KETIKA pendudukan Jerman pada 1940, Frans Johannes Goedhart ikut gerakan bawah tanah yang mengobarkan perlawanan melawan Jerman. Dia membuat stensilan Niuwsbrief van Pieter ‘t Hoen dengan memakai nama pena “Pieter ‘t Hoen”, sebuah pseudonim dari pamflet satir di Belanda pada abad ke-18. Dia lalu memperluas penyebaran stensilannya dengan mengubah namanya menjadi Het Parool.
“Sebagai tanda perlawanan patriotik, koran Het Parool diberi subjudul vrij, onverveerd (bebas, berani),” tulis Jeroen Dewulf dalam Spirit of Resistance: Dutch Clandestine Literature During the Nazi Occupation.
Goedhart, lahir di Amsterdam pada 25 Januari 1904, mengawali kariernya sebagai wartawan de Telegraaf, lalu bekerja di harian komunis, Tribune, sekaligus menjadi anggota Partai Komunis Belanda –dia keluar karena tak sejalan dengan kebijakan partai yang mengikuti arah Moskow dan baginya berbahaya bagi perjuangan antifasis. Sebelum menerbitkan Het Parool, dia menjadi wartawan lepas untuk harian sosialis Belgia. Dia juga aktif dalam sebuah partai kecil yang kiri dan radikal dan secara bertahap bersimpati pada demokrasi sosial, meskipun tak pernah bergabung dengan Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP).
Pada 1942, Goedhart dan Herman Wiardi Beckman, kawan seperjuangannya di Het Parool, berusaha pergi ke London untuk menghubungi pemerintahan Belanda di pengasingan namun tertangkap. Goedhart dijatuhi hukuman mati dan dikirim ke kamp konsentrasi Vaught. Sementara Beckman meninggal di kamp konsentrasi Dachau, Goedhart berhasil melarikan diri pada 2 Agustus 1943 berkat bantuan seorang polisi Belanda, yang mau membantu setelah Goedhart memberitahu jati dirinya sebagai “Pieter ‘t Hoen”. Setelah bebas, dia kembali menjalankan aktivitasnya di Het Parool.
Setelah Belanda merdeka dari Jerman pada 5 Mei 1945, sebagai pejuang perlawanan, Goedhart terpilih menjadi anggota Parlemen Sementara Belanda. Meski kritis terhadap kebijakan Belanda terhadap Indonesia, awalnya pandangan Goedhart sejalan dengan kaum sosialis semasa perang, yang ingin mempertahankan ikatan politik, budaya, dan ekonomi Indonesia dan Belanda. “Indonesia harus dijaga sebagai bagian dari kerajaan Belanda, sampai akhirnya sebagai negara berpemerintahan sendiri dalam Uni Indonesia-Belanda,” tulis Madelon Keizer dalam “From the Resistance into the Cold War: The Dutch Socialist Politician and Publicist Frans Goedhart and the Indonesian Struggle for Independence,” makalah dalam Sixth Interdisciplinary Conference on Netherlandic Studies, di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, 10 Juni 1992.
Pandangan itu kemudian berubah ketika Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dipengaruhi oleh artikel-artikel Jacques de Kadt, koresponden Het Parool yang mengagumi Sutan Sjahrir. De Kadt menolak dan menganggap kolonialisme sebagai bentuk akhir dari eksploitasi kapitalistik. Dia mengusulkan agar Belanda mendorong berdirinya Indonesia yang demokratis dengan harapan bisa menjalin aliansi dengan bekas koloninya.
Goedhart juga membawa pandangan De Kadt ke Parlemen Sementara. Bahkan, ketika parlemen membahas laporan komisi parlemen, yang dikirim ke Indonesia untuk menilai situasi di sana, dia mengecam keras laporan itu. Sayangnya, tak lama kemudian, dia tak bisa melanjutkan upayanya karena gagal jadi anggota parlemen –yang pertama pascaperang– dalam pemilihan umum Mei 1946, meski dia anggota terkemuka Partai Buruh Belanda atau Partij van de Arbeid (PvdA), yang dibentuk pada Februari 1946 sebagai pengganti SDAP.
Tak jadi anggota parlemen lagi, Goedhart memutuskan untuk melihat sendiri situasi di Indonesia. Pada 15 Juni 1946, dia berangkat ke Jakarta. Het Parool mengirimnya sebagai koresponden khusus. Dia bertemu dengan Sjahrir yang masih tinggal di Jakarta –sementara Sukarno dan para menterinya hijrah ke Yogyakarta– di mana Sjahrir mengatakan bersedia melanjutkan negosiasi. Kemudian dia pergi ke Sulawesi untuk menghadiri Konferensi Malino, mengunjungi Bali, kemudian berkeliling Jawa.
Pada 17 Agustus 1946, tulis Keizer dalam “Mission Impossible: The Intermediary Role of the Dutch Politician and Journalist Frans Goedhart in the Dutch-Indonesian Conflict, 1945-1947,” Indonesia, Vol. 55, April 1993; Goedhart diterima sebagai tamu khusus dalam acara peringatan ulangtahun pertama kemerdekaan Republik Indonesia di Yogyakarta.
Dia belum berhasil mewawancarai Sukarno. Tapi, dia dapat mengobrol dengan Hatta, Subandrio, Setiadjit, Sutomo, Darmasetiawan, dan nasionalis terkemuka lainnya. Dia juga berkenalan dengan wartawan Rosihan Anwar. Dalam tulisan “Mengenang HUT Kesatu Proklamasi,” Kompas, 16 Agustus 2006, Rosihan mengingat kembali kebersamaannya dengan Goedhart, naik andong menyisiri Jalan Malioboro menuju gedung yang di zaman kolonial merupakan kediaman Gubernur Yogyakarta, Lucien Adam. “Frans Goedhart berkomentar atas pidato Presiden, Fair on met open vizier, zo is Soekarno (gagah berani dan dengan pandangan terbuka, begitulah Soekarno),” tulis Rosihan.
Kembali ke Jakarta, dia berbicara dengan van Mook, orang-orang sosialis demokrat Belanda dari kelompok progresif, pengusaha perkebunan dan industrialis, hingga orang-orang Indonesia dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan politik. Dia lalu menuliskan laporan dengan nada positif mengenai kaum nasionalis Indonesia, yang bertentangan dengan laporan komisi parlemen.
Hampir lima bulan setelah kembali ke Belanda, pada Januari 1947 Goedhart menerbitkan buku Terug uit Djokja (Kembali dari Yogya), yang juga bernada simpatik. Karena bersimpati pada perjuangan Indonesia, kalangan nasionalis menyebutnya “tuan baik hati” (terjemahan harfiah dari namanya: Goedhart)
Pada September 1946, Goedhart menjadi anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah), menggantikan Willem Schermerhorn, anggota terkemuka PvdA yang dikirim ke Jakarta sebagai ketua Komisi Jenderal dalam Perundingan Linggarjati.
Pada Juni 1947, ketua PvdA mengirim Goedhart ke Indonesia untuk menjelaskan sikap politik partainya tentang hubungan Belanda dan Indonesia. Setelah diterima Sjahrir, dia bertemu dengan Sukarno dan atas nama PvdA menghadiahkan tiga buku politik karya penulis Belanda. Seperti diberitakan Pelita Rakjat, 9 Juli 1947, Goedhart menyatakan, “Partij van de Arbeid ingin melanjutkan hubungan erat antara Belanda dan Indonesia. Mereka tak menghendaki bangsa Belanda kembali lagi sebagai penjajah. Tapi, Belanda harus mempunyai kedudukan sebagai penolong dan teman sejawat. Partai van de Arbeid tak bisa melihat keselamatan dalam suatu penyelesaian militer.”
Namun, pada 21 Juli 1947, Belanda menggelar agresi militer I. Goedhart ditangkap oleh tentara Belanda di rumah teman-temannya di Jalan Bonang, tempat dia tinggal. Mengetahui Goedhart adalah utusan PvdA, tentara Belanda meminta maaf dan membebaskannya. Pagi harinya, Goedhart pergi ke rumah Sjahrir, bertemu dengan A.K. Gani, Hazil Tanzil, dan lain-lain, yang dijaga Kapten Westerling. “Dia berjabat tangan dengan mereka dan mengaku betapa mengerikan dan tak berguna Aksi Polisionil ini,” tulis Keizer dalam “Mission Impossible.”
Goedhart mengutuk serangan militer Belanda. Dia merasa dikhianati pemerintah dan partainya sendiri. Dalam suratnya kepada tokoh PvdA, Willem Schermerhorn, pada 21 Juli 1947, dia mengatakan kecewa dengan politisi PvdA di Belanda:
“Tadi malam, tentara Belanda dikirim oleh Van Mook (kepala pemerintahan Hindia Belanda), disahkan pemerintah Belanda di Den Haag, yang enam menterinya anggota Partai Buruh. Saya sangat yakin bahwa massa sosialis kita akan menentang perang kolonial yang juga dideklarasikan atas nama Partai Buruh... Ini edan dan sungguh sia-sia: ‘aksi militer terbatas’ ini hanya akan mempertebal kebencian dan ketidakpercayaan orang Indonesia kepada kita. Mereka dapat dikalahkan oleh kekuatan militer, tapi kesediaan Republik untuk bekerjasama secara sukarela dengan Belanda akan lenyap sama sekali... Berhadapan dengan banyak teman Indonesia, saya merasa sangat malu.”
Meski kecewa dengan partainya, Goedhart tetap bertahan karena realitas politik dan pula PvdA satu-satunya partai sosialis di Belanda, serta terus mendorong partainya agar lebih memiliki pandangan radikal mengenai Indonesia.
Goedhart terus memegang teguh pendiriannya. Dia kembali menentang agresi militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Namun, setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, dia mencurahkan energinya dalam pertempuran dengan blok Timur. Dia mengikuti perkembangan komunisme di Indonesia dengan penuh kecurigaan.
Pada musim gugur 1952, untuk kali ketiga Goedhart berkunjung ke Indonesia sebagai wartawan Het Parool dan tamu Presiden Sukarno. Dari hasil kunjungannya, dia menulis artikel yang pesimistis dan kritis mengenai situasi di Indonesia, yang menurutnya rentan terhadap korupsi dan kekacauan serta menjadi mangsa empuk bagi komunisme. Bahkan dia menerbitkan buku harian perjalanannya berjudul Een revolutie op drift (Revolusi yang Terapung-apung), yang dilarang beredar di Indonesia. “Buku ini mengasingkannya dari orang-orang Indonesia, yang merasa sangat terluka oleh analisis Goedhart yang kasar dan bias tentang politik dan masyarakat Indonesia,” tulis Keizer dalam “From the Resistance into the Cold War”.
Goedhart pun tak lagi menjadi “tuan baik hati”.
Di Belanda, selama 25 tahun, Goedhart menjadi anggota Tweede Kamer dari PvdA. Atas pengabdiannya, dia dianugerahi gelar Orde van de Nederlandse Leeuw (Ordo Singa Belanda). Pada 1970, bersama Wybrand Schuitemaker, anggota Tweede Kamer dari PvdA, dia memisahkan diri dari PvdA dan mendirikan partai politik baru, DS ‘70 (Democratisch Socialisten). Goedhart meninggal pada 3 Maret 1990.