DI DELI, para pekerja kebun punya tugas masing-masing. Kuli laki-laki membuka lahan untuk ditanami tembakau. Kuli perempuan memetik dan menyortir tembakau di bangsal. Sementara anak-anak kuli diajarkan mengeruk kerikil di sungai dan mengosongkan tong-tong tinja di rumah tuan-tuan kebun.
“Para tuan kebun senang sebab anak-anak membantu pekerjaan cepat selesai dan mereka tidak perlu di bayar,” tulis Emile Aulia dalam romannya Berjuta-juta dari Deli: Satu Hikajat Koeli Kontrak.
Cerita tentang eksploitasi anak di perkebunan tembakau Deli bukan hanya tersua dalam roman belaka. Sejarah mencatatnya sebagai noda kelam di balik gemerlapnya Deli yang berjuluk “Tanah Dolar” pada akhir abad 19. Anak-anak di Deli sudah harus menanggung derita bahkan sejak mereka dilahirkan.
Baca juga: Yang Terbuai di Perkebunan Deli
Dalam risalahnya Uit Onze Kolonien (Dari Koloni Kita) yang terbit pada 1903, H.H. van Kol, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis mengatakan betapa banyak anak-anak di Deli yang hidup terlantar. Anak-anak malang ini kebanyakan lahir dari hasil prostitusi atau hubungan gelap sesama kuli. Karena tidak sanggup membesarkan, kuli wanita yang melahirkan terpaksa menjual bayinya.
“Dan dalam keadaan sedemikian setiap ibu dari anak-anak haram zadahnya bersedia saja menjual anak tersebut kepada siapa yang bersedia membeli dengan harga teratas,” kata Kol sebagaima dikutip Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya.
Demikianlah cikal bakal perdagangan anak di Deli. Orang-orang Tionghoa kayalah yang biasanya menjadi orang tua adopsi "anak-anak kebon" yang terpaksa dijual ibunya. Inilah dampak tidak langsung kebijakan "kuli kontrak" para tuan kebun dalam memperkerjakan para kuli.
Baca juga: Penjaja Diri di Kebun Deli
Selain perdagangan anak, pekerja anak turut mewarnai eksploitasi anak di bawah umur. Sekira tahun 1900, sebagaimana dicatat sejarawan Jan Breman, generasi pertama kuli Jawa yang lahir di perkebunan mulai tampil dalam proses bekerja. Anak-anak mulai terlibat dalam budi daya tembakau.
“Bukan hal yang luar biasa kalau ada anak-anak yang mulai bekerja pada usia tujuh tahun,” tulis Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20.
Sejak belia, anak-anak kuli Deli telah dikaryakan sebagai pekerja kebun. Mereka membantu kuli perempuan menyiram tanaman dan memetik daun tembakau. Keahlian mereka yang paling utama adalah mencari serangga yang menjadi hama tanaman. Dengan mata yang awas dan jari yang cekatan mereka dapat menangkap banyak ulat dan serangga. Dari pekerjaan tersebut, anak-anak memperoleh upah tidak seberapa. Tapi itupun cukup membantu mereka memenuhi kebutuhan sendiri di tengah kehidupan kebun yang keras dan serba terbatas.
Pekerja anak merupakan pemandangan lazim di kebun tembakau Deli. Para tuan kebun sangat senang dengan kemampuan anak-anak Deli yang terampil tersebut. Menurut mereka pekerjaan yang dilakoni anak-anak itu wajar karena tidak merusak kesehatan. Anak-anak tidak perlu bekerja merunduk-runduk di kebun sebagaimana kuli dewasa. Dalih demikian biasanya menjadi tameng tuan kebun melepas diri dari sangkaan mengeksploitasi anak-anak. Kenyataannya, memang eksplotasilah yang terjadi.
Anak-anak bukan hanya jadi korban eksploitasi dari tuan kebun. Mereka juga jadi sasaran objek seksual dari sesama buruh. Para kuli Tionghoa yang pedofil, kerap melampiaskan birahinya terhadap bocah tanggung dari kalangan buruh Jawa. Anak-anak itu mereka namakan "anak jawi", dan para pengawas punya hak pertama atas diri mereka.
Baca juga: Prostitusi di Perkebunan Deli
Mengingat posisinya yang rentan, derita anak-anak di kebun Deli sampai juga ke ranah publik. Perhatian ini tidak luput dari menguatnya gerakan anti-kolonialisme di negeri Hindia. Perlahan, upaya untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi mulai mendapat tempat.
Pada 1918, Mohammad Samin, komisaris Sarekat Islam Sumatra Timur mengajukan resolusi mengutuk Poenale Sanctie. Dari sepuluh tuntutan, salah satunya menghendaki “Anak-anak kuli harus dididik di sekolah-sekolah”. Putusan itu diterima dan disetujui dalam kongres Sarekat Islam yang dihelat pada tanggal 11 Mei di Surabaya. Begitu pula dengan tokoh-tokoh politik etis Belanda yang memperjuangkan agenda yang kurang lebih serupa.
Memasuki tahun 1920, pekerja anak di kebun Deli dibatasi. Langkah ini diikuti dengan membangun sekolah-sekolah dalam perkebunan. Anak-anak kuli akhirnya memperoleh akses mengecap pendidikan dasar. Itu menandai berbuahnya usaha untuk melindungi anak-anak di perkebunan tembakau Deli dari eksploitasi.