Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat merencanakan pengadaan lem Aibon untuk 37.500 siswa. Nilainya mencapai Rp82 miliar. Rencana ini termuat dalam laman apbd.jakarta.go.id. Tapi sekarang rencana anggaran itu telah menghilang. Karuan khalayak jadi gaduh. Pejabat dinas pendidikan berupaya menjelaskan pangkal perkaranya.
Khalayak bertanya untuk apa lem sebanyak itu. Ada juga meme menyindir Pemerintah Provinsi Jakarta sedang mabok lem Aibon. Lem ini mengandung Lysergic Acid Diethilamide (LSD). Fungsinya sebagai penguat daya rekat dengan bahan-bahan seperti kayu, plastik, tembaga, kulit, dan besi.
LSD berbau menyengat. Jika seseorang menghirupnya, dia akan lekas berhalusinasi selama beberapa jam. Efeknya bikin ketagihan. Mirip dengan efek menggunakan narkoba. Tapi harga lem Aibon lebih murah daripada narkoba. Ini penyebab sejumlah orang menyalahgunakan lem Aibon dengan cara menghirupnya dalam-dalam (volatile substance misuse).
Baca juga: Eksekusi Mati Pertama Terpidana Kasus Narkoba di Indonesia
Jejak penyalahgunaan ini bermula sejak 1980-an dan muncul dari kalangan anak-anak jalanan. “Penyalahgunaan zat hirup (volatile substance misuse) dapat dikatakan sebagai salah satu acara rekreasional sejak 1980-an,” catat artikel “Anak Jalanan, Seks, dan Ngelem”, termuat di Kompas, 2 September 1998.
Kelompok anak jalanan sebenarnya telah terbentuk dari masa resesi ekonomi di Hindia Belanda pada 1930-an. Resesi menyebabkan orang-orang di kota kehilangan pekerjaan. Kebanyakan kaum miskin. Mereka tak punya tabungan untuk masa sulit. Untuk melanjutkan hidup, mereka menggelandang bersama keluarga, termasuk anaknya.
Anak-anak itu menghabiskan lebih banyak waktu di jalanan bersama keluarganya. Baik membantu bekerja sebagai pengemis ataupun sekadar mengikuti pergerakan orangtuanya.
Ekonomi Hindia berangsur pulih dan resesi berakhir. Tapi anak-anak jalanan terus tersua di kota pada dekade-dekade setelahnya. Sebuah foto koleksi Scott Merrillees, kolektor kartu pos, menangkap momen seorang anak lelaki berusia sekira 6 tahunan tertidur di pinggir Jalan Juanda. Pakaiannya rombeng dan lusuh.
“Suatu pemandangan tragis dan mengoyak hati,” komentar Scott dalam Greetings From Jakarta: Postcatrds of a Capital 1900—1950.
Baca juga: Gelandangan Selalu Jadi Pesakitan
Memasuki 1960-an, anak-anak jalanan tak mesti selalu bekerja di jalanan bersama orangtuanya. Sebilangan mereka sengaja hidup meninggalkan sekolah dan orangtuanya di desa. Mereka datang ke kota atas ajakan kawan atau saudaranya.
“Mulanya untuk berjualan kecil-kecilan, tapi karena mereka tidak tahu caranya berdagang, lebih suka membelanjakan uang tak menentu, akhirnya rugi, dan menjadilah penggosok sepatu,” ungkap Selecta, No 39 Tahun 1960.
Kehidupan di jalanan serba tak pasti dan berbeda dari kehidupan normal di rumah. Anak-anak itu membentuk norma dan kebudayaannya sendiri. Mereka telah mengenal dan mencobai banyak hal di luar jangkauan usianya. Ada perkenalan dengan rokok, minuman keras, kata-kata cabul, dan hubungan seksual.
“Melihat pergaulan dan pertumbuhan mereka ini kami khawatirkan akan menuju ke arah perkembangan rohani yang tidak baik yang akibatnya nanti bukan hanya mereka yang rugi tapi juga masyarakatnya akan dibuat rugi,” tulis Selecta.
Baca juga: Pulau untuk Anak Terlantar
Kekhawatiran itu menjelma kenyataan. Nasib anak-anak jalanan kian kelam pada 1980-an. Mereka menjajal obat-obatan terlarang. Beberapa di antaranya tewas setelah kelebihan dosis. Sebilangan lainnya terjerumus ke dunia kejahatan demi memperoleh obat-obatan terlarang.
Anak-anak jalanan begitu kepincut dengan obat-obatan terlarang lantaran bisa melupakan keras dan perihnya hidup di jalanan. Tapi harga obat-obatan terlarang cukup mahal. Anak jalanan membelinya secara patungan. Satu butir seringkali dibagi berempat.
Cara memperoleh obat-obatan terlarang juga tak mudah. Harus melalui perantara dan jaringan khusus. Hingga akhirnya mereka menemukan cara lebih murah dan mudah untuk melupakan sejenak penatnya hidup. Mereka ngelem alias menghirup uap lem Aibon.
