Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Mantri jadi ujung tombak layanan medis di pelosok pada era kolonial untuk mengatasi kelangkaan jumlah dokter.
ISTILAH “mantri” kini hampir tak diketahui orang. Di masa lalu, mantri menjadi andalan orang sakit untuk bisa sembuh, selain dokter, perawat, atau bidan. Mantri merupakan petugas medis yang biasanya terdapat di desa dan pelosok.
“Mantri cuma ada di Indonesia karena jumlah lulusan kedokteran belum banyak sehingga mantri dikerahkan,” kata Martina Safitry, dosen Institute Agama Islam Negeri Surakarta, pada Historia.
Mantri, tulis Martina dalam tesis berjudul “Dukun dan Mantri Pes”, mulanya berarti juru rembug dan sebuah pangkat dalam birokrasi keraton Jawa. Ada mantri guru, mantri tanam, mantri ukur, dan lain-lain. Mantri yang mengurus kesehatan muncul kemudian, ketika wabah cacar menjangkiti Banyumas pada 1847.
Baca juga: Melacak Jejak Dukun Beranak
Wabah itu kebanyakan menyerang buruh pribumi di perkebunan milik Belanda. Lantaran virusnya cepat menyebar dan obat penangkalnya kala itu belum mutakhir, orang-orang Belanda khawatir tertular. Selain itu, wabah cacar yang menyerang buruh membuat usaha perkebunan rugi lantaran jumlah buruh berkurang dan produktivitas turun.
Untuk menanggulangi wabah itu, pemerintah kolonial mengirim banyak dokter yang semua orang Belanda. Namun jumlah dokter tak memadai. Lebih lagi, wabah cacar menyerang sampai ke pelosok sementara petugas kesehatan baru terdapat di kota. “Karena keterbatasan jumlahnya, (para dokter, red.) merasa tidak sanggup untuk menanggulangi keganasan penyakit,” tulis Baha’udin dalam artikelnya di Jurnal Humaniora, Oktober 2006, “Dari Mantri hingga Dokter Jawa”.
Akhirnya, dibentuklah profesi baru di bidang kesehatan dengan memberikan pelatihan kilat kepada pribumi. Saat itulah profesi mantri kesehatan lahir, dengan bermacam kategori. Ada mantri cacar, mantri vaksin, mantri pes, bahkan mantri kakus. Arsip foto menunjukkan, pribumi yang dapat pelatihan mantri hanya lelaki, sehingga populer kalimat “berobat ke Pak Mantri”.
Upaya pembangunan medis lebih serius baru muncul pada Oktober 1847, saat Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch mengusulkan pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen agar mengadakan pendidikan kedokteran Barat untuk penduduk pribumi. Hasilnya, didirikanlah Dokter Djawa School di Weltevreden, Batavia dengan masa studi dua tahun.
Di tahun pertama, para siswa diberi pelajaran seputar Fisika, Kimia, Geologi, Botani, Zoologi, dan analisis terhadap tubuh manusia. Sementara pada tahun kedua, para murid diberikan ilmu bedah, Patologi, Anatomi Patologis, material medica, obat-obat pokok, dan pelatihan praktek di klinik. Ketika lulus, siswa mendapat gelar Dokter Jawa meski sebenarnya mereka bukan dokter, melainkan pembantu dokter Eropa (hulp geneesher). Sebagian dari Dokter Jawa itu diberi tugas sebagai mantri cacar.
Jumlah petugas medis masih belum memadai kendati sekolah dokter pribumi sudah ada. Maka ketika wabah penyakit seperti malaria atau pes muncul, perekrutan dan pelatihan mantri masih terus dilakukan. Ide pembentukan profesi mantri yang lebih paten dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada 1935 dengan mendirikan Sekolah Mantri Kesehatan, bekerjasama dengan Rockefeller Foundation. Distrik Purworkerto ditetapkan sebagai model dan labolatorium pelatihan mantri.
Baca juga: Dokter Pertama Mendiagnosis Penyakit Kelamin
Para lulusan sekolah itu ditempatkan di kampung-kampung dan daerah terpencil. Sosok mantri kadang tidak bisa dibedakan dengan dokter Jawa karena mereka menggunakan atribut dan peralatan yang sama. Para mantri juga berperilaku laiknya dokter, menganalisis penyakit pasien dan memberi obat. “Kalau menurut peraturan internasional, yang boleh memberi obat hanya dokter, tapi karena jumlahnya masih sedikit, mantri bertugas seperti dokter umum,” kata Martina.
Kehadiran mantri di kampung-kampung menjadi jalan bagi pribumi untuk mengenal pengobatan modern yang tidak berjarak lantaran penyembuh dan pasien sama-sama pribumi. Banyak pasien pribumi lantas berobat ke “Pak Mantri” kala penyakit menyerang.
Namun, jalaran banyaknya kritik pada kualitas lulusan dokter jawa, pada 1898 Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Masa studinya diperpanjang jadi delapan tahun dan gelar yang didapat bukan lagi Dokter Jawa, melainkan Inlandsche Arts (dokter pribumi).
Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis
“Ada perbaikan kurikulum dan dokter pribumi mulai dicetak. Lulusan eranya Tjipto Mangoenkoesoemo atau Radjiman Wedyodiningrat, bukan difungsikan sebagai mantri atau dokter jawa tapi dokter betulan,” Kata Martina.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar