Masuk Daftar
My Getplus

Henri van Kol, Meneer Belanda Penentang Kolonialisme Belanda di Nusantara

Simpatinya kepada si lemah mendorong Henri van Kol gigih menentang kolonialisme yang menyengsarakan pribumi di Nusantara.

Oleh: M.F. Mukthi | 26 Nov 2020
Henri H. van Kol (geheugen.delpher.nl)

Tak lama setelah lulus dari Politeknik di Delft dan diterima sebagai pegawai di Dinas Pekerjaan Umum, Henri Hubert van Kol mendapat tugas ke Hindia Belanda untuk menangani proyek irigasi. Dia berangkat pada 1876 menumpang sebuah kapal.

Kesempatan tersebut dimanfaatkannya untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah sekaligus untuk melihat sendiri kondisi kehidupan rakyat di tanah jajahan. Penglihatan itu penting buat wawasannya dan “amunisi” bagi gerakan politiknya. Henri merupakan sosialis pertama yang menginjakkan kaki ke Hindia Belanda.

Lahir di Eindhoven pada 23 Mei 1852 dari pasangan Christianus Adrianus Hubertus van Kol dan Maria Anna Schutjes, Henri merupakan sulung dari lima bersaudara. Kekayaan ayahnya sebagai pengusaha penyamakan kulit, hotel, dan perdagangan memungkinkannya punya kesempatan mendapat pendidikan layak. Selepas sekolah dasar, dia melanjutkan ke sekolah menengah pertama di Turnhout, Belgia. Dia kembali ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya di Hogere Burger School di Roermond.

Advertising
Advertising

Namun, masa berpindah-pindah untuk sekolah membuatnya melihat sendiri realitas kehidupan yang berbeda dari kehidupannya di keluarganya yang kaya. Kaya-miskin, kuat-lemah, dan beragam realitas kehidupan lain yang ditemukannya semasa sekolah itu amat mempengaruhi perkembangan jiwanya. Dan dalam banyak kesempatan, Henri cenderung membela yang lemah dan kecil. Tanpa takut, dia mewujudkan sikap itu ke dalam tindakan sehingga kerap menanggung konsekuensi.

“Sejak kecil saya tertarik pada yang kecil dan lemah. Sebagai pemuda, saya melindungi banyak orang dari pemukulan oleh si kuat, dan sebagai pelajar, perjuangan melawan polisi yang menyiksa orang lain menempatkan saya di penjara,” ujarnya dalam sebuah pidato tahun 1893, dikutip Johanna M. Welcker dalam profil Henri-nya yang dimuat socialhistory.org.

Baca juga: Goedhart, Tuan Baik Hati Antiagresi

Di masa sekolah pula Henri berkenalan dengan sosialisme dari seorang kawannya. Dia membaca Der Volksstaat yang dieditori Wilhelm Liebknecht, buku Das Kapital Marx, dan bacaan-bacaan sosialis lain serta bermacam media cetak, terutama De Werkman yang kerap jadi media buatnya menumpahkan pendapat. Bersama dengan hasratnya yang selalu ingin menolong si lemah, bacaan-bacaan itu membentuk dirinya dalam merespon kehidupan. Maka itu kendati masih kuliah di Delft, pada 1871 dia bertolak ke Paris untuk membantu Komunard (komunis Paris) menguasai ibukota Prancis tersebut. Meski Komunard sempat dua bulan menguasai Paris, Henri pulang ke negerinya ketika melihat Komunard sudah mulai kalah.

Di Belanda, Henri kian aktif berpolitik setelah menjadi anggota International Workingmen’s Association (IWA, sering disebut First Internasional) seksi Den Haag. Ketika Den Haag terpilih menjadi tuan rumah Kongres IWA kelima, September 1872, Henri ditugaskan menjadi penerjemah sekaligus guide Karl Marx dan keluarganya. Posisi itu membuatnya sehotel dengan Marx. Henri diperkenalkan Marx kepada Karl Liebknecht, Friedrich Engels, dan sejumlah sosialis terkemuka lain. 

Di kampus, Henri lalu bergabung dengan kelompok pemikir bebas De Dageraad. Dia juga bergabung dengan Association Free Study (AFS). Pada 1875, AFS mengundang Multatuli yang novelnya, Max Havelaar, meledak di pasaran. Di tahun itu pula Henri mendapatkan insinyur hidrologinya.

Baca juga: Multatuli, Pembongkar Kejahatan atau Seorang yang Nyinyir?

Setahun setelah kunjungan Multatuli itu, giliran Henri berangkat ke Hindia Belanda, tempat Multatuli menjadi asisten residen Lebak. Dia ditempatkan di Situbondo, Jawa Timur untuk menangani irigasi Pekalen Sampean.

Di luar waktunya untuk urusan pekerjaan, Henri meluangkan waktu untuk memperdalam sosialisme lewat tulisan-tulisan yang dikirim oleh Profesor Pekelharing. Tak lama kemudian, dia melibatkan diri dalam permasalahan soal pembagian wewenang di pemerintah Hindia dengan menulis di De Locomotief menggunakan nama samaran Rienzi. Sejak itu, dia aktif menulis dan mengkritik kebijakan pemerintah, terutama tentang kebijakan kolonialnya, serta berdebat publik. Perdebatannya antara lain dengan Mina Kruseman di Soerabaiasch Handelsblad dari April 1879 hingga Januari 1880.   

“Van Kol secara konsisten memperjuangkan kesejahteraan masyarakat pribumi dalam upaya mengendalikan ekses modal terburuk di koloni,” tulis Suzanne Moon dalam Technology and Ethical Idealism: A History of Development in the Netherlands Indies.

Pada 1881, buku pertama Henri, Christianity and Socialism, diterbitkan sebagai solusinya atas perdebatan Isaac Esser, misionaris anti-sosialis di Besuki, dengan masyarakat di Jember. Menurut Henri, kombinasi sosialisme dan Katolik menjadi kunci dalam penyelesaian problematika dunia.

Baca juga: Solidaritas Buruh Internasional untuk Indonesia

Tak lama setelah menikahi Jacoba Maria Petronella Nellia Porreij pada Juli 1883, Henri kembali ke Eropa karena masalah kesehatan dan menetap di Liege, Belgia. Dia tetap bergerak, termasuk berupaya menyatukan kubu sosialis berbahasa Prancis dengan kubu sosialis berbahasa Belanda. Henri kerap berkeliling untuk menyambangi sosialis di berbagai negara.

Setelah kembali ke Hindia Belanda, Henri bergonta-ganti penempatan tugas, dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Di masa inilah dia aktif menulis artikel dan buku di samping berinvestasi dengan membuka perkebunan kopi Kayumas yang disokong sahabatnya Domela Nieuwenhuis. Selain menyumbangkan sebagian hasil keuntungan perkebunan itu untuk gerakan buruh di Belanda, mereka juga mendirikan sekolah dan bereksperimen dengan memperkenalkan Minggu sebagai hari istirahat bagi para buruh perkebunan.

“Ini dianggap sebagai kemajuan sosial di mata orang Belanda,” tulis Margreet Schrevel dan Emile Schwidder dalam “A Socialist in the Dutch East Indies”, dimuat di laman iisg.nl.

Alasan kesehatan membuat Henri kembali pulang ke Eropa, yang dijadikannya kesempatan untuk berkeliling ke berbagai tempat dan negara untuk melihat lebih dalam gerakan sosialis beserta beragam perbedaan di dalamnya. Sejak 1896 hingga 1912, dia jadi pengunjung setia Kongres Sosialis Internasional yang diadakan saban empat tahun sekali. Dia ikut mendirikan Partai Buruh Sosial-Demokratik Belanda (Sociaal-Democratische Arbeiders Partij/SDAP) pada Agustus 1894. Setelah jadi anggota parlemen, kritiknya terhadap politik kolonial pemerintah semakin nyaring. Di Tweede Kamer, dia antara lain mengkritik Perang Aceh yang menurutnya memalukan. Pada 1903, dia mengusulkan pemberian otonomi pada daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatra namun tak bersambut.

“Henri Hubert van Kol, seorang anggota sosialis terkemuka di parlemen Belanda, berpendapat di Tweede Kamer (Majelis Rendah) bahwa pemerintah kolonial pertama-tama harus memperhatikan masyarakat adat, dan yang kedua barulah keuntungan kolonial,” tulis Suzanne.

Baca juga: 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia

Kritik tajamnya berjalan seiring dengan kerajinannya menulis. Banyak bukunya dihasilkannya saat itu, antara lain Land and People of Java dan Land Ownership in Java. Pada 1902, dia kembali ke Hindia Belanda, yang dianggapnya sebagai rumah kedua, khusus untuk meneliti langsung kondisi rakyat di tanah jajahan. Dalam perjalanan ini dia bertemu RA Kartini, yang mendukung usulan kebijakan Henri agar diadakan pembiayaan untuk pelatihan guru di Belanda. Henri berkeliling ke berbagai tempat, sampai Maluku yang terjauh, dan menemui serta memfoto bermacam orang dan berbagai tempat seperti pasar, desa, dan pemandangan. Foto tersebut dia maksudkan untuk dipertunjukkan kepada rekan anggota parlemen agar mengetahui kondisi faktual rakyat di tanah jajahan. Hasil dari penelitiannya terbit setahun kemudian menjadi buku dengan judul Uit Onze Kolonien (From Our Colonies). Meski dalam buku ini dia “terpeleset” karena pendeskripsian yang cenderung stereotip tentang masyarakat-masyarakat yang ditemuinya, secara garis besar Henri memaparkan fakta-fakta tanah jajahan untuk menyerang politik kolonalisme negerinya.

Selain ke Hindia Belanda, Henri juga berkeliling ke berbagai negeri. Hasil dari pengelanaannya adalah buku berjudul To the Antilles and Venezuela dan In the Coastal Countries of North Africa. The Maghreb. Begitu pula ketika dia ditugaskan ke Jepang pada 1915 untuk mempelajari industrialisasi di sana, dia menghasilkan dua jilid The Development of Large Industry in Japan, Japan: Impressions of Land and People, dan Old and New Japan: Handles from Life.

Henri kemudian mendalami teosofi dan aktif dalam gerakan perdamaian, antara lain dia tuangkan lewat buku The Jews and the Peace dan The Colonial Mandates and the League of Nations. Dia menolak usulan revolusi yang –gagal pada 1918– diutarakan rekannya, Pieter Jelles Troelstra. Tak lama setelah mengundurkan diri dari Senat, dia meninggal dalam sebuah kecelakaan pada 1925.

TAG

buruh

ARTIKEL TERKAIT

Soerjopranoto Si Raja Mogok Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa Balada Patung Buruh Tani Pertama CIA dalam Gerakan Buruh Indonesia Potret Demonstrasi dari Masa ke Masa Omnibus Law dari Masa Lampau Martir Anarkis pada Peristiwa Mei 1886 Bantuan Kolonial untuk Pengangguran Soerjopranoto Si Raja Mogok Solidaritas Buruh Internasional untuk Indonesia