Lem Aibon mulai beredar di Indonesia pada 1974. Jenama ini lesat menjadi lem tertangguh di Indonesia. Para kuli bangunan, produsen sepatu, tas, dan mainan anak-anak menggunakan lem ini untuk membuat produknya.
Baca juga: Sejarah Lem Aibon
Semua anak-anak jalanan berpendidikan rendah. Tapi sebagian besar tidak buta huruf. Justru mereka mempunyai minat membaca. Banyak dari mereka membaca koran dan majalah di waktu luangnya. Hal ini diungkap oleh Dhevy Setya Wibawa, dalam Anak Jalanan Pun Punya Waktu Luang, tesis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, tahun 2000.
Koran dan majalah memuat informasi tentang penyalahgunaan bahan-bahan adiktif dalam produk rumah tangga di Inggris. Produknya antara lain bensin, thinner, lem perekat, semir, pewangi, dan pembersih karpet.
Semua produk tersebut mengandung bahan solven organik (bahan kimia cair untuk melarutkan bahan kimia lainnya). Ciri khasnya beraroma menusuk dan bisa mempengaruhi kesadaran si penghirupnya. Para remaja di Inggris menggunakan produk itu untuk mabuk-mabukan. “Penelitian ini dilakukan di Inggris tahun 1980,” catat Kompas, 7 Juni 1997.
Anak jalanan di Indonesia mengeksplorasi informasi secuil itu. Mereka kemudian bereksperimen dengan produk-produk rumah tangga. Dari sekian banyak produk termaksud, lem Aibon paling memuaskan mereka untuk lari sementara waktu dari stres.
Baca juga: Cita-Cita Favorit Anak-Anak Tiap Zaman
Ketangguhan lem Aibon untuk mabuk pun tersebar di kelompok anak jalanan. Penyalahgunaannya meluas dan menembus masa.
Perhatian orang tentang anak-anak jalanan di kota-kota besar Indonesia meningkat pada akhir dekade 1980-an. Mereka menjadi bahasan sendiri. Sebelumya mereka selalu disinggung bertalian dengan perilaku menggelandang.
Tolok ukur peningkatan perhatian masyarakat terhadap anak-anak jalanan terlihat dari maraknya penelitian buku dan jurnal. Contohnya Penelitian tentang Anak Jalanan: Kondisi, Masalah, dan Penanggulangannya, karya bersama Fakultas Psikologi UI dan Kegiatan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta tahun 1989.
Menyusul penelitian tadi, terbit pula tugas akhir mahasiswa tentang anak jalanan. Kisah kehidupan mereka terekam pula dalam ulasan populer di media massa.
Tak ketinggalan sutradara Garin Nugroho turut mengangkat kehidupan anak jalanan di Yogyakarta ke layar lebar. Film bioskop itu berjudul Daun di Atas Bantal.
Baca juga: Film Anak Riwayatmu Dulu
Semua terbitan dan karya itu terang menjabarkan aktivitas anak-anak jalanan. Mereka kerja dari pagi sampai malam, lalu menghadapi kekerasan fisik, verbal, dan seksual (sodomi) dari orang dewasa, petugas keamanan, atau sesama anak jalanan. Kasus pembunuhan dan sodomi oleh Robot Gedek terhadap anak-anak jalanan sepanjang 1994-1996 menandakan masalah pelik anak-anak jalanan.
“Ngelem adalah mekanisme mengatasi persoalan bagi anak jalanan. Mereka bisa tetap terjaga, waspada terhadap kekerasan, dan tidur untuk melupakan sakit tubuh dan batin,” catat Kompas, 2 September 1998.
Pengakuan langsung dari anak jalanan tak jauh berbeda. “Ngaibon menghibur hati, bisa ngimpi. Duit gopek (Rp500) dikira goceng (Rp5000)… Pohon kita masukin, kita raba-raba,” kata seorang anak jalanan dalam Anak Jalanan Pun Punya Waktu Luang.
Tapi anak jalanan juga sadar bahwa ngelem merusak tubuh mereka. Bahkan mengancam pula nyawa mereka. “Ngelem enak juga sih dulu. Saya udah nggak doyan lagi. Sakit keluar busa dari mulut. Itu kebanyakan Aibon, jadi saya enggak mau lagi. Sekarang nggak kuat nyium baunya,” ungkap Rudi, seorang anak jalanan, dalam Anak Jalanan Pun Punya Waktu Luang.
Penelitian menyimpulkan bahwa zat dalam lem Aibon menyebabkan kerusakan hati, ginjal, otak, dan tulang sum-sum. Peruntukan lem ini sedari awal bukanlah untuk dihirup. Sampai sekarang pun begitu. Peruntukannya hanya untuk merekatkan bahan-bahan tertentu.