RANCANGAN Undang-Undang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU Minerba disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI pada 18 Februari 2025. Terdapat sembilan garis besar perubahan dalam revisi UU Minerba, di antaranya terkait perlindungan masyarakat dan daerah usai kegiatan pertambangan, pelaksanaan audit lingkungan, hingga pemberian prioritas penambangan bagi kelompok-kelompok tertentu. Poin terakhir ini memicu kontroversi di masyarakat.
Perdebatan publik telah terjadi sejak munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberikan izin ormas keagamaan dan UMKM untuk mengelola tambang. Aturan tersebut digugat melalui uji materi ke Mahkamah Agung (MA) karena dianggap menguntungkan segelintir elite pengusaha dan penguasa, sementara rakyat yang tinggal di wilayah tambang, justru semakin terjebak dalam kemiskinan struktural.
Pemberian konsensi pengelolaan tambang kepada sejumlah kelompok semakin menuai sorotan ketika Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) mengusulkan agar badan usaha milik perguruan tinggi juga mendapatkan Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP). Wakil rakyat memutuskan bahwa kampus disepakati hanya sebagai penerima manfaat.
Baca juga:
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada kelompok-kelompok tertentu mengingatkan pada kebijakan Program Benteng pada 1950-an yang bertujuan untuk mengembangkan kewirausahaan bumiputra.
Menurut Pham van Thuy dalam “The Constraints of Economic Nationalism in Early Independent Indonesia, 1945-60”, termuat di Promises and Predicaments: Trade and Entrepreneurship in Colonial and Independent Indonesia in the 19th and 20th Centuries, industri yang berkembang dan lahirnya kelompok pengusaha bumiputra yang kuat adalah target utama di awal tahun 1950-an. Dalam artikel “Membangun Ekonomi Nasional” pada Juli 1950, Menteri Kemakmuran Djuanda menyatakan bahwa “ada banyak kesempatan untuk lebih banyak cabang industri dan perusahaan perdagangan baru tanpa mengganggu kepentingan yang sudah mapan”. Gagasan ini kemudian dimasukkan ke dalam Rentjana Urgensi Perekonomian atau disebut Sumitro Plan. Rencana ini disusun oleh Soemitro Djojohadikusomo, menteri perdagangan dan industri pada Kabinet Natsir (September 1950–Maret 1951).
Rencana Soemitro bertujuan untuk meningkatkan kekuatan ekonomi bangsa Indonesia melalui industrialisasi. Kegiatan-kegiatannya meliputi kredit untuk industri skala kecil, pusat produksi, dan unit pengolahan (induk) di pusat-pusat regional pedesaan, serta pabrik-pabrik industri besar di sektor-sektor ekonomi yang vital. Semua proyek dioperasikan di bawah sponsor pemerintah melalui badan-badannya.
Menurut Soemitro dalam biografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, sebagai upaya untuk menghapus proteksi yang selama ini ada di dalam lingkungan perusahaan Belanda, kebijaksanaan Benteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. “Bila bantuan saya berikan kepada sepuluh pengusaha, besar kemungkinannya tujuh orang akan menjadi parasit, sebaliknya tiga orang bakal muncul sebagai pengusaha tulen,” katanya.
Sementara itu, ekonom Rawi Abdelal menjelaskan dalam National Purpose in the World Economy, di masa-masa awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia menggariskan empat tujuan ekonomi: membangun kendali Indonesia atas kegiatan ekonomi, mendorong redistribusi hasil-hasil produksi kepada warga negara Indonesia, mendorong pembangunan, dan menjaga stabilitas ekonomi. Ketika itu, seperti halnya di seluruh Asia Tenggara pascakolonial, pemerintah memusatkan upaya Indonesianisasi pada perdagangan, khusunya perdagangan impor. Melalui program Benteng, pemerintah mencadangkan sejumlah barang konsumsi untuk importir nasional. Dalam kerangka yang sama, pemerintah juga membiayai kemunculan dan kegiatan orang Indonesia yang memasuki sektor impor.
Baca juga:
Empat Partai Ini Terjerat Korupsi
“Sebagian besar orang Indonesia menganggap program Benteng penting karena sektor impor sangat menonjol dan telah lama didominasi oleh penduduk Tionghoa, di kota-kota dan oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Lima Besar (Borsumij, Jacobsen van den Berg, George Wehry, Inernation, dan Lindeteves). Dengan demikian, Benteng dimulai sebagai inisiatif yang relatif sederhana namun penting secara politis untuk mengubah struktur perdagangan Indonesia dengan mendorong perkembangan kelas bisnis Indonesia,” tulis Abdelal.
Program Benteng yang pertama mencadangkan beberapa barang tertentu untuk importir pribumi dan menyediakan kredit melalui BNI bagi mereka yang memenuhi syarat. Richard Robinson menulis dalam Indonesia: The Rise of Capital, kualifikasi untuk masuk ke dalam program ini, di permukaan, cukup ketat. Setiap penerima manfaat haruslah importir baru di Indonesia, yang menjalankan perusahaan atau kemitraan, berbadan hukum dengan modal kerja minimal Rp100.000, memiliki kantor dan beberapa karyawan serta memiliki pengalaman bisnis. Tujuh puluh persen dari modal tersebut harus disediakan oleh warga negara Indonesia.
“Hingga tahun 1955, orang Tionghoa dianggap sebagai orang asing dan tidak memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam program ini,” tulis Robinson.
Namun, pada praktiknya terjadi penyalahgunaan karena importir Tionghoa dapat memeroleh izin impor. Mereka beroperasi melalui pemegang lisensi boneka yang merupakan orang Indonesia asli, yang disebut sebagai “importir koper”. Hal ini terjadi karena banyak orang Indonesia yang terlibat dalam bisnis impor dan tidak memiliki pengalaman komersial “menyewakan” lisensi kepada para pengusaha Tionghoa dalam kesepakatan diam-diam yang dikenal sebagai kemitraan Ali-Baba. Pada awal tahun 1955, kepala Kantor Pusat Urusan Impor (KPUI), lembaga yang bertanggung jawab menjalankan kebijakan Benteng, memperkirakan hanya 50 dari sekian banyak perusahaan pengimpor nasional yang bonafid. Sekitar 80 persen dari semua lisensi, yang telah dialokasikan untuk importir nasional, dijual kepada pedagang nonpribumi.
“Alih-alih membangun kelompok pengusaha nasional yang kuat, Program Benteng justru memupuk sekelompok pemburu rente yang tidak produktif secara sosial,” tulis Thee Kian Wie dalam Recollections: The Indonesian Economy, 1950s –1990s.
Baca juga:
Kritik pun bermunculan terhadap Program Benteng. Kontroversi semakin panas setelah Iskaq Tjokrohadisurjo diangkat menjadi menteri perekonomian pada awal Juni 1953 dalam kabinet Ali Sastoamidjojo. Menurut J. Thomas Linblad dalam Bridge to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia, Iskaq menjadi terkenal sebagai “tukang tadah PNI”, orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan uang kotor. Pada September 1954, dia mengeluarkan peraturan “P [Peraturan] 41”, yang mencadangkan 15 kategori utama impor khusus untuk pengusaha Benteng, meningkatkan porsi mereka dalam total impor dari 40 persen menjadi 60 persen. Hal ini menimbulkan kemarahan, terutama dari etnis Tionghoa. Imbasnya, Presiden Bank Sentral Sjafruddin Prawiranegara bersikeras agar Iskaq mencabut peraturan tersebut, karena prosedur yang benar tidak diikuti.
Iskaq menuruti tetapi diam-diam mengganti direktur KPUI. Selang beberapa bulan, pada November 1953, Iskaq kembali terlibat dalam kontroversi mengenai barang-barang Benteng. Tak butuh waktu lama hingga istilah Ali-Baba, yang merujuk pada usaha patungan semu antara orang Indonesia dan etnis Tionghoa, menjadi buah bibir publik.
Putaran pendaftaran baru untuk importir nasional diikuti pada Maret 1954, kali ini menetapkan bahwa perusahaan harus sepenuhnya dimiliki warga negara Indonesia untuk memenuhi syarat. Jumlah importir nasional, yang di antara mereka memeroleh 85 persen dari seluruh lisensi impor, meningkat menjadi 4.000. Sebuah sistem lelang yang tidak resmi namun sangat ramai berkembang di mana izin impor dijual dengan harga 200-250 persen dari nilai nominalnya dan para perantara bumiputra mengantongi Rp2.000-Rp5.000 setiap bulan.
“Praktik-praktik tersebut menunjukkan bahwa perburuan rente merupakan inti dari pelaksanaan kebijakan Benteng. Wakil Perdana Menteri Wongsonegoro dari Persatuan Indonesia Raya (PIR) yakin bahwa sebanyak 80 persen dari seluruh lisensi yang dialokasikan untuk impor nasional ternyata dijual kepada pedagang nonpribumi. Kebijakan Benteng dengan cepat menjadi skandal nasional,” tulis Linblad. “Korupsi merajalela di KPUI. Hadiah-hadiah ditinggalkan di depan pintu, ‘untuk orang dalam’... Iskaq yang gagal meyakinkan publik bahwa dia tidak bersalah, kembali mengganti direktur KPUI pada Juni 1954, dan sebulan kemudian mengakui secara terbuka bahwa KPUI ‘rawan’ (kwetsbaar),” tambahnya.
Skandal lisensi impor semakin sengit dan mencapai puncaknya pada November 1954. Ada desas-desus bahwa KPUI meminta uang sogokan dari orang-orang yang ingin mendaftar sebagai importir nasional, dan menyalurkan uang tersebut ke dalam dana partai yang berkuasa, PNI. Dua partai muslim dalam koalisi, NU dan PSII, diduga juga menikmati perlakuan istimewa, seperti halnya beberapa individu yang memiliki kedudukan, bersama dengan Wakil Perdana Menteri Wongsonegoro. Semua itu dibantah oleh Achmad Ponsen, direktur ketiga KPUI yang menjabat selama 14 bulan, tetapi Iskaq dipaksa mengundurkan diri dan Wongsonegoro juga mengundurkan diri.
Baca juga:
Jatuh Bangun Pemberantasan Korupsi
Greg Fealy menulis dalam Ijtihad Politik Utama, beberapa surat kabar menuduh Wahab Chasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, memanfaatkan pengaruh politik untuk mendapatkan keuntungan komersial. Tuduhan ini terutama diarahkan kepada dua perusahaan, PT Sri Gula, yang presiden direkturnya adalah Wahab, dan CV Kurnia milik Wahib Wahab. Kedua perusahaan itu dimodali oleh pengusaha Tionghoa. Ada dugaan Wahab menekan Burhanuddin, menteri bidang ekonomi yang berasal dari Partai NU, untuk menyetujui pengambilalihan Sri Gula dari CV Nivas, perusahaan yang memegang sebagian monopoli dalam distribusi gula. Usaha pengambilalihan tersebut dibatalkan setelah pers menyatakan bahwa Sri Gula nyaris tidak memiliki pengalaman dalam bidang industri gula. Di sisi lain, CV Kurnia diberi izin untuk mengekspor karet mentah, dan dituduh atas kasus menjual lisensi ketika tidak mampu memenuhi kuota yang ditetapkan.
“Kasus yang paling serius melibatkan Wahib Wahab, yang terpaksa harus dicopot dari kabinet dan kemudian dipenjarakan setelah terbukti bersalah atas pelanggaran yang menyangkut mata uang asing. Sulit membuktikan semua tuduhan tersebut mengingat hanya sedikit kasus yang berlanjut hingga ke pengadilan, penyelidikan polisi juga seringkali terhambat oleh campur tangan politik,” tulis Fealy.
Pada akhirnya, program Benteng menjadi skandal nasional karena partai-partai politik mengeksploitasinya sebagai bentuk patronase dan korupsi yang mudah. Program Benteng secara resmi dihentikan pada 1957.*