Masuk Daftar
My Getplus

Kekerasan pada Anak Tempo Dulu

Mulai dari zaman kolonial hingga era milenial; dari zaman penjajahan hingga Indonesia merdeka menjelang 79 tahun. Anak-anak selalu menempati posisi rentan mengalami perlakuan kekerasan.

Oleh: Martin Sitompul | 12 Agt 2024
Anak-anak bersama ibunya di Desa Kerithian di Sumatra Barat di zaman kolonial Hindia Belanda. Sumber: Tropen Museum.

ANAK-ANAK semestinya mendapat perlindungan dan perlakuan yang aman dan nyaman baik dari orang tuanya sendiri maupun orang dewasa di sekitarnya. Namun, yang terjadi belakangan ini justru sebaliknya. Berita berseliweran tentang kekerasan pada anak, bahkan ada yang berujung pada kematian. Tentu masih segar dalam ingatan, kasus Dante, bocah berusia enam tahun yang ditenggelamkan di kolam renang hingga tewas oleh Yudha Arfandi, yang tidak lain merupakan kekasih dari selebgram Tamara Tyasmara, ibunda Dante.

Belum lama ini, pemilik tempat penitipan anak (daycare) Wensen School di Cimanggis, Depok bernama Meita Irianty harus berurusan dengan hukum karena menganiaya anak di penitipannya. Dalam rekaman CCTV, Meita terlihat memukul, menginjak bayi berusia sembilan bulan hingga mengalami dislokasi kaki. Dia juga kedapatan menganiaya anak berusia tiga tahun.

Yang terbaru, tempat penitipan anak Early Step Daycare di Pekanbaru juga melakukan kekerasan pada anak titipannya. Inipun sama parahnya. Dalam video yang beredar di media sosial, terlihat seorang pengasuh yang juga pemilik penitipan melakban kaki anak balita. Selain dilakban, anak dalam penitipan juga tidak diberi makan dan minum dengan alasan supaya tidak buang air besar maupun kecil. Entah apa isi otak manusia-manusia begini sehingga memperlakukan anak-anak sedemikian sadis.

Advertising
Advertising

Baca juga: Eksploitasi Anak di Kebun Tembakau Deli

Seolah mata rantai yang tiada berputus, kekerasan pada anak juga marak terjadi di masa kolonial. Paling banyak terjadi pada dekade 1930-an. Hampir setiap bulan, koran-koran memberitakan tentang kekerasan, pelecehan, dan penganiayaan pada anak-anak (kindermishandeling). Skalanya mulai dari kekerasan kecil hingga pembunuhan.

Di Sidodadi, Jawa Timur, seorang wanita pribumi dikabarkan menyiramkan air mendidih ke arah dua anak. Siraman air panas mengakibatkan luka bakar pada bahu dan dada anak-anak malang itu. Tidak dibentangkan apa penyebab wanita tersebut menyiramkan air mendidih kepada anak-anak.

“Untungnya, penganiayaan terhadap anak-anak kecil ini berakhir tanpa konsekuensi serius, namun perempuan tersebut akan dibawa ke pengadilan,” kata De Indische Courant, 8 November 1930.

Baca juga: Pulau untuk Anak Terlantar

Beberapa bulan berselang, tindak penganiayaan anak terjadi di Solok, Sumatra Barat. Di Kampung Karambil, polisi menerima laporan tentang seorang anak berusia tujuh tahun yang mendapat perlakuan kekerasan serius dari pengasuhnya. Setelah ditelusuri, komandan polisi setempat menemukan seorang anak kecil di sebuah kolam berukuran 1,30x1,20x1,36 meter dalam keadaan kotor dan terkontaminasi parah. Kemungkinan sang anak telah sering dikurung di tempat yang lebih menyerupai kandang binatang itu.

“Anak tersebut ternyata yatim piatu dan dianggap idiot. Pengasuh tersebut segera ditempatkan dalam penahanan preventif dan akan diadili,” demikian diberitakan De Indische Courant, 22 Januari 1931.

Si pengasuh berdalih, tindakan pengurungan seperti itu dilakukan karena penyakit mental anak tersebut. Kendati demikian, apapun alasannya, penyelidikan lebih lanjut akan mengungkap motif lain di balik perbuatan tidak manusiawi itu. Sayangnya, lanjut De Indische Courant, “Pemerintah (kampung) juga sudah mengetahui kasus ini, namun tampaknya tidak menganggap perlu untuk memberitahu inspektur atau polisi.”

Baca juga: Pengasuh Anak di Masa Kolonial

Pada pengujung 1931, koran-koran Hindia Belanda memberitakan tentang seorang anak yang disiksa ibu tirinya di Surabaya. Sophia Margaretha de Lang, dilaporkan menganiaya putri tirinya Maria “Marietje” Caecilia di rumah dinas suaminya di perusahaan “Soembermoedjoer”, Lumajang pada April 1929. Kasus ini baru ketahuan setelah Marietje dikirimkan ke sekolah asrama di Probolinggo. Suster di sekolah dan asrama mendapati luka-luka pada sekujur tubuh Marietje. Setelah diselidiki, Marietje mengaku mendapat kekerasan dari ibu tirinya.

Marietje yang berusia 5 atau 6 tahun itu menderita luka permanen pada hidungnya karena benda tajam. Selain itu, Marietje juga mengalami kekejaman berulang-ulang seperti dipukuli, ditendang, tidak diberi makan, dijambak sampai rambutnya putus, disiram air panas, hingga dikucek matanya dengan cabe.

Sophia menyangkal tuduhan penganiayaan. Dia mengaku mencambuk Maritje yang memakan bubur saudara tirinya, yang tak lain anak kandung Sophia. Sophia kemudian memukul Maritje dengan rotan.

“Akibat penganiayaan tersebut, anak yang penuh luka dan bekas luka tersebut jatuh sakit parah dan harus dirawat di fasilitas Kesehatan di Lumajang pada 26 April hingga 13 Mei,” dilansir Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 7 Oktober 1931.

Baca juga: Penganiayaan Berat Aktivis Mahasiswa Zainal Zakse

Kejadian yang lebih memilukan lagi terjadi di dekat Kuala Simpang, Aceh Tamiang, pada 1932. Kasus ini terbilang kekerasan dalam rumah tangga. Karena bukan hanya anak, sang ibu juga korban penganiayaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga yang gelap mata.

Insiden berawal ketika sang anak yang berusia 12 tahun merengek meminta dibelikan baju baru pada ayahnya. Sebagaimana anak-anak kebanyakan, anak ini ingin baju baru karena melihat teman-temannya memakai baju baru. Mendengar rengekan itu, sang ayah yang baru kalah judi dadu menjadi marah dan menyeret anaknya.

Tak tega melihat anaknya nangis diseret, sang ibu menegur suaminya. Teguran itu malah membuat amarah suaminya meluap. Dia mengambil palu dan memukulkannya kepada istrinya sampai pingsan. Anaknya kemudian diikat di pohon karet. Beberapa helai lalang dia masukan ke dalam mulut anaknya untuk mencegah suara tangisan. Masih belum puas dengan itu, sang ayah memasukkan lagi saputangan ke mulut anaknya. Sebelum ayah biadab ini berhasil, anaknya mengerahkan seluruh tenaganya dan berteriak. Teriakan itulah yang akhirnya mengundang perhatian warga sekitar kampung. Orang-orang bergegas menuju sumber teriakan anak laki-laki tersebut. Namun sesampainya di lokasi, anak malang itu sudah meninggal dunia.

“Saat polisi tiba di lokasi kejadian, sang ayah sudah menunggu dengan senjata di tangan, namun saat diancam dengan senjata, ia menyerahkan diri. Jenazah anak tersebut dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi,” demikian diberitakan De Sumatra Post, 22 Februari 1932.

Baca juga: Cita-Cita Favorit Anak-Anak Tiap Zaman

Kasus-kasus tersebut hanyalah segelintir kejadian kekerasan pada anak di zaman kolonial. Memasuki paruh kedua 1930, berita kekerasan pada anak-anak malah lebih banyak lagi. Pelakunya kebanyakan justru dari kalangan orang-orang terdekat, mulai dari pengasuh, orang tua tiri, hingga orang tua kandung. Ini membuktikan, mau zaman penjajahan Belanda ataupun zaman Indonesia merdeka, anak-anak tetap saja rentan mengalami kekerasan. Budaya kekerasan ini mesti diputus untuk generasi penerus yang lebih baik. Jadi, mulai sekarang stop kekerasan pada anak!

TAG

anak-anak kekerasan-anak hindia belanda

ARTIKEL TERKAIT

Desa Bayu Lebih Seram dari Desa Penari Saat Ringo Starr Turut Mempopulerkan Thomas & Friends Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Nostalgia Si Unyil, Hiburan Anak-anak di Zaman Orde Baru Aksi Tentara Semut di Zaman Revolusi Papa T. Bob dan Lagu Anak Om Sjahrir dan Anak-Anak Banda Neira Awal Mula Kemunculan Permainan Scrabble Kekalahan Besar Janssens Menghirup Sejarah Ngelem Aibon