Masuk Daftar
My Getplus

Cita-Cita Favorit Anak-Anak Tiap Zaman

Zaman mempengaruhi cita-cita anak-anak. Jadi dokter dari dulu tetap favorit. Kini, anak-anak ingin jadi Youtuber.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 19 Jul 2019
Anak-anak beragam bangsa berkumpul di sebuah taman di Bandung pada 1930-an. (wikimedia.org).

Tahun ajaran baru dimulai. Anak-anak kembali ke sekolah. Sebilangan mereka masuk kelas baru. Sebagian lainnya menapak jenjang pendidikan baru. Di jenjang baru inilah mereka sering ditanya oleh guru tentang cita-citanya. Jawabannya beragam. Dari ingin menjadi dokter sampai youtuber. Ada profesi klasik, ada juga profesi baru.

Pada masa kolonial, anak-anak dari kalangan anak negeri tak punya banyak cita-cita. Mereka hanya bercita-cita melanjutkan kerja orangtuanya sebagai petani, kuli kebun, buruh pabrik, atau pedagang.

Hindia Belanda terbuka bagi modal swasta sejak 1870. Perkebunan dan pabrik muncul di Sumatra dan Jawa. Kebutuhan terhadap kuli kebun dan buruh pabrik meningkat. Tetapi tidak dengan harapan orangtua dan cita-cita anak-anak.   

Advertising
Advertising

Orangtua mereka tahu ada profesi selain petani, kuli kebun, buruh pabrik, dan pedagang. Ada pejabat, pegawai negeri (pangreh praja), guru, dan mantri cacar. Tapi mereka sadar bahwa anak-anak mereka perlu peluang untuk menggapainya. Peluang itu berupa pendidikan.

Generasi Kolonial

Saat itu pendidikan terbatas untuk sebagian kecil anak negeri berstatus keluarga bangsawan atau priayi. Sebab itulah, orangtua mereka turut meredam harapan tingginya pada anak-anak. Ini berpengaruh pula terhadap cita-cita anak-anak. Mereka terbiasa hidup realistis dan wajar.

Perubahan terjadi memasuki abad ke-20. Pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan Politik Etis. Salah satu wujudnya dengan membuka akses pendidikan secara lebih luas untuk kalangan anak negeri.

Sekolah-sekolah swasta dan negeri mulai berdiri di banyak tempat dan menerima lebih banyak kelompok anak negeri. Tak hanya untuk anak-anak keluarga priayi dan bangsawan, melainkan juga untuk anak-anak dari keluarga jelata. Tetapi mereka tidak bercampur dalam satu sekolah. Masing-masing masuk sekolah sesuai lapisan sosial dan rasialnya.

Seringkali pembagian strata sekolah ini menimbulkan kesan heran pada diri anak-anak.   

“Seorang anak pangreh praja yang religius terheran-heran oleh perbedaan HIS-nya (Hollandsch-Inlandsche School) yang mentereng dan madrasahnya yang berlantai tanah dengan anak-anak kampung yang tak bersepatu dan lalu lalang sementara ustaz mengajar,” tulis Aswab Mahasin dalam Perjalanan Anak Bangsa: Asuhan dan Sosialisasi dalam Pengungkapan Diri.

Kehadiran beragam sekolah mengubah orientasi para orangtua. Mereka percaya pendidikan di sekolah anak-anaknya kelak mampu mengerek taraf hidup anaknya lebih tinggi dibandingkan orangtuanya. Mereka berharap sang anak bakal bekerja sebagai pegawai rendahan di kantor milik pemerintah atau swasta. Dapat gaji bulanan dan sejumlah fasilitas.

Baca juga: Pegawai Negeri Bukan Priyayi

Bagi anak-anak, sekolah menjadi tempat mereka berinteraksi. Di sini mereka mengenal anak dari keluarga lain yang status sosialnya setara. Mereka juga belajar tentang dunia yang lebih luas daripada selingkaran sawah, kebun, dan pasar. Cita-cita mereka pun naik lebih tinggi sesuai harapan orangtua dan perkembangan lingkungannya.

Masa kemerdekaan menandai tonggak penting perluasan cita-cita anak-anak. Dari tadinya ke pegawai kantor negeri atau swasta menuju ke aneka profesi.

Tak ada lagi sekat sosial dan rasial di sekolah. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan pendidikan sebagai hak setiap warga negara. Setiap orang pada masa kemerdekaan boleh bersekolah selama mempunyai kemampuan membayar dan mengikuti pelajaran.

Ekonomi negara juga mulai bergerak. Universitas dan sekolah tinggi bertumbuh lebih banyak. Perniagaan baru bermunculan dan menciptakan keanekaragaman profesi. Orangtua tak lagi terkungkung pada harapan anak-anaknya kelak hanya menjadi pegawai kantoran, melainkan juga ada harapan agar anaknya menjadi dokter, tentara, insinyur, ahli hukum, dosen, dan guru.    

Sekolah masa kemerdekaan berperan mengintegrasikan anak-anak dari beragam lapisan sosial. Tidak seperti pada zaman kolonial, hubungan mereka pada masa kemerdekaan melintasi batas primordial. Pada gilirannya interaksi ini mengubahsuaikan kembali cita-cita mereka seiring semangat zaman.

“Seorang anak pedagang kecil memperoleh cita-citanya jadi orang berilmu dari temannya yang anak pegawai tinggi dan mulai mengalihkan orientasi dagang ke orientasi priayi,” catat Mahasin.

Tenaga Ahli

Keberagaman cita-cita anak-anak kian terang ketika sekelompok sarjana mengadakan riset di Bandung, Jawa Barat, pada November 1959. Mereka menyebarkan angket kepada 1.451 anak usia sekolah dari tingkat dasar hingga menengah atas tentang profesi idaman mereka kelak.

Hasil angket sarjana termaksud menempatkan profesi dokter sebagai favoritnya anak-anak lelaki (180 orang). Posisi kedua adalah pilot (174 orang). Lalu tentara (147 orang) berada di posisi ketiga.

Profesi insinyur, ahli hukum, pegawai negeri, guru, ahli teknik, pengusaha, dan ekonom juga mempunyai tempat di berpuluh-puluh anak-anak. Ada pula segilintir anak bercita-cita menjadi tukang sulap (sihir), ahli sejarah, perantau, motoris, detektif, dan penari.

Anak-anak perempuan memiliki kecenderungan cita-cita berbeda. Profesi idaman favorit mereka ialah guru (214 orang). Menyusul kemudian juru rawat/bidan dan dokter. Masing-masing 116 orang. Stewardes (pramugari) udara, perancang busana, penulis, dan ahli bahasa juga cukup menarik hati anak-anak perempuan.

Baca juga: Awal Profesi Pramugari di Indonesia

Profesi berkaitan dengan keahlian agama justru sangat sedikit peminatnya. “Jumlah anak lelaki yang hendak menjadi ulama Islam hanya 5 orang saja dan di antara murid-murid perempuan hanya satu yang ingin menjadi ulama Islam dan satu yang ingin menjadi penyiar Injil,” ungkap survei sekelompok sarjana seperti termuat di Majalah Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), Juli 1961.

Dari survei tersebut, sarjana itu menyimpulkan bahwa ada penurunan minat anak-anak terhadap profesi pegawai negeri. “Sudah banyak merosot jika dibandingkan dengan sebelum zaman kemerdekaan,” terang MIPI.

MIPI berharap penelitian terhadap cita-cita anak dapat berlanjut. Menurut MIPI, penelitian semacam itu harus diadakan secara periodik di seluruh Indonesia. “Angka-angka demikian dapat juga memberi petunjuk yang berharga tentang tendens-tendens yang terdapat di dalam masyarakat yang sedang cepat bertumbuh dan berubah,” saran MIPI.

Dua tahun kemudian, hasil penelitian lanjutan tentang cita-cita anak-anak muncul kembali di Bandung. Pembuatnya Lembaga Penyelidikan Pendidikan. Lembaga ini menyebarkan angket kepada 479 anak usia sekolah beragam tingkatan dan jenis kelamin.

Hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Pendidikan tak jauh berbeda dari penelitian sekelompok sarjana sebelumnya. Anak-anak lelaki dan perempuan menempatkan profesi seperti dokter, insinyur, ahli hukum, dan ahli ekonomi sebagai cita-cita favorit mereka. Demikian ungkap Djaja, 13 Juli 1963 dalam "Kalau Sudah Besar, Mau Djadi Apa?"

Ingin Jadi Soeharto

Cita-cita seperti itu memerlukan jalur pendidikan formal hingga tingkat universitas atau sekolah tinggi. Cita-cita tersebut kian kukuh dengan kemunculan Orde Baru. Rezim ini menempatkan pembangunan sebagai ideologinya, meninggalkan gagasan politik adalah panglima rezim sebelumnya.

Peran dokter, insinyur, ahli hukum, dan ekonomi sangat penting dalam rencana pembangunan Orde Baru. Untuk itulah, pemerintah membuka lebih banyak lagi sekolah tinggi dan universitas. Untuk mencapai target pembangunan, Orde Baru menerapkan stabilitas politik. Tugas ini berada di tangan ABRI. Peran ABRI pun menjadi dominan. Dan ini memengaruhi kecenderungan anak-anak untuk menjadi ABRI.

Dalam beberapa surat anak-anak untuk Presiden Soeharto pada dekade 1980-an, sebagian anak-anak mengutarakan keinginannya menjadi anggota ABRI. Tak sedikit pula anak-anak begitu bangga dengan peran Soeharto sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Mereka menilai Soeharto berjasa sebagai penjaga keamanan dan kesejahteraan negara.

Baca juga: Bung Karno dan Hari Anak

Anak-anak pun ingin menjadi presiden dan bertanya kepada Soeharto. “Bapak Pembangunan, Santi mau tanya, ‘Bagaimana sih caranya kok sampai bisa jadi Presiden?’ Santi juga ingin,” tulis Susanti, pelajar Sekolah Dasar kelas 5, seperti termuat dalam Anak Indonesia dan Pak Harto, sebuah buku kumpulan ratusan surat anak-anak kepada Soeharto.

Rezim Orde Baru runtuh pada 1998. Kebenaran sejarah tentang Orde Baru kemudian terungkap. Mungkin sebagian anak itu masih memendam cita-cita menjadi presiden seperti Soeharto. Anak-anak lainnya boleh jadi sudah mengurungkan niatnya.

Yang jelas, anak-anak dalam surat-surat tersebut kini sudah dewasa dan bisa saja telah punya anak-anak. Anak-anak mereka hidup bersama anak-anak lain dalam zaman cita-cita menjadi seorang youtuber atau selebgram.

TAG

Anak-anak

ARTIKEL TERKAIT

Menghirup Sejarah Ngelem Aibon Para Penyemir Cilik Mencari Jejak Hari Anak Bung Karno dan Hari Anak Riwayat Tempat Penitipan Anak Sejarah Ilmu Mengolah Suara Perut Gerwani dan Hak Anak Pertunjukan Propaganda untuk Anak-Anak Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina