak punya tulisan tentang ini, saya tahu dari sebuah acara Radio Nederland seksi bahasa Prancis tentang perjalanan Rimbaud ke Batavia dan terus ke Semarang akhirnya ke Salatiga.
Waktu itu hampir saja saya merasa harus merekam dalam kaset siaran itu untuk dikirim kepada Ben Anderson, kalau seorang teman Belanda tidak menunjukkan biografi Arthur Rimbaud yang dalam bahasa Inggris, karya Graham Robb. Untung di situ ada satu bab khusus yang membahas perlawatan Rimbaud ke Salatiga. Segera bab itu saya fotokopi dan kirim melalui fax kepada Ben yang waktu itu ada di Bangkok.
Sejak itu pembicaraan kami tentang rencana bukunya makin asyik. Yang jelas kalau Revoloesi Pemoeda ditujukan kepada pembaca Indonesia, maka Di Bawah Tiga Bendera ditulis khusus untuk pembaca Filipina. Maka sempurnalah kepakaran Ben Anderson, paling sedikit tiga buku sudah ditulisnya untuk khalayak pembaca Indonesia, Filipina dan Thailand. Sayang perlawatan Arthur Rimbaud ke Salatiga tidak begitu cocok dengan kerangka umum Di Bawah Tiga Bendera. Tapi Ben menyediakan satu catatan kaki tentangnya dan di situ dengan murah hati dia berterima kasih kepada saya. Terima kasih yang abadi karena tertera dalam tulisan, apalagi karena dia sekarang sudah menghadap sang khalik.
Terima kasih Ben Anderson atas semuanya, mulai dari perkenalan di Freeville tahun 1991 sampai persahabatan selama hampir seperempat abad ini.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar