Korupsi Pertamina yang Terus Bermutasi

Menggiurkannya bisnis minyak bikin Pertamina nyaris tak pernah steril dari mafia dan pemburu rente. Skandal terbarunya meruntuhkan kepercayaan publik. 

Oleh: Randy Wirayudha | 24 Mar 2025
Korupsi Pertamina yang Terus Bermutasi
Ilustrasi SPBU Pertamina (Randy Wirayudha/Historia.ID)

HINGGA memasuki bulan ketiga tahun ini, “Klasemen Liga Korupsi Indonesia” masih “seru” seiring mencuatnya skandal dugaan Pertamax oplosan. Tak ayal Pertamina menyodok PT Timah di pucuk klasemen dengan perkiraan kerugian negara yang menyentuh angka Rp.968,5 triliun. 

Angka tersebut masih perkiraan dari pihak Kejaksaan Agung RI yang mulanya memeriksa kasus oplosan Pertamax atau bahan bakar minyak (BBM) dengan Research Octane Number (RON) 92 di tahun 2023 dengan nilai kerugian Rp.193,7 triliun. Masalahnya, skandalnya terjadi kurun 2018-2023 sehingga jika dikalikan mencapai angka nyaris Rp1 kuadriliun. 

Dari penyidikan oleh Jampidsus Kejaksaan Agung RI, ditemukan adanya pengoplosan RON 92 dengan RON 88 untuk kemudian dipasarkan seharga RON 92 alias Pertamax. Akibatnya fatal, sebab menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Advertising
Advertising

Yang paling dikhawatirkan potensi cancel culture karena merosotnya kepercayaan publik terhadap Pertamina sehingga publik bisa beralih ke perusahaan-perusahaan penyedia BBM swasta merk asing, seperti BP-AKR (British Petroleum-PT Aneka Petroindo Raya), Vivo, atau Shell. Kejaksaan Agung sampai menghimbau publik agar tidak serta-merta meninggalkan Pertamina demi mencintai produk sendiri. 

“Padahal dulu Pertamina berjuangnya sangat keras sekali. Banyak yang tidak tahu perjuangan Pertamina untuk mendapatkan kepercayaan tidak mudah. Dulu Pertamina itu SPBU-nya kumuh. Kalau hari ini, welcome to competition,” ujar ekonom dan praktisi bisnis Prof. Rhenald Kasali di program “Intrigue RK: Sejarah Pertamina Berulang, Mafianya Memang Banyak” di akun Youtube Prof. Rhenald Kasali, 9 Maret 2025. 

Baca juga: Permigan, Saudara Tua Pertamina

Yang dimaksudkan Prof. Rhenald adalah upaya-upaya Pertamina, utamanya ketika dipimpin direktur utama (dirut) Ari Hernanto Soemarno (2006-2009) yang membawa DNA Pertamina perlahan tapi pasti “bermutasi” menjadi sebuah powerhouse yang lebih bisa dibanggakan publik. Baik dari tata kelola di hulu pada manajemennya hingga hilir di semua SPBU se-Indonesia. 

“Kan sejak itu juga mereka bikin campaign: ‘Dimulai dari angka 0 ya.’ Semua dia ubah untuk mendapatkan kepercayaan. Jadi ketika SPBU asing: Shell, BP-AKR, Petronas, masuk, itu tidak disambut baik oleh konsumen. Jadi Pertamina berhasil mendapatkan simpati dari masyarakat sampai situasinya berubah kembali pada hari ini,” imbuh penulis buku Mutasi DNA Powerhouse: Pertamina on the Move (2008) tersebut. 

Guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu tentu tak menampik fakta banyaknya pemburu rente yang terus bercokol di Pertamina dari dulu hingga sekarang. Sejak era dirut pertamanya, Mayjen (Purn) Ibnu Sutowo, cara-cara yang digunakan dalam korupsi Pertamina bak mengikuti perkembangan zaman alias terus bermutasi. 

“Ada orang-orang yang memang berjuang dan sangat patriotis tapi juga ada orang yang senang mengejar rente, bekerjasama dengan para pemburu rente. Kasus-kasusnya banyak sekali yang mungkin masih merembet sampai sekarang,” lanjut Prof. Rhenald.

Pada kasus terbaru ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023 itu.

Para tersangkanya meliputi sejumlah pejabat tinggi di anak perusahaan Pertamina, di antaranya Dirut PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Feedstock and Producti Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza yang juga putra “The Gasoline Godfather” Mohammad Riza Chalid, dan Direktur PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo yang notebene putra mantan dirut Pertamina, Joedo Sumbono. 

Baca juga: Foya-Foya Bos Pertamina

Dari Skandal ke Skandal 

Korupsi di perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas (migas) itu bahkan sudah terjadi sejak 1970-an ketika Ibnu Sutowo masih jadi dirutnya. Meski “berjasa” mengembangkan Pertamina kurun 1968-1976, skandal penyelewengannya kemudian tercium mulai 1974. 

Sebagai respon, Presiden Soeharto lantas membentuk Komisi Empat. Sejumlah kecurangan menjadi temuan komisi tersebut.

“Pada 1970, Komisi Empat banyak memberikan perhatiannya pada Pertamina dan melancarkan kritiknya terhadap berlanjutnya pengelakan terhadap proses tanggungjawab yang normal. Komisi menunjukkan dengan jelas bahwa Sutowo menjalankan otonomi luas dalam penggunaan keuangan perusahaan. Hal ini terbukti dengan adanya sejumlah besar pendapatan yang tidak dibukukan. Komisi mendaftar sejumlah pelanggaran,” tulis Richard Robison dalam Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia.

Ibnu Sutowo akhirnya terdongkel dari jabatannya pada 1976 meski ia tak pernah diselidiki secara hukum apalagi diajukan ke meja hijau. Posisinya digantikan eks-dirut keuangan yang juga berlatarbelakang militer, Mayjen (Purn.) Piet Haryono, yang datang untuk membenahi kondisi Pertamina yang dijerat utang mencapai 10,5 miliar dolar Amerika. 

Baca juga: Permina di Tangan Ibnu Sutowo

Selain mendapat bantuan keuangan dari pemerintah, Piet berusaha membenahi Pertamina dengan lebih dulu mengamankan gas alam cair (LNG) dari perubahan kebijakan keuangan pada Kontrak Bagi Hasil. Dalam Transformasi Pertamina: Dilema Antara Orientasi Bisnis & Pelayanan Publik, ekonom Prof. Mudrajad Kuncoro mencatat Piet berhasil mengubah pembagian usaha dari Kontrak Bagi Hasil dengan perusahaan asing dari persentase 65-35 menjadi 85-15 demi laba Pertamina. 

“Hal ini merupakan kejadian yang tak lazim bagi perusahaan minyak asing. Namun pada akhirnya persentase 85-15 yang diinginkan Piet Haryono berhasil diberlakukan, walau ada beberapa persyaratan lain yang diperingan sebagai kompensasi. Selama lima tahun masa kepemimpinannya, beberapa kemajuan dicapai Pertamina. Proyek LNG yang pada masa awalnya masih terdiri dari lima train bertambah menjadi sembilan train,” tulis Mudrajad.  

Piet juga melakukan reorganisasi tata kelola Pertamina. Tak hanya “merumahkan” sejumlah pegawai dan pejabat yang dianggap minim kontribusi, dia juga mengelola pinjaman utang, di mana tidak lagi dilakukan secara langsung melainkan melalui Departemen Keuangan. 

“Di bawah kepemimpinannya ada suasana baru pula. Kewirausahaan yang tumbuh luar biasa di zaman Ibnu pelan-pelan maupun radikal dipadamkan oleh Piet Haryono. Pertamina mulai berubah diarahkan jadi safety player. Langkah Piet tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Ketika itu Pertamina dan pemerintah masih trauma dan harus fokus pada penyembuhan luka-luka paskakrisis 1975,” ungkap Rhenald dalam bukunya. 

Baca juga: Pertamina Digerogoti Korupsi Sejak Dirut Pertama

Pada April 1981, Pertamina mulai dinakhodai Brigjen (Purn.) Joedo Sumbono yang sebelumnya menjabat direktur pembekalan dalam negeri. Sebagai pengganti Piet yang pensiun, Joedo mengemban tugas tidak hanya meningkatkan produksi dan menambah devisa negara tapi juga memodernisasi Pertamina jadi BUMN yang akuntabel. 

“Patut dicatat upayanya meletakkan dasar distribusi bahan bakar minyak di seluruh tanah air yang dibagi-bagi dalam unit pemasaran. Menjelang memasuki Pembangunan Lima Tahun (Pelita) IV, Pertamina untuk pertama kalinya juga menyusun Rencana Korporat 1984/1985. Joedo juga mengemudikan Pertamina melalui masa sulit akibat resesi yang melanda dunia saat itu,” sambung Mudrajad. 

Namun di masa kepemimpinannya pula mulai kembali muncul para “penjahat” dengan modus baru: manipulasi minyak di atas kapal tanker pada 1982. Ada pihak-pihak luar yang membuat kontak dengan para pejabat Pertamina untuk manipulasinya. Hasilnya, pada medio Mei 1982 sebanyak 38 pegawai Pertamina dipecat dan 116 lainnya diusut diajukan ke pengadilan. 

Namun pada 1984, justru Joedo yang ikut diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Sebagaimana diberitakan suratkabar The Strait Times, 14 Juni 1984, Presiden Soeharto mencopot Joedo dan menggantikannya dengan Mayjen (Purn.) Abdul Rachman Ramly dengan alasan meningkatkan produksi dan efisiensi. 

Baca juga: Mengurai Akar Kejahatan Korupsi

Spekulasi yang muncul, ada faktor pihak asing dalam pemecatan Joedo. Hal itu tersingkap dalam sebuah arsip badan intelijen Amerika, CIA, tertanggal 16 Juni 1984 bertajuk “Indonesia: Foreign Investment in the Oil Sector”. Arsip asesmen intelijen yang baru diungkap secara terbuka pada 27 Januari 2012 itu mengungkapkan kesulitan negosiasi perusahaan-perusahaan asing seperti Caltex dan Stanvac dalam negosiasi Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil. 

“Sumbono diberhentikan setelah beberapa bulan menuai kritik dari beberapa pejabat senior Indonesia dan para perwakilan perusahaan minyak asing. Penunjukan Ramly yang disebutkan punya hubungan erat dengan Panglima ABRI (Jenderal) Murdani, diharapkan bisa mendorong perusahaan asing yang selama ini mengeluhkan penundaan kontrak-kontrak oleh Sumbono, agar bisa terus berinvestasi dalam industri minyak dan gas Indonesia,” bunyi potongan laporan arsip tersebut. 

Seiring waktu, bau amis skandal-skandal yang sebelumnya tersembunyi akhirnya tercium juga pasca-Reformasi. Medio November 2000, Kejaksaan Agung mengungkap sejumlah praktik korupsi pada berbagai proyek di Pertamina yang tak hanya melibatkan “Keluarga Cendana” tapi juga beberapa dirut Pertamina. Termasuk AR Ramly (dirut Pertamina periode 1984-1988) dan Faisal Abda’oe (1988-1996). 

“Penyimpangan dan penyelewengan dana Pertamina melibatkan Pertamina sendiri dan pihak swasta yang melakukan kontrak dalam suatu proyek. Dana dalam Rapat Kerja antara Komisi VIII DPR dengan Kejaksaan Agung tanggal 16/11/2000, terungkap dengan jelas telah ditemukan 159 kasus kontrak yang berindikasikan kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di Pertamina, antara lain: Proyek Balongan, Kasus Proyek Lapangan Bunyu, Kasus Proyek Lapangan Pendopo, Kasus Proyek Lapangan Prabumulih, Kasus Proyek Lapangan Jatibarang, Kasus Pipanisasi Jawa oleh PT. Triharsa Bumanusa Tunggal (PT TBT) dan Kasus Pipa Tanpa Kampuh,” tulis majalah Parlementaria edisi No. 34 tahun 2001. 

Baca juga: Jatuh Bangun Pemberantasan Korupsi

Kasus proyek lapangan sumur minyak di Bunyu, Prabumulih, Pendopo, dan Jatibarang sempat menyeret dua nama menteri pertambangan dan energi (kini menteri energi dan sumber daya mineral/ESDM), yakni Ginandjar Kartasasmita (periode 1988-1993) dan Ida Bagus Sudjana (periode 1993-1998). Sang menteri, menurut buku Antara Hukum dan Keadilan dalam Lima Tahun Setelah Reformasi terbitan Tempo, diduga menyetujui proyek bantuan teknis di lapangan-lapangan itu dari PT Ustraindo selaku kontraktor, di mana pemilihan kontraktornya tanpa melewati proses tender. Negara dianggap merugi sekira Rp162 miliar karena biaya bantuan teknisnya kepada perusahaan swasta itu berupa fee dari produksi minyak sebesar 29 persen per barel. Menariknya nama Ginandjar juga kembali diseret-seret dalam kasus Proyek Balongan yang juga menjerat eks-direktur pengolahan Pertamina, Tabrani Ismail. Sementara, kasus proyek pipanisasi juga menyeret nama-nama anggota keluarga Cendana. 

“Dugaan mark up 22 juta dolar AS dalam proyek pipanisasi Peratmina yang melibatkan Tutut, Rosano Barack dari Bimantara (PT TBT, red.), dan dirut Pertamina Fisal Abda’oe (alm.); dugaan korupsi sebesar hampir 25 juta dolar AS dalam proyek TAC (technical assistance contract) pengeboran sumur minyak Pertamina oeh PT Ustraindo Petro Gas yang melibatkan Menteri I.B Soedjana dan Ginanjar, mantan dirut Pertamina Faisal Abda’oe, dan Direktur PT UPG Praptono H. Tjiptohupoyo; kasus proyek Exxor I Balongan yang melibatkan Erry Oudang, kemenakan Ny. Tien Soeharto dan Menteri Ginanjar yang menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp2,5 triliun,” urai sejarawan FX Baskara Tulus Wardaya dalam Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto. 

Kasus yang menggerogoti Pertamina belakangan ini, dengan beberapa pejabat anak perusahaannya, PT Pertamina Patra Niaga, mengingatkan masyarakat terhadap masa lalu terkait mafia-mafia migas dan pembubaran anak perusahaan Pertamina lainnya, Petral (Pertamina Energy Trading Limited) pada 2015 silam. Mulanya perusahaan trading itu adalah milik swasta, PT Petral Group, yang sudah eksis sejak 1969 tapi diakuisisi Pertamina pada 1992 dan terdaftar di Singapura. 

“Kalah melihat perusahaan trading yang benar, beda sekali dengan Petral. Trading company kekuatannya pada riset, jaringan, kepercayaan, dan keuangan. Petral enggak punya kemampuan keuangan. Semuanya tergantung pada order dari Pertamina. Dia vehicle di luar negeri tapi kemudian di sini (Jakarta) ada orang yang tentukan order-nya. Akibatnya ini menjadi permainan. Yang ditaruh di Petral adalah orang-orang kepercayaan orang tertentu,” sambung Prof. Rhenald. 

Baca juga: Mental Korupsi Pejabat Pribumi

Di sana pula, ujar Prof. Rhenald, banyak bercokol para pemburu rente yang “bermutasi” jadi mafia-mafia migas dalam impor BBM. Dari waktu ke waktu, praktik-praktik busuk itu tetap eksis dan baru mulai terendus medio 2014. 

Skandalnya kemudian diusut Satgas Anti-Mafia Migas yang bekerja di bawah Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi dari Kementerian ESDM, yang dibentuk untuk menyelidiki dugaan permainan kotor impor migas kurun 2012-2014. Temuan tim satgas pimpinan mendiang ekonom Faisal Basri itu adalah kecurangan pengadaan perusahaan minyak pemerintah asing. Dalam audit forensik pun tecium indikasi jaringan mafia migas yang menguasai kontrak suplai minyak selama kurun waktu di atas senilai Rp250 triliun. 

Laporan itu lalu disampaikan ke Menteri ESDM Sudirman Said yang kemudian menembuskannya ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kasusnya kemudian diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) walau hingga kini tak pernah tuntas ditangani kendati Petral dibubarkan pada 2015. 

“Kebetulan waktu itu ditugasi berbenah oleh Presiden. Ketika awal-awal lancar. Di tengah proses audit terjadi gangguan-gangguan, orang dipanggil minta auditnya diberhentikan. Presiden Jokowi juga memanggil saya waktu itu dan di sana ada dua menteri, mempertanyakan apakah ini mau diteruskan atau tidak. Sambil memberi aba-aba menteri lain. Menteri lain mengatakan, ‘hati-hati itu nanti mafianya melawan balik.’ Saya katakan, ‘Pak Presiden, semuanya terpulang pada bapak. Saya kan melaksanakan perintah bapak’,” kenang Sudirman di program “Gaspol Ft. Sudirman Said, Korupsi Pertamina: Mafia BBM Cuma Ganti Pemain dari Petral” di Youtube kompas.com, 1 Maret 2025. 

Baca juga: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru

TAG

pertamina minyak-bumi perusahaannegarapertambanganminyakdangasnasional skandal korupsi

ARTIKEL TERKAIT

Bayang-bayang Ali-Baba dalam UU Minerba Pertamina Digerogoti Korupsi Sejak Dirut Pertama Bandara Manggar yang Hilang Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Pesta Liar dan Skandal Bintang Besar Hollywood Korupsi di Era Orde Baru Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Pejabat Negara dan Skandal Wanita Kini Minyak, Dulu Rempah