FOTO dari masa kolonial itu menampilkan sesosok perempuan bumiputera sedang berdiri sambil menggendong bayi kulit putih. Dia mengenakan kain jarik dan kebaya tapi tanpa alas kaki. Bayi kulit putih dalam gendongannya tersenyum ke arah kamera. Bayi itu digendong menggunakan kain jarik sambil dipayungi.
“Dari arsip foto, banyak bukti bahwa anak Belanda diasuh oleh babunya,” ujar peneliti sejarah Galuh Ambar Sasi kepada Historia. Di era kolonial memang banyak orang Belanda memasrahkan anak mereka untuk diasuh orang lain, semisal diasuh oleh babu mereka.
Orang-orang yang lahir di Hindia-Belanda, tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia, biasanya tak mampu atau terlalu malas untuk mengasuh dan membesarkan anak sendiri. Segera setelah anaknya lahir, orangtua Belanda memberikan anak itu kepada pengasuh kulit hitam atau pada salahsatu budak-budak perempuannya untuk diasuh.
Baca juga: Kisah Pengorbanan Seorang Babu
Banyaknya waktu yang dihabiskan anak-anak kulit putih dengan para pengasuh membangun ikatan batin yang kuat. Akibatnya, banyak anak Belanda lebih memilih berada di dekat para pengasuh kulit hitam atau budak laki-laki dan perempuan ketimbang berada di dekat orangtua mereka.
“Di mata anak-anak Eropa, pengabdian baboe untuk mereka adalah tak terbatas,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas. Hal itu menjadi alasan bagi banyak keluarga Belanda membawa babu mereka ketika pulang ke negerinya.
Galuh menjelaskan bahwa anak yang diasuh babu seringkali merasakan romantisme ketika mengenang para pengasuhnya. Seperti yang dilakukan Rob Nieuwenhuys ketika mengenang pengasuhnya, Nenek Tidjah. Rob bahkan ingat bau tubuh, kebaya, juga kain jarik yang sering dipakai Nenek Tidjah.
Baca juga: Kisah Pinah, Babu Bumiputra yang Bikin Belanda Gempar
Namun, romantisme yang dirasakan Rob ternyata tidak dirasakan pengasuhnya. Para pengasuh mengingat tugas itu sebagai tugas berat yang penuh aturan dari majikan. “Majikan menetapkan aturan hal yang boleh dan tak boleh untuk anaknya. Belum lagi mengurus anak itu sehari penuh, anak para babu sendiri akhirnya kurang terurus,” kata Galuh.
Karena dibesarkan para babu, anak-anak Belanda mengadopsi tingkah laku para pengasuh berikut kebiasaan-kebiasaan mereka. Beberapa anak Belanda kemudian mampu berbicara bahasa Malabar, Sinhala, Benggali, dan Portugis pasar seperti para budak yang menjadi penagsuhnya.
“Dan ketika mereka beranjak dewasa, mereka kesulitan berbahasa Belanda dengan baik dan benar tanpa mencampurkan dengan bahasa Portugis ke dalamnya,” tulis Jean.
Baca juga: Riwayat Tempat Penitipan Anak
Anak-anak yang mengikuti kebiasaan pengasuhnya dan kesulitan berbahasa Belanda menjadi perhatian para pelancong Belanda. Mereka mencemooh fenomena ini dan menyebutnya sebagai sebuah kemunduran. Akibatnya, para orangtua Belanda tidak lagi memercayakan sepenuhnya pengasuhan anak kepada pelayan bumiputera. Mereka mencari pengasuh anak dan guru yang menguasai bahasa Eropa.
Iklan-iklan pada abad ke-19 menjadi bukti upaya para orangtua mencarikan pengasuh yang lebih berpendidikan. Para orangtua Belanda sebisa mungkin tidak memasrahkan anak mereka untuk diasuh babu. Iklan yang dikutip Jean ini menjadi bukti: "Dicari: pengasuh anak, lebih diinginkan orang Eropa untuk mengasuh dua anak.”
Pada banyak iklan memang tidak diwajibkan para pelamar memiliki ijazah mengajar, tapi para pelamar diharuskan memiliki kemampuan berbahasa Eropa seperti Belanda dan Prancis. Beberapa keluarga bahkan menginginkan pengasuh anak yang pernah mengecap pendidikan di Eropa atau lahir di Eropa dan beragama Kristen. Syarat pelamar untuk memiliki kemampuan bermusik juga sering ditemui lantaran di masa itu kemampuan bermain musik jadi salah satu penanda status sosial.*