Ketika Ibukota Kesultanan Deli Pindah ke Medan
Bagaimana hamparan tanah rawa disulap menjadi ibukota modern nan megah hingga berjuluk Paris-nya Sumatra.
REPUBLIK Indonesia bersiap memiliki ibukota baru: dari Jakarta pindah ke Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Rencana perpindahan pusat pemerintahan ini telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Selain dari APBD, skema pendanaannya akan melibatkan pihak swasta.
Di zaman kolonial, perpindahan ibukota juga lazim terjadi. Pada 1 Maret 1887, pemerintah kolonial memindahkan ibukota Karesidenan Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan. Perpindahan ini tidak terlepas dari pertumbuhan kawasan Medan yang pesat secara ekonomi.
Sebelum menjadi kota, Medan hanyalah suatu kampung dalam Kerajaan Melayu Deli. Letaknya diapit oleh Sungai Deli dan Sungai Babura. Sejak 1869, kampung Medan dibangun oleh pengusaha Belanda untuk lahan penanaman tembakau. Pelopornya adalah Jacobus Nienhuys.
“Jadi dapatlah kita lihat betapa penting letak kampung Medan selaku pelabuhan tongkang-tongkang dari laut yang membongkar muatan di sini untuk diteruskan dengan perahu-perahu lebih kecil mudik ke Deli Tua atau mudik ke Sungai Babura,” tulis sejarawan Deli terkumuka Tengku Luckman Sinar dalam Sejarah Medan Tempo Doeloe.
Baca juga: Preman Medan dari Zaman ke Zaman
Tembakau Deli yang laku keras di pasar dunia mengubah wajah kampung Medan. Permintaan tembakau Deli di pelelangan tembakau cukup tinggi. Orang-orang Eropa menyebutnya sebagai pembungkus cerutu terbaik. Para tuan kebun Belanda yang membuka kantor dagang di Medan ikut meraup untung. Di tangan mereka, kawasan yang semula tanah rawa ini disulap menjadi kota koloni pendulang uang.
Medan kian ramai. Residen Sumatra Timur tertarik memindahkan kantornya ke sana. Sultan Deli pun tidak ingin ketinggalan. Perkembangan Kota Medan berdampak terhadap sepinya ibukota Kesultanan Deli, Labuhan Deli.
“Pamor Labuhan sebagai ibukota Deli mulai meredup. Deli adalah Medan, dan tanpa Medan tidaklah Deli itu berarti,” tulis Alexander Avan dalam Parijs van Soematra.
Menurut Avan selain karena potensi Labuhan yang menurun, Sultan memandang kedudukan residen Sumatra Timur di Medan sebagai kesempatan memperkuat kedudukan politiknya. Pada 1891, Sultan Makmun Perkasa Alam memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Deli ke Medan. Sultan Deli menempati singgasananya di Istana Maimun yang megah. Sisi belakangnya menghadap Sungai Deli dan sisi depan menghadap ke jalan raya.
Perlahan, Medan menampilkan citra kota modern. Jaringan kereta api “Deli Spoor” untuk mendukung bisnis perkebunan dibangun berikut jaringan teleponnya. Alun-alun raya Esplanade – sekarang menjadi Lapangan Merdeka – menjadi pusat kota. Rumahsakit dan hotel-hotel bermunculan. Gedung-gedung bergaya Eropa semakin banyak ditemui. Sarana hiburan seperti pacuan kuda, klub sepakbola, ataupun perkumpulan olahraga semakin memperkuat kesan Medan sebagai kota urban. Aktivitas di kota ini sibuk dengan berbagai macam bisnis, urusan pemerintahan, dan kehidupan sosial yang plural.
Pada 1 April 1909, Kota Medan memperoleh statusnya sebagai gementee (kota) baru. Pengukuhan itu diresmikan langsung oleh Gubernur Hindia Belanda J.B. van Heutz di Bogor. Orang-orang Belanda dengan jemawa menyandingkan Medan sebagai Parisnya Sumatra.
Baca juga: Cita Rasa Eropa di Paris van Sumatra
“Orang Belanda Deli ini sangat bangga pada karakter modern dan internasional Sumatra Timur dan keelokan ibukotanya, Medan,” demikian catat sejarawan Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution & The End of Traditional Rule in Northern Sumatra.
Di Medan, kenyaman hidup orang Belanda hampir tidak dapat disamai kota lain di negeri Hindia. Gelimang kemewahan itu beririsan pula dengan keangkuhan. Sebagai akibatnya, posisi mereka menjadi sangat kuat dan cenderung lebih berkuasa ketimbang pemerintah kolonial.
“Presiden Direktur Deli-Company bagi mereka lebih pantas dihormati ketimbang Gubernu Jenderal Hindia Belanda,” kata jurnalis Deli Courant Willem Brandt dalam De Aarde van Deli sebagaimana dikutip Reid.
Demikianlah orang Belanda Deli penguasa Kota Medan memandang tinggi diri mereka. Sebaliknya, kalangan bumiputra memandang diri mereka penuh ironi. Mereka kebanyakan bekerja sebagai orang-orang upahan yang terikat:alias kuli kontrak. Derita yang dialami para kuli kontrak tercatat sepanjang sejarah.
Baca juga: Prostitusi di Perkebunan Deli
Antara 1919—21, Sutan Ibrahim bekerja sebagai guru anak-anak kuli kontrak di Senembah Maskapai, Tanjung Morawa, tidak jauh dari Medan. Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan nama Tan Malaka dalam memoarnya dari Penjara ke Penjara mengatakan tanah Deli ibarat goundland, surga buat kaum kapitalis tetapi tanah keringat, air mata maut, neraka buat kaum proletar
“Di sana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah,” demikian ujar Tan Malaka.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar