Masuk Daftar
My Getplus

Mental Korupsi Pejabat Pribumi

Keinginan para pejabat pribumi memiliki harta lebih banyak di luar kemampuannya datang dari keinginan membahagiakan keluarga. Cikal bakal korupsi?

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 08 Des 2020
Potret kehidupan bangsawan Jawa (Troppenmuseum/Wikimedia Commons)

Salah seorang menteri dalam Kabinet Indonesia Maju lagi-lagi tersandung kasus korupsi. Setelah sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kali ini penyalahgunaan kekuasaan dilakukan Menteri Sosial Juliar Peter Batubara. Ia bersama empat lainnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas penyelewangan dana bantuan sosial penanganan Covid-19.

Dugaan tindak korupsi itu terbongkar lewat Operasi Tangkap Tangan KPK pada Minggu (06/12/2020). Dilansir CNN Indonesia, para penyidik KPK berhasil mengamankan uang tunai sekitar 14,5 miliar rupiah dalam berbagai bentuk pecahan uang. Diketahui Juliar meminta jatah 10 ribu dari setiap paket bantuan senilai 300 ribu.

Baca juga: Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru

Advertising
Advertising

“Itu uang rakyat, apalagi ini terkait dengan bansos, bantuas sosial dalam rangka penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional. Bansos itu sangat dibutuhkan untuk rakyat,” ujar Presiden Joko Widodo seperti dikutip laman resmi Sekertaris Negara RI.

“Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi dan kita semua percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional,” lanjutnya.

Masyarakat pun ramai mengecam tindakan menteri sosial itu. Di media sosial Twitter, banyak masyarakat yang mengungkapkan kekecewaan terhadap penyelewengan dana bantuas sosial tersebut. Tindakan Juliari dan sejumlah pejabat di Kemensos begitu melukai kepercayaan rakyat. Terutama di tengah situasi bencana saat ini.

Baca juga: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru

Dalam sejarah, praktik memperkaya diri pernah menjadi bagian dari masyarakat tradisional Indonesia. Tindakan tersebut kerap dilakukan oleh pejabat tinggi dan bangsawan pribumi abad ke-17 sampai abad ke-19. Mereka menggelapkan dana pembangunan wilayah, hasil penggarapan tanah serta pajak yang disetorkan kepada pemerintah Belanda. Bahkan praktek tersebut dilakukan pula oleh pemilik lahan kepada para pekerjanya.

Menurut Erlina Wiyanarti dalam Korupsi Pada Masa VOC dalam Multiperspektif, mental korup erat kaitannya dengan mental loyal terhadap keluarga, desa, atau kelompok berdasarkan agama, bahasa, etnik, dan kasta, baik di level lokal maupun nasional. Hal itu terlihat pada masyarakat Jawa abad ke-17 sampai ke-18 yang menganggap nilai-nilai solidaritas utama dilakukan pada sanak saudara dahulu, baru kemudian lingkungan masyarakat.

Di dalam kehidupan bangsawan kala itu, kata Erlina, banyak orang menggantungkan hidup kepadanya. Tidak hanya sanak saudara terdekat, tetapi para abdi dan pelayan juga ada dalam tanggungan para bangsawan tersebut. Maka tidak heran, meski para bangsawan berusaha hidup sederhana, kebutuhan sehari-hari tetap banyak. Itulah yang membuat mereka terkadang harus berhutang kepada pejabat Belanda atau menggelapkan harta demi menyambung hidup.

Baca juga: Emas Kegemaran Bangsawan Jawa

“Tradisi loyal terhadap family dalam budaya masyarakat Jawa merupakah salah satu etika kebangsawanan,” ungkap Erlina. “Kewajiban dia sebagai pegawai publik kepada kantornya adalah kewajiban kedua dari kewajiban mereka kepada keluarga dan komunitasnya. Loyalitas model tersebut jelas telah menjadi salah satu akar dari tumbuhnya bahkan menguatnya mental dan perilaku korup.”

Ironinya, ada juga bangsawan dan priyayi yang melakukan korupsi karena kebiasaan mengikuti gaya hidup seorang raja. Sebagai pemilik kursi tertinggi birokrasi tradisional, kedudukan raja jelas lebih tinggi dari bangsawan. Mereka memiliki hak atas segala kemewahan yang ada di atas tanah kuasanya. Sedangkan seorang bangsawan memiliki derajat kemewahan yang terbatas. Meski begitu tidak sedikit dari mereka yang berusaha menghadirkan gaya hidup istana ke tempatnya. Sehingga memunculkan hasrat untuk terus mendulang harta yang terkadang tidak didapat dari jalan biasa.

Dijelaskan Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, lahan untuk para perjabat dan bangsawan berbuat culas begitu lebar. Mereka biasanya dipercaya oleh penguasa daerah untuk mengurusi pengelolaan lahan, upeti, hingga pemungutan pajak. Dengan tidak adanya pengawasan yang jelas, para pejabat bebas melakukan penyelewengan di dalam tugasnya tersebut.

Baca juga: Rezim Kopi di Priangan

Seperti terjadi di wilayah Priangan antara abad ke-17 hingga abad ke-18, yang bupatinya banyak berprilaku korup. Erlina menyebut jika para bupati kala itu melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan diri sendiri dan memeras rakyatnya. Mereka seringkali membayar sangat rendah usaha para petani kopi, sementara mereka memperoleh harga tinggi dari para pejabat VOC. Harga perpikul kopi pun terkadang dinaikkan oleh para pejabat korup tersebut.

“Para bupati itu –karena terikat oleh adat istiadat untuk menyokong sebagian besar sanak saudara dan sejumlah besar pengikut mereka dengan penghasilan yang bertambah itu, yang sering kali menyebabkan mereka menghabiskan lebih banyak uang daripada yang bisa mereka peroleh– segera jatuh dalam utang berat yang harus mereka bayar dengan bunga satu persen sebulan,” kata Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.

Baca juga: Guru Bagi Para Ulama dan Bangsawan

Keserakahan akan harta dan miskinnya integritas para pejabat, imbuh Erlina, merupakan mental yang menyuburkan korupsi. Namun dari perspektif budaya, yang dalam hal ini budaya Jawa di masa lalu, ia juga mencatat bahwa tindakan korupsi akibat gaya hidup hedonis tidak bisa disamakan dengan pengertian korupsi modern yang rasional. Ketika kekuasaan bertumpu pada pola birokrasi patrimonial, penyelewengan harta akan dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan para pemilik kekuasaan.

“Masyarakat Jawa yang feodal menganggap segala tindakan yang kini dianggap merupakan tindakan korupsi adalah sesuatu yang wajar, artinya selama masyarakat berpandangan seperti itu maka hal demikian tidaklah dilihat sebagai sesuatu yang salah,” kata Erlina.

TAG

korupsi

ARTIKEL TERKAIT

Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Korupsi di Era Orde Baru Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Gubernur Jenderal VOC yang Dituduh Korupsi Jatuh Bangun Pemberantasan Korupsi Foya-foya Bos Pertamina Ibnu Sutowo Menyita Harta Pejabat Kaya Raya Anak Tiran Masuk Istana