Sejumlah pejabat Kementerian Keuangan dari Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai menjadi sorotan publik belakangan ini. Mulai dari jumlah kekayaan fantastis, koleksi kendaraan mewah, hingga pamer gaya hidup yang kelewat glamor anak dan istri mereka di sosial media. Sebagai pejabat negara, perolehan harta dan aset mereka dinilai tidak wajar. Apalagi yang mereka kelola adalah pendapatan masyarakat yang dipotong pajak. Menkopolhukam Mahfud MD menyebut ada transaksi mencurigakan senilai Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan.
Penyimpangan tersebut dalam lembaga maupun badan usaha milik negara bukanlah hal baru. Pertamina pada masa awal Orde Baru juga pernah diterpa kabar miring serupa. Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo disebut-sebut menjalankan perusahaan minyak negara itu layaknya kerajaan bisnisnya sendiri. Kementerian Keuangan bahkan tak mampu mengendus berapa penghasilan dan pengeluaran Pertamina. Mochtar Lubis, jurnalis pemimpin redaksi koran Indonesia Raya, acapkali menyoal kepemimpinan bos Pertamina itu.
“Di samping pengeluaran-pengeluaran keuangan dalam jumlah yang amat besar untuk dana ini dan dana itu, yang berada di luar pekerjaan Pertamina (belum dihitung hadiah-hadiah perangkat untuk main golf yang mahal-mahal harganya, yang dihadiahkan Ibnu Sutowo seenaknya pada banyak orang yang disenanginya atau yang diperlukannya),” cetus Mochtar Lubis dalam tajuk harian Indonesia Raya, 25 November 1969.
Baca juga: Pertamina, Perusahaan Negara yang Menjadi Sarang Korupsi
Sepanjang tahun 1970-1973, Indonesia Raya gencar memberitakan sepak terjang Ibnu mengelola Pertamina. Usut-mengusut ini berhubungan dengan keuangan Pertamina yang tidak transparan. Dikabarkan, Ibnu Sutowo kerap menggunakan kas Pertamina untuk kepentingannya sendiri.
Kepada wartawan Time, Louis Kraar, Ibnu Sutowo pernah mengaku membagi-bagikan derma sampai 500.000 dolar Amerika setiap tahun, yang diambil dari dana-dana pemerintah, uang negara. Ibnu Sutowo juga memiliki sekira 6 atau 7 perusahaan pribadi, yang menurutnya diurusnya di kala senggang, termasuk proyek restoran di New York.
Mochtar Lubis mengecam kebijakan buang-buang uang ala Ibnu Sutowo. Mulai dari melobi klien bisnisnya dengan seperangkat hadiah golf yang mahal hingga penyelenggaraan pesta ulang tahun Pertamina di luar negeri. Dananya tentu saja berasal dari Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara. Untuk membuktikan semua penyelewengan itu, Mochtar Lubis menyatakan kesiapannya andai kata Indonesia Raya diadukan ke pengadilan.
Baca juga: Sidang Terbuka Jusuf Muda Dalam
“Kami amat senang jika Ibnu Sutowo menempuh jalan ini […..] Kami telah bersedia dan telah siap,” katanya dalam tajuk harian Indonesia Raya, 29 Januari 1970.
Ibnu Sutowo bukannya tidak menyadari kebijakan maupun gaya hidup jetsetnya bakal memantik kontroversi. Menurutnya apa yang dia lakukan hanyalah meneruskan tradisi. Seperti disebut Mara Karma dalam biografi Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi: Sebagai Dokter, Tentara, Pejuang Minyak Bumi, Ibnu Sutowo tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti langgam yang berlaku pada kehidupan dunia bisnis perminyakan.
Mochtar Lubis, menurut David T. Hill, penulis biografi Mochtar Lubis, Jurnalisme dan Politik di Indonesia, kemudian didekati oleh asisten Ibnu Sutowo yang ingin menguji minatnya dalam konsesi minyak. Pendekatan itu ditafsirkan Lubis sebagai iming-iming keuangan untuk menghentikan investigasi. Dengan kata lain: disogok.
Baca juga: Hoegeng, Polisi Anti Suap
Namun, pada 1974, Mochtar Lubis akhirnya benar-benar berhenti melontarkan kritik terhadap Pertamina dan Ibnu Sutowo. Bukan karena sogokan, melainkan karena dia dipenjara setelah Indonesia Raya memberitakan huru-hara kerusuhan Malari. Peristiwa itu mencoreng citra pemerintah Indonesia. Selain mendekam di Rumah Tahanan Militer (RTM) Nirbaya, koran yang diasuh Mochtar Lubis itu juga diberedel.
Sementara Mochtar Lubis dipenjara, Pertamina justru berjaya. Menyusul perang Arab-Israel (Perang Yom Kippur), negara-negara Barat memilih mengimpor minyak dari Indonesia. Sekutu Arab enggan menjual minyaknya kepada Amerika dan Eropa Barat karena memihak Israel, sehingga Pertamina untung besar. Ketika Pertamina berekspansi di tengah bom minyak, Ibnu Sutowo disebut berperan sebagai penyandang dana politik Presiden Soeharto. Dalam posisi tawar sekuat itu, cukup lama Ibnu Sutowo tidak tersentuh sekalipun praktik korupsi tetap berlangsung di tubuh Pertamina.
Ibnu Sutowo, seperti diulas Vishnu Juwono dalam Melawan Korupsi, “Mendistribusikan patronasi melalui pembiayaan ‘non budgeter’ kepada sekutu mereka di kalangan militer, pejabat pemerintah, serta pengusaha dan melalui proyek-proyek negara seperti Rumah Sakit Pertamina dan Bina Graha/kantor Presiden Soeharto." Menurut mantan Gubernur Lemhanas Sayidiman Suryohadiprodjo, yang juga kawan dekat Ibnu Sutowo, dalam otobiografinya Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI, pengeluaran Pertamina sangat besar, seakan-akan uang tidak penting. Tidak mengherankan bahwa Pertamina menjadi sumber ketidakberesan dan malversasi.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru
“Tetapi karena Pak Ibnu besar sekali pengaruhnya, tidak ada tindakan terhadap ketidakberesan itu,” ungkap Sayidiman.
Pada saat itulah Ibnu Sutowo melakukan diversifikasi bisnis Pertamina secara jor-joran. Mulai dari gas bumi cair (LNG), penyulingan minyak, petrokimia, hingga penyewaan kapal tanker. Proyek terakhir itu terbukti menjadi blunder Ibnu Sutowo. Kapal tanker dibeli dengan kredit jangka pendek sedangkan kredit jangka panjang dari bank di Amerika yang diharapkan untuk melunasinya tidak kunjung cair. Padahal, kontraknya sudah diteken Ibnu. Belitan utang inilah yang kemudian menyebabkan Pertamina krisis. Utang Pertamina menggunung hingga mencapai 10,5 milyar dolar Amerika. Bank Indonesia mengambil alih tanggung jawab untuk menalangi utang tersebut.
Pada 5 Maret 1976, Ibnu Sutowo dipecat dari kedudukan direktur utama Pertamina. Posisi Ibnu digantikan Piet Haryono, yang sebelumnya menjabat direktur keuangan Pertamina. Meskipun luput dari jerat pengadilan, Ibnu menyatakan kekecewaan atas pencopotan itu. Menurutnya, kelompok teknokrat yang dipimpin Widjojo Nitisastro berperan menjegal kebijakannya atas Pertamina. Mereka dikenal sebagai “Mafia Berkeley” yang menempati sejumlah kursi menteri di bidang ekonomi, antara lain: Widjojo Nitisastro (Menko Ekuin/Kepala Bappenas), Ali Wardhana (Menteri Keuangan), dan Mohammad Sadli (Menteri Pertambangan). Sayidiman mengakui dirinya kerap menjadi tempat Ibnu Sutowo menumpahkan kekesalan terhadap Widjojo dan kawan-kawan.
Baca juga: Akhir Palagan Jenderal Sayidiman Suryohadiprodjo
Dalam otobiografinya, Ibnu mengatakan para teknokrat itu punya hubungan dengan lembaga penyandang dana internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan IGGI. Dan di belakang mereka semua ada perusahaan-perusahaan minyak raksasa yang ingin menguasai tambang minyak Indonesia. Ketika dia memimpin Pertamina, Ibnu mendaku, perusahaan-perusahaan raksasa itu tunduk dengan sistem kontrak bagi hasil dalam eksplorasi minyak di Indonesia.
“Boleh jadi Widjojo cs., yang disebut kaum teknokrat itu, menghendaki seluruh dana dan daya yang Pertamina miliki, dan yang Pertamina dapatkan dari luar,” kata Ibnu Sutowo dalam otobiografinya yang ditulis Ramadhan KH, Saatnya Saya Bercerita.
Menurut Sayidiman, Ibnu Sutowo dipersalahkan karena mengambil pinjaman luar negeri tanpa persetujuan pemerintah. Terlebih, pinjaman itu jangka pendek komersial berbunga tinggi. Kemudian terbongkar bahwa manajemen keuangan Pertamina kacau balau. Itulah alasan kuat untuk menjatuhkan Ibnu Sutowo.
“Dan yang menjatuhkan tentu Pak Harto. Berkurang lagi jumlah saingan, dan semua saingan jatuh karena ulahnya sendiri,” kata Sayidiman.
Setelah keluar dari Pertamina, Ibnu Sutowo ikut membesarkan Petroliam Nasional Berhad atau Petronas. Seperti Pertamina, perusahaan minyak dan gas asal negeri jiran Malaysia itu masih eksis sampai sekarang.
Baca juga: Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